Membaca beberapa artikel di kompasiana yang membahas mengenai pergulatan antara agama dengan logika, saya teringat tentang karya seorang pemikir bernama Tan Malaka yang terkenal dengan manifesto revolusionernya yaitu MADILOG. Pola pikirnya memang membenturkan keyakinan yang jumud dengan paham materialisme, dialektika dan logika.
Memang jika dibaca dengan kondisi sekarang, karya sang Tan Malaka ini tampak ketinggalan jaman. Karena memang buku ini ditulis dengan setting masa itu. Namun jelas kontribusi pemikirannya memang luar biasa untuk mendekonstruksi pemikiran jumud yang sudah mengakar dalam pikiran rakyat di jaman itu. Selain materialisme, tentunya diperlukan dua senjata lain untuk memecahkan persoalan. Jadi disini diperlukanlah dialektika dan logika. Dijelaskan pula dalam buku tersebut bagaimana cara mengambil sebuah hipotesis yang didasarkan dengan cara induksi maupun deduksi. Kedua cara yang digunakan sekarang inilah yang menjadi dasar cabang filsafat ilmu.
Permasalahan yang saya angkat adalah ketika pemikiran seperti itu dibenturkan dengan “keyakinan”, tentu saja kedua hal ini tidak akan bertemu. Apalagi bila cara pandang pemikiran ala madilog ini dibenturkan dengan pengetahuan yang hanya bersumber pada satu buku saja (kitab suci) tanpa menggunakan tool lain. Tentunya diskusi yang diharapkan malah menjadi sebuah debat kusir yang sulit ditemukan jalan keluarnya. Alih-alih bukan diskusi yang enak untuk dibaca, yang terjadi hanyalah stigmatisasi atas keduanya. Yang satu menganggap “kafir” sedangkan pihak lain mengatakan lawannya ‘jumud’
Nah, perbedaan pandangan ini tidak hanya di kompasiana ini, didunia nyata-pun ini masih terjadi. Sampai saat ini, saya belum bisa melihat titik temu dikedua belah pihak. Hal ini tentunya akan memperkuat stigma bahwa agama itu harus dipisahkan dengan sains. Bagi saya justru sains itu yang harusnya bisa menambahkan sesuatu pemahaman lain tentang agama dan bukan menjadi sesuatu yang terpisah. Sayangnya, disini pemikiran bangsa ini sepertinya masih tidak bisa menerima penggabungan kedua paham tersebut. Kapan ya pemikiran bangsa ini terbebas dengan hal hal yang dicitakan Tan Malaka? Mempunyai pola pikir yang benar dan terbebas dari selimut kebodohan?
Nijmegen, November 2010
Mas PINK
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H