Mohon tunggu...
Mas Marco
Mas Marco Mohon Tunggu... -

Tertarik dengan bidang teknologi dan hukum.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

#JeSuisCharlie: Absolutkah Kebebasan Berpendapat di Eropa?

18 Januari 2015   05:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:54 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pekan lalu, para pemimpin dunia beramai-ramai bergabung dalam pawai bersama hampir 4 juta orang di Perancis mengutuk serangan yang menewaskan 12 orang jurnalis Charlie Hebdo di Paris. Tidak hanya mengutuk, pawai ini juga ditujukan sebagai simbol melawan ancaman terhadap kebebasan berekspresi, di Eropa. Mengutuk tindakan terorisme dan barbar dari pelaku penyerangan adalah suatu keharusan. Tidak hanya harus dilakukan oleh negara-negara di Eropa, tapi juga oleh negara-negara yang mayoritas penduduknya adalah Muslim seperti negara-negara Timur Tengah, Indonesia, Malaysia, dan lain-lain atas nama kemanusiaan. Bagi saya tidak ada justifikasi dalam bentuk apapun terhadap perbuatan terror dan barbar yang ditunjukkan oleh pelaku. Dalam derajat terentu, saya setuju bahwa perbuatan barbar tersebut merupakan suatu ancaman terhadap kebebasan berekspresi. Namun, menganggap apa yang dilakukan oleh Charlie Hebdo sebagai salah satu bentuk kebebasan pers? Tunggu dulu. Saya melihat pesan yang coba disampaikan oleh para pemimpin dunia dan tagar #JeSuisCharlie (bahasa Indonesia: Saya adalah Charlie) menimbulkan persepsi yang salah mengenai kebebasan berekspresi di Eropa. Akibatnya, masyarakat dunia lalu menganggap apa yang dilakukan oleh Charlie Hebdo adalah bagian dari nilai-nilai kebebasan berekspresi yang hidup di Eropa: absolut dan tanpa ada batasan. Bahwa kebebasan berpendapat di Eropa dijamin lebih baik daripada daripada negara-negara lain (kecuali Amerika Serikat), saya setuju. Tapi, bahwa kebebasan tersebut absolut dan tanpa batasan? Tentu saja tidak. Kebebasan Berekspresi di Eropa Sebagai bagian Council of Europe (serikat negara-negara Eropa yang lebih besar daripada European Union), Perancis terikat dengan ketentuan-ketentuan yang diatur didalam European Convention on Human Rights (ECHR) yang disahkan pada tahun 1950. Salah satu hak yang dijamin dalam konvensi tersebut adalah hak untuk mengeluarkan pendapat sebagaimana terdapat didalam Pasal 10 ECHR. Bunyi pasalnya kurang lebih sama dengan bunyi pasal mengenai kebebasan berekspresi yang tercantum dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), kovenan mana yang juga disahkan sebagai Undang-Undang oleh Indonesia. Paragraf 2 dari Pasal 10 ECHR tersebut menentukan apa saja yang menjadi batasan seseorang dalam melaksanakan kebebasan berpendapatnya. Mengutip ketentuan Pasal tersebut: “The exercise of these freedoms, since it carries with it duties and responsibilities, may be subject to such formalities, conditions, restrictions or penalties as are prescribed by law and are necessary in a democratic society, in the interests of national security, territorial integrity or public safety, for the prevention of disorder or crime, for the protection of health or morals, for the protection of the reputation or rights of others, for preventing the disclosure of information received in confidence, or for maintaining the authority and impartiality of the judiciary.” Berdasarkan bunyi pasal diatas, ada 3 alasan mengapa kebebasan berekspresi di Eropa boleh dibatasi: 1. pembatasan tersebut dilakukan berdasarkan undang-undang; 2. pembatasan tersebut penting untuk sebuah masyarakat yang demokratis; dan 3. pembatasan tersebut memiliki tujuan yang legitimate. Poin pertama dan kedua akan sangat panjang apabila saya jelaskan disini dan saya yakin, pembaca kompasiana juga akan bosan mengikuti alur pemikiran yang legalistik dari kedua poin tersebut. Menurut saya, yang menarik disini adalah poin ketiga: alasan-alasan yang bisa membatasi kebebasan berekspresi di Eropa. Dari bunyi pasal tersebut, kita bisa lihat list alasan yang dibenarkan untuk membatasi kebebasan berekspresi yaitu: keamanan nasional, keselamatan publik, penanggulangan kriminal, perlindungan kesehatan dan moral, perlindungan reputasi atau hak orang lain, perlindungan dari pengungkapan informasi yang bersifat rahasia, dan untuk menjaga otoritas dan keadilan pengadilan. Dari list yang saya sebutkan diatas, adakah perlindungan terhadap kehormatan agama? Penghinaan Agama di Eropa Tidak disebutkannya secara spesifik mengenai kehormatan agama dalam list diatas tidak berarti hal tersebut tidak diatur dalam ECHR. Kita bisa lihat dari kasus penghinaan agama yang pernah diadili di European Court of Human Rights (ECtHR) (pengadilan yang menangani kasus-kasus pelanggaran HAM di Eropa). Salah satu kasus landmark yang sering menjadi rujukan atas kasus penghinaan agama adalah Otto-Preminger Institut (OPI) v. Austria (1994). OPI merupakan sebuah organisasi non-profit asal Austria yang bergerak dibidang seni audiovisual. Pada tahun 1985, OPI berencana menayangkan sebuah film yang berjudul Council in Heaven. Dalam film ini (mohon maaf sebelumnya), digambarkan bahwa Tuhan agama Yahudi, Muslim, dan Kristen sebagai orang tua yang sakit-sakitan/pikun dan menyembah Devil (Setan). Selain itu, dalam scene yang lain Yesus digambarkan sebagai seorang dewasa yang kekanak-kanakan dan memiliki cacat mental. Namun sebelum sempat ditayangkan, film ini terlebih dahulu dilarang oleh Pengadilan setempat atas permintaan Gereja Katolik Roma. Dasar pelarangan ini adalah perlindungan atas hak-hak orang lain. Atas pelarangan ini OPI mengajukan tuntutan kepada ECtHR (Pengadilan HAM Eropa) dengan klaim bahwa pengadilan di Austria telah melanggaran kebebasan berekspresi dengan melarang penanyangan film tersebut. Atas hal tersebut, ECtHR memutuskan bahwa pelarangan atas penayangan film Council in Heaven tersebut adalah sah dan sesuai dengan ketentuan hak asasi manusia sebagaimana yang diatur dalam ECHR. Pertimbangan dari ECtHR yang menarik bagi saya dalam putusan tersebut adalah (kurang lebih) sebagai berikut: “perasaan hormat kepada orang memiliki kepercayaan sebagaimana yang dijamin oleh Pasal 9 ECHR bisa dikatakan sudah dilanggar dengan penggambaran yang provokatif terhadap objek-objek (termasuk tokoh) agama yang dianggap sakral. Dan juga, penggambaran yang demikian bisa juga dianggap sebagai pelanggaran yang serius terhadap semangat toleransi, yang juga merupakan elemen penting dari masyarakat yang demokratis.” Dari sini kita bisa melihat, bahkan di Eropa sendiri selalu ada balance antara kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama. Orang-orang tidak serta merta boleh mengatakan hal-hal yang sifatnya penghinaan kepada kepercayaan orang lain. Tidak hanya terhadap agama/kepercayaan, jika kita lihat lagi pembatasan yang saya sebutkan diatas, bahkan reputasi individu pun dilindungi oleh konvensi HAM Eropa tersebut. Hipokrisi Para Pemimpin Dunia Satu hal lagi yang menarik bagi saya dari pawai di Perancis ini adalah kehadiran beberapa pemimpin dunia yang tampil seolah-olah sebagai pembela kebebasan berekspresi. Tapi, benarkah mereka yang datang adalah para pembela kebebasan berekspresi? Saya tidak akan memperpanjang tulisan membahas satu persatu mereka yang hadir dalam pawai tersebut. Tapi, mudah-mudahan gambar dibawah bisa memberikan gambaran sikap mereka sesungguhnya terhadap kebebasan berekspresi. [caption id="" align="aligncenter" width="509" caption="Source:http://justice.gawker.com/these-world-leaders-are-a-worse-threat-to-free-press-th-1679032136?utm_campaign=socialflow_gawker_facebook&utm_source=gawker_facebook&utm_medium=socialflow"][/caption]

