Mohon tunggu...
Mas Pink
Mas Pink Mohon Tunggu... -

Berangan-angan jadi Jurnalis, namun garis hidup menentukan lain. Disela aktifitas yang lumayan padat, kadang ingin menulis. Bagiku, menulis adalah membagi pengetahuan dan pengalaman. Pernah dipercaya segelintir orang untuk menjadi Pimpinan Redaksi ataupun Pimpinan Umum pada majalah sekolahan, bulletin, tabloid dan majalah mahasiswa. Semoga mendapatkan manfaat dari apa yang saya ungkapkan... Terbuka terhadap pertemanan tanpa memandang SARAP (Suku, Antar Suku, Ras, Agama dan Penghasilan) :p

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Generalisasi dan Doktrinasi Salah Siapa?

27 November 2010   17:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:14 906
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih ingatkah ketika jaman dahulu orang menyebut sepeda motor dengan sebutan “Honda” padahal sepeda motor tidak hanya “Honda” saja. Ada Yamaha, Suzuki, Kawasaki, dsb, dsb. Setali tiga uang dengan menyebut pompa air, bukankah orang-orang jaman dulu menggunakan kata “Sanyo” untuk menyebutkan pompa air. Padahal tidak hanya “Sanyo” saja kan yang menjadi merek pompa air?

 

Walaupun sekarang orang sudah tidak banyak menggunakan kata kata tersebut, namun masih banyak kita jumpai kata kata mempunyai konotasi yang kadang negatif. Misalnya kata kata liberal / liberalisme, kata ini sering dikonotasikan dengan paham dari barat yang menjauhkan manusia dari agama dan tuhan. Padahal kalau dicermati inti dari liberalisme adalah Percaya bahwa Tuhan adalah Sang Pencipta (Trust in God as a Creator) . Semua manusia diciptakan sama, bahwa mereka dianugerahi oleh Tuhan Penciptanya hak-hak tertentu yang tidak dapat dipisahkan dari padanya (Wikipedia) Setali tiga uang, komunis dan komunisme dicampuradukkan dengan atheis/atheisme. Jelas disini adalah kesalahan pemaknaan.

 

Saya tidak tahu secara persis, kenapa generalisasi dan doktrinasi yang dilekatkan pada kata-kata tersebut sudah mengakar kedalam hati rakyat Indonesia. Apakah ini salah pemerintahan orde lama yang menolak adanya liberalisme? Sehingga akhirnya kata-kata itu mempunyai konotasi negatif? Ataukah ini kesalahan rezim orde baru yang antipati terhadap komunisme? Sehingga kita sering tercampur-adukkan oleh konotasi yang seperti itu.

 

Semoga rakyat Indonesia kedepannya semakin cerdas untuk bisa memaknai kata sesuai dengan maknanya, bukan hanya karena menerima konotasi tersebut mentah-mentah tanpa mencari tahu apa itu sebenarnya makna yang terkandung dalam kata. Selain itu juga, menjadi tanggung jawab media sebagai wadah pencerahan kembali meluruskan makna kata-kata yang terlanjur dimaknai berbeda.

 

Nijmegen, November 2010

Mas Pink

 

Gambar: www.google.co.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun