Ketika masih berumur belasan tahun, saya cukup benci dengan tempat tinggal saya di desa. Olok-olokan dari teman sebaya menjadi penyebab utama munculnya kebencian itu.Â
Anak pelosok dan terpencil merupakan kata-kata yang begitu menyakitkan waktu itu. Walau yang dikatakan mereka itu memang kenyataan. Tempat tinggal saya memang begitu jauh dengan keramaian. Jauh dari gemerlapnya gaya hidup di kota. Dan mungkin jauh juga dari peradaban dunia modern.
Desa saya memang terpencil, berada di lereng perbukitan menoreh. Sebelah barat dari salah satu bangunan paling bersejarah di negeri ini, Candi Borobudur. Kurang lebih delapan kilo meter dari Candi Borobudur atau sekitar 30 menit dengan sepeda motor dan sekitar 45 menit dengan mobil.Â
Desa Giripurno begitulah desa ini dinamakan. Giripurno berarti "gunung paling akhir", dan memang seperti itu kenyataanya. Desa ini merupakan desa paling ujung di Kecamatan Borobudur. Sebelah barat merupakan Kecamatan Salaman, dan sebelah Selatan merupakan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Seperti desa-desa di lereng menoreh lainya, kehidupan di desa Giripurno memang begitu berat. Sebagian besar lokasi desa ini merupakan lereng-lereng dengan ketebalan tanah yang tak seberapa. Tanah hanya menempel pada batuan gunung yang tak terkira besarnya.Â
Para penduduk biasanya hanya menanami jagung pada musim penghujan, selebihnya hanya tertinggal tanaman singkong yang umbinya tak seberapa. Pada lahan dengan tanah yang lebih tebal, penduduk menanaminya dengan pohon cengkeh dan tanaman tahunan lainnya. Dan hingga saat ini, tanaman cengkeh merupakan tanaman yang paling digemari dan menjadi sumber ekonomi utama penduduk.
Jalur menuju ke kota baru dibangun pada tahun 1995, begitu pula dengan aliran listrik. Sebelum waktu itu, penduduk harus berjalan kaki menuju ke pasar Borobudur untuk menjual hasil panen pertaniannya.Â
Waktu itu, dari jam 2 pagi sudah mulai beraktifitas pergi ke pasar. Mereka menggunakan oncor (obor dari bambu), atau obor blarak (pelepah daun kelapa yang sudah kering).Â
Para perempuan akan menggendong barang dagangan dan para lelaki akan nyunggi (membawa barang diatas kepala). Barang dagangnya tentu bervariasi, bahkan hingga 80 kg. Baru setelah jalan di bangun kemudian mulai ada mobil yang menjadi angkutan umum.
Di desa ini hanya ada sekolah dasar, dan sekarang bertambah taman kanak-kanak. Untuk Sekolah Lanjutan Pertama dan Atas harus ke desa atau kecamatan lain.Â
Untuk pendidikan agama memang lebih lengkap, setiap mushola dan masjid ada pelajaran mengaji sehabis maghrib. Sebuah pondok pesantren pun menerima puluhan santri dari desa ini dan desa-desa tetangga.Â
Walau terbilang lambat, perubahan demi perubahan terus terjadi di desa ini. Dibandingkan ketika saya pertama kali mengenal desa ini tentu sudah banyak berubah. Walaupun perubahan-perubahan itu tak semuanya menyenangkan.Â
Ada sekian perubahan yang mungkin di waktu mendatang membuat anak-anak usia belasan tahun tak di sebut anak pelosok lagi. Walaupun menjadi anak pelosok itu akan sangat dirindukan pada waktu yang akan datang.Â
Lereng perbukitan menoreh ini merupakan tempat kelahiran dan juga tempat dimana saya menatap hari demi hari yang berganti. Ada sekian banyak kisah yang tersimpan atau masih saya impikan.Â
Tempat yang dulu saya benci, namun kemudian memberi banyak arti dalam hidup saya. Tempat dimana kemudian saya belajar banyak tentang kehidupan sosial, lingkungan, agama, maupun kehidupan bernegara. Dan juga di masa akan datang, ada sekian mimpi yang harus saya wujudkan di desa ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H