Mohon tunggu...
Mas Pink
Mas Pink Mohon Tunggu... -

Berangan-angan jadi Jurnalis, namun garis hidup menentukan lain. Disela aktifitas yang lumayan padat, kadang ingin menulis. Bagiku, menulis adalah membagi pengetahuan dan pengalaman. Pernah dipercaya segelintir orang untuk menjadi Pimpinan Redaksi ataupun Pimpinan Umum pada majalah sekolahan, bulletin, tabloid dan majalah mahasiswa. Semoga mendapatkan manfaat dari apa yang saya ungkapkan... Terbuka terhadap pertemanan tanpa memandang SARAP (Suku, Antar Suku, Ras, Agama dan Penghasilan) :p

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Oemar Bakrie Potret Seorang Abdi Negara

21 November 2010   19:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:25 2244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_76448" align="alignnone" width="300" caption="Oemar Bakrie"][/caption]

Ketika banyak orang yang memandang sebelah mata profesi seorang ‘abdi negara’ dengan segala kemudahan dan fasilitas yang diberikan negara kepadanya. Ketika banyak orang yang memandang sinis pada pekerjaan ini, dimana banyak dari abdi negara tidak memberikan pelayanan yang patut kepada masyarakatnya. Ijinkanlah saya berbagi bahwa masih ada ‘abdi negara’ yang benar-benar ingin mengabdi kepada bangsanya. Ini adalah sebuah kisah nyata, ketika seorang abdi negara yang ingin mengabdi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan amanah para ‘founding fathers’ yang tercantum dalam preambule UUD’45

Alkisah, sebut saja namanya Oemar Bakrie, bukan nama sebenarnya. Nama ini sempat dipopulerkan oleh seorang penyanyi kawakan yaitu Iwan Fals. Walaupun namanya ada unsur “Bakrie”, pria ini jelas bukan merupakan keturunan ‘Bakrie and Brothers’ yang mempunyai uang milyaran dan segala kekuasaan yang dimilikinya. Pria ini lahir dari keluarga yang biasa-biasa saja.

Oemar Bakrie menempuh pendidikan dari mulai sekolah dasar sampai sekolah menengah atas tergolong murid yang menonjol walau tidak selalu menjadi rangking tiga besar. Menempuh pendidikan tinggi di sebuah PTN pada fakultas favorit. Fakultas yang oleh anak-anak sebayanya harus dibayar mahal dengan uang gedung yang mencekik leher. Namun tidak bagi Oemar Bakrie. Dia lulus seleksi tanpa menggunakan ‘uang pelicin’ ataupun harus meminta orang tuanya untuk menjual salah satu asset untuk menempuh pendidikannya. Oemar Bakrie ini lolos dengan ujian murni untuk masuk PTN tersebut.

Dalam kehidupan sebagai mahasiswa, sang Oemar Bakrie ini-pun berperan sebagai aktifis kampus. Disisi lain aktivitas kampus tidak mengurangi waktunya untuk belajar. Justru dengan aktivitas ini sang Oemar Bakrie mendapatkan penghargaan sebagai mahasiswa berprestasi (mahasiswa teladan) dikampusnya. Namun sayang, pada akhir perkuliahan ada permasalahan pribadi yang sempat mengganggu konsentrasinya sehingga sang Oemar Bakrie hanya lulus dengan nilai biasa-biasa saja, walaupun masih cukup tinggi untuk ukuran rata-rata. Beberapa beasiswa-pun sempat diperoleh baik dari founding luar maupun dalam negeri.

Setelah lulus, tidak seperti rekan sejawatnya yang lain yang merantau untuk menjadi tenaga medis di daerah terpencil dimana hal itu menjanjikan insentif besar dari pemerintah atapun bekerja sebagai tenaga medis di Ibukota yang menjanjikan penghasilan yang besar. Sang Oemar Bakrie ini justru memilih untuk mengabdikan diri pada almamater tercinta sebagai tenaga honorer dengan penghasilan senilai 4 bungkus rokok per-semesternya. Walaupun diluar jam kerja, sang Oemar Bakrie ini masih bisa mencari penghasilan lain sesuai kompetensinya. Namun semangat pengabdian untuk mencerdaskan kehidupan bangsa lebih menarik baginya daripada penghasilan yang melimpah.

Melihat semangat dan pengabdian sang Oemar Bakrie ini, dengan setengah memaksa, atasan Oemar Bakrie ini untuk memintanya untuk mengikuti seleksi untuk menjadi sebagai seorang abdi negara. Dengan segala kelebihannya, sang Oemar Bakrie ini-pun lolos seleksi untuk menjadi seorang abdi negara mengabdi pada almamater tercinta tanpa harus memberikan ‘uang pelicin’ untuk lolos menjadi abdi negara kepada siapapun.

Ketika mahasiswanya banyak yang menggunakan mobil pribadi sebagai alat transportasi, sang Oemar Bakrie masih setia dengan ‘belalang tempur-nya’. Ketika sang murid sudah banyak menggunakan ponsel BB, Oemar Bakrie tetap setia dengan HP monochromenya. Ketika sang murid terutama yang diluar daerah dibelikan rumah mewah oleh orangtuanya, sang Oemar Bakrie ini masih menempati sepetak kamar kost untuk hidup bersama istrinya. Namun, semangat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tetap mengalir dalam darahnya.

Andai sang Oemar Bakrie berfikiran pragmatis, tentu dia akan lebih memilih peluang lain yang lebih menjanjikan. Seorang politisi partai warisan orde baru-pun pernah merayunya, dengan iming iming tentunya. Kalau Oemar Bakrie bersedia gabung di partainya, dia akan dicalonkan sebagai calon legislatif. Namun tawaran itu ditolaknya. Seorang direktur rumah sakit ternama di Ibukota pun pernah ingin merekrutnya dengan iming-iming gaji besar dan fasilitas lain. Namun panggilan hatinya berkata lain. Oemar Bakrie ini memilih untuk tetap mengabdi pada almamaternya dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan gaji alakadarnya.

Semoga kisah ini membuka pemikian bahwa masih banyak Oemar Bakrie lain di negri ini, walaupun tidak sedikit oknum abdi negara yang seenaknya. Tidak jarang pula kita dengar banyak abdi negara yang menyalahgunakan jabatan wewenangnya, seperti seorang abdi negara golongan III A yang saat ini meringkuk dalam penjara.

Nijmegen, November 2010

Mas PINK

Gambar: www.google.co.id

   

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun