Marhalah Ulya
Saat ini, 25 Oktober 2024, bulan kelima aku menjalani tahun terakhir di Pondok MBI Amanatul Ummah. Duduk di marhalah ulya, begitu sebutannya di pondok untuk tahun ketiga pembelajaran atau secara umum di pondok-pondok salaf sebagai tahun akhir. Tingkat atas fase pembelajaran sebelum mengabdi jika di pondok pesantren salaf. Di pondokku sendiri, tahun ketiga menjadi tahun penentuan masa depan santri yang penuh disibukkan dengan jadwal try out UTBK yang berselang tiap minggu, persiapan pendaftaran universitas luar negeri, dan pemantapan materi bahasa Arab untuk santri dengan tujuan kuliah di Timur Tengah. Semua orang punya kesibukannya masing-masing yang menyita waktunya, walaupun tidak semua santri benar-benar serius menghadapi tahun terakhir ini. Ada beberapa, bahkan tidak sedikit, santri yang masih terlarut dalam suasana senang-senang masa muda dengan masih menyisihkan waktunya untuk bermain dan sepertinya menafikan porsi belajar yang intens. Tidak semua orang memang bisa disamakan dan sama dalam metode belajarnya, tetapi yang pasti ada dalam setiap individu santri adalah keseriusan untuk menggapai masa depan.
Tangga Kesuksesan dan Obrolan Tengah Malam
Anak tangga berisikan adonan semen yang mengeras bersama benturan dan hantaman cuaca alam belasan tahun. Diisi dan diperkuat batu sungai sebesar tangki bensin Yamaha Byson, setinggi 25 anak tangga itu dinamai "tangga kesuksesan". Tangga yang menuju 6 ruangan kelas 12 dan asrama putra itu disimbolkan sebagai penghubung santri dengan medan pertempuran kesuksesan mereka. Tangga itu tidak lebih spesial daripada jalan penghubung area masjid dan kantin di pondokku yang berhenti pada teras kelas 12. Teras yang biasa digunakan untuk makan pagi, siang, malam, dan ruangan sekber kelas 12, sumber informasi pendidikan lanjut lintas bidang. Dengan pemandangan area kantin dan masjid dengan hamparan luas langit bebas di atasnya, pada malam hari menjadi spot andalan untuk merenung dan bercakap-cakap tentang masa depan sembari menimbang-nimbang peluang masuk perguruan tinggi negeri. Saat itu, jam 11 malam, satu jam setelah sirine jam malam yang mematikan seluruh aktivitas pondok dan menyisakan waktu hening untuk beristirahat dari segala lelah dan keluh kesah kegiatan seharian dari jam 3 pagi hingga jam 10 malam. Meskipun demikian, hal itu tidak membuat semangatku untuk berdiskusi dengan teman-teman mengantuk. Genap berkumpul empat orang dengan tema pembahasan masa depan yang sedang kita buru. Aku dan tiga teman lainnya memiliki tujuan perkuliahan yang berbeda-beda: calon mahasiswa manajemen UI, Teknik ITB, HI UGM, dan calon mahasiswa filsafat Chicago. Dari perkumpulan tersebut, kita membahas makna kesuksesan seperti apa. Apakah itu dengan meraih sesuatu atau menggapai kebahagiaan? Aku seketika teringat akan pesan guru yang akrab kami panggil Abi Syam pada kelas ta'lim muta'alim. Kelas yang kadang membahas etika murid dalam Islam maupun membahas kehidupan dan makna yang terkandung di dalamnya. Beliau menasihatkan dengan suaranya yang tua dan matanya memandang jauh ke depan bagai sorot mercusuar pantai yang menyorot pekatnya kabut laut. Dengan gestur tubuhnya yang selalu menyuratkan semangat dalam menjalani hidup, beliau berkata, "Sukses itu bisa memaknai hidup." Seketika aku menemukan momen eureka-ku sendiri saat itu bahwa kesuksesan bukan hanya semata menggapai sesuatu tetapi memahami kebermaknaan eksistensi dan tujuan eksistensi kita sebagai manusia. Saat kuutarakan pendapatku begitu di forum diskusi, sepertinya kita semua menemukan sintesis atas perlawanan tesis-anti-tesis akan apa itu kesuksesan. Setelah diskusi tersebut, perenunganku semakin mendalam akan apa yang seharusnya saya lakukan setelah ini.
Apa yang Bisa Saya Bawa?
Dalam renungan, aku mulai merenung kembali akan apa yang seharusnya saya bawa. Apakah saya berfokus pada pendