Mohon tunggu...
Mas Marco
Mas Marco Mohon Tunggu... -

Tertarik dengan bidang teknologi dan hukum.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Net Neutrality dan Isu-isu Seputarnya

13 Januari 2015   08:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:16 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa Itu Net-Neutrality?

Konsep Net-Neutrality pertama kali diperkenalkan pada tahun 2003 oleh Tim Wu, seorang Professor hukum dari Columbia University. Secara sederhana, Net-neutrality berarti bahwa setiap konten yang ditransmisikan oleh Content Provider (youtube, twitter, portal berita, google, dll) akan diperlakukan secara adil oleh Internet Service Provider (ISP) dalam artian tidak ada konten dari content provider tertentu yang lebih diutamakan kecepatan atau kualitas transmisinya dibandingkan dengan content provider yang lainnya.

Sebagai contoh, anda ingin mengunjungi sebuah situs video streaming baru yang disediakan oleh perusahaan kecil/start-up di Amerika serikat - sebut saja WeTube. Ketika anda mengklik video tertentu, anda sedang meminta agar konten dari video tersebut ditransmisikan ke layar komputer anda melalui jaringan Internet. Konten tersebut akan secara otomatis dikirimkan melalui kabel-kabel bawah laut menyeberangi samudra pasifik lalu sampai ke ISP. Dari sini, ISP akan menyalurkan konten tersebut sehingga sampailah ke layar komputer anda. Berdasarkan konsep Net-Neutrality, kecepatan akses dan kualitas konten dari WeTube yang di transmisikan oleh ISP hingga sampai dan muncul di layar komputer anda adalah sama dengan kecepatan akses dan kualitas konten dari content provider yang secara bisnis lebih besar seperti YouTube, sehingga kualitas dan kecepatan akses yang dihantarkan oleh ISP dan diterima oleh kita adalah setara.

Non-neutral Internet?

Sejak awal munculnya Internet hingga saat ini, prinsip Net-Neutrality terus dipertahankan dan telah menjadi salah satu faktor penting yang mendorong kemajuan pesat di dunia Internet. Namun, pada tahun 2014 US Federal Communication Commission (US FCC - kurang lebih seperti BRTI di Indonesia) mengusulkan pemberlakuan peraturan yang memperbolehkan ISP di Amerika Serikat untuk men-charge content provider untuk peningkatan kualitas dan kecepatan transmisi konten yang sampai ke pengguna internet, sehingga akses konten ke pengguna Internet dari platform tersebut menjadi lebih cepat dibandingkan content provider yang tidak membayar ke ISP.

Usulan ini mengundang protes dari berbagai pihak, terutama dari mereka yang mengadvokasi kebebasan di dunia Internet. Secara umum, setidaknya ada dua argumen yang disampaikan terkait dengan penerapan usulan US FCC diatas. Pertama, adanya kekhawatiran bahwa usulan dari US FCC tersebut bisa melanggar kebebasan berkespresi di Internet – termasuk didalamnya kebebasan kita untuk menerima informasi. Seperti yang kita ketahui, Internet yang kita nikmati mengandalkan prinsip end-to-end (dari pengguna untuk pengguna) yang memungkinkan komunikasi dua arah dari sesama pengguna Internet. Berbeda dengan televisi atau radio (dimana komunikasi nya bersifat satu arah), di dunia internet, semua orang adalah penghasil konten atau content generator. Internet memudahkan orang-orang untuk berbagi hal-hal sehari seperti foto, video, tulisan, pengalaman pribadi, curhat, dll. Kegiatan sharing ini dilakukan oleh pengguna internet melalui berbagai platform-platform online seperti facebook, youtube, twitter, path, instagram, kompasiana, dan sebagainya. Semua kegiatan diatas menjadi mungkin karena sifat netral Internet yang selama ini kita nikmati.