Cerita lengkapnya bisa anda lihat di link berikut ini:

http://justice.gawker.com/these-world-leaders-are-a-worse-threat-to-free-press-th-1679032136?utm_campaign=socialflow_gawker_facebook&utm_source=gawker_facebook&utm_medium=socialflow

Dengan tulisan ini tidak serta merta saya mendukung serangan terorisme yang terjadi di Paris. Sebaliknya, saya sangat mengutuk tindakan terorisme dalam bentuk apapun (sekalipun dengan motif agama!). Saya bersimpati kepada warga Perancis atas terror yang terjadi di tengah-tengah masyarakatnya. Namun, yang perlu dipahami disini adalah kebebasan berekspresi dimanapun, sekalipun di Eropa, tidak pernah absolut. Selalu ada batasan. #JeSuisCharlie seolah-olah menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh kantor jurnalis satire Charlie Hebdo adalah manifestasi dari kebebasan berekspresi dan ini memberikan kesan yang salah tentang kebebasan berekspresi itu sendiri. Ditambah lagi ketika pawai “kebebasan berekspresi” tersebut dihadiri oleh pemimpin-pemimpin yang justru membungkam kebebasan berekspresi, ketika kebebasan berekspresi itu berhadapan dengan pribadi mereka.

Salam.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun