Ketika saya mencoba menuliskan tentang motif pak Beye untuk mengeluarkan pernyataan tentang keistimewaan Yogyakarta yang saya tulis dalam artikel terpisah, saya banyak mendapat komentar-komentar yang unik dan antik. Memang banyak yang menduga bermacam macam. Dari kecurigaan untuk mengalihkan isu besar (Gayus, Century, Lapindo dan lain-lain) sampai kepada hal hal yang bersifat politik murni (Pak Beye Ingin kader demokrat memimpin Yogya). Dalam hal ini semua pendapat yang telah ditulis masuk akal kok. Artinya ada alasan kita menduga kearah situ.
Disini saya mencoba lagi mencari faktor apa yang kira-kira membuat Bapak Pencitraan Indonesia ini mengeluarkan suatu pernyataan yang cenderung kontroversial dan emosional. Pernyataan ini justru merugikan citra yang selalu dibangun pak Beye. Lalu kenapa Pak Beye berani melakukan pernyataan yang tak populis dan menodai citranya? jika melihat hal ini, sepertinya saya mencium adanya aroma ‘dendam’.
Keputusan untuk berkantor di Yogya pada waktu gempa merapi bukan tanpa pertimbangan. Pak Beye ini adalah seorang pemikir, sehingga sesuatunya tentunya telah dipikirkan dengan matang. Setelah terjegal dengan berbagai kasus oleh kader kadernya, juga peniliaian masyarakat akan lambannya kinerja SBY, Citra dan Popularitas Pak Beye yang sudah menurun drastis ingin diperbaikinya dengan mengerahkan segenap kekuatan partainya untuk membangun citra dengan memanfaatkan momen tersebut.
Namun apa daya, pernyataan sang Sultan HB X ini menghancurkan rencananya. Dengan perintah penurunan atribut partai di tempat tempat pengungsian, tentunya menggagalkan misi Pak Beye untuk kembali memperbaiki citranya. Apalagi jika kita cermati, tingkah laku pak Beye ini sekarang memang seolah-olah memimpin secara feodal, sehingga dendam kesumat pak Beye ini semakin menjadi karena rakyat Ngayogyakarto ternyata lebih mendengar kata-kata sultan daripada presidennya. Nah disinilah ternyata pernyataan sang Sultan HB X yang murni untuk mencegah pemanfaatan warga yang terkena musibah diekploitasi berbuntut panjang.
Disisi lain, perlu juga kita cermati. Apa yang dilakukan beliau sekarang adalah Ibaratnya sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Jika pernyataan pak Beye itu mampu menggebuk Sultan HB X, maka terbalaskanlah kejengkelannya. Namun disisi lain, apabila itu tidak berhasil (justru yang diharapkan Pak Beye) maka semakin muluslah ‘test case’nya untuk memperpanjang cengkramannya pada republik ini (Baca ini). Salam Prihatin.
Nijmegen, November 2010
Mas Pink
Gambar: www.suarapartai.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H