Akan tetapi ceritanya akan lain apabila prinsip netralitas ini diabaikan. Tanpa net-neutrality, setiap content provider (youtube, twitter, dll) akan harus membayar kepada ISP agar kecepatan transmisi konten ke konsumen menjadi meningkat. Kewajiban ini akan menjadi tambahan biaya bagi content provider sehingga modal yang diperlukan menjadi meningkat. Akibat peningkatan cost ini, besar kemungkinan perusahaan-perusahaan content provider akan berusaha mencari tambahan keuntungan dengan cara membebankan biaya kepada pengguna internet untuk menikmati layanan online yang mereka sediakan. Bagi yang mampu, tentu hal ini tidak menjadi persoalan. Namun, bagi yang tidak mampu, pilihan website yang bisa dikunjungi akan berkurang. Akibatnya, kemampuan penggunan internet untuk menerima informasi ataupun berbagi informasi juga menjadi menjadi berkurang.

Alasan kedua penolakan terhadap usulan US FCC diatas adalah kekhawatiran akan hilangnya kompetisi di antara content provider. Padahal kompetisi antar content provider lah yang menjadi salah satu faktor pesatnya perkembangan dunia Internet.

Kita ambil saja contoh YouTube. Sebagai penyedia layanan video online berskala sangat besar, YouTube memerlukan bandwith yang sangat besar untuk operasionalnya termasuk dalam mentransmisikan konten video ke pengguna Internet. Dikarenakan kebutuhan yang besar ini, biaya yang akan diperlukan oleh YouTube untuk membayar ISP juga akan lebih besar. Namun, sebagai perusahaan raksasa dengan penghasilan yang wah pula, tentu saja biaya tersebut sanggup dibayar oleh YouTube (atau Google sebagai pemiliknya).

Bayangkan apabila kewajiban yang sama harus dipenuhi oleh sebuah perusahaan start-up sejenis YouTube (layanan video online) yang dimiliki oleh seorang mahasiswa drop-out. Bisa saja website yang diciptakan oleh perusahaan start-up milik mahasiswa ini menawarkan fitur yang lebih menarik dan memberikan pengalaman baru dalam menonton atau streaming video online. Akan tetapi, dikarenakan keterbatasan modal dan tidak mampu membayar ISP, kecepatan transmisi konten ke pengguna internet menjadi lambat dan kualitas video juga menurun. Efeknya adalah pengguna internet akan lebih memilih menggunakan YouTube yang memiliki koneksi kecepatan lebih cepat dan kualitas lebih baik. Akibatnya, situs video online besutan mahasiwa tersebut tutup dan YouTube tetap menjadi penyedia layanan video nomor satu di Internet tanpa competitor.

Contoh diatas menggambarkan bagaimana pentingnya net-neutrality bagi persaingan di dunia Internet. Tanpa net-neutrality, inovasi dibidang Internet menjadi terhambat dan pengguna Internet kehilangan opsi dalam memilih layanan online yang (bisa saja) sebenarnya lebih baik dari penyedia service incumbent.

Terlebih lagi jika kita melihat kepada sejarah pendiri-pendiri platform-platform popular saat ini. Hampir semuanya berawal dari nol. Tanpa net-neutrality, bisa saja kita menghambat lahirnya Zuckerberg-Zuckerberg baru di dunia Internet.

Apa pengaruhnya untuk Indonesia?

Walaupun usulan untuk membayar ISP bagi penyedia konten dilakukan di Amerika Serikat, bukan berarti Negara-negara diluar AS tidak terkena imbasnya. Pertama, bisa saja usulan ini menginspirasi negara-negara lain (termasuk Indonesia) untuk menetapkan aturan yang sama. Kedua, seperti yang kita ketahui, faktanya saat ini hampir seluruh platform-platform Internet yang kita nikmati sekarang ini berasal dari US.Apabila usulan ini diberlakukan, tidak menutup kemungkinan kita juga harus membayar extra untuk menikmati layanan-layanan Internet yang biasa kita gunakan.Kemudian, sebagai pengguna Internet secara umum, tentu saja kita mengharapkan dunia internet bisa terusberkembang melalui inovasi-inovasi baru dengan terus menjaga prinsip net-neutrality di Internet.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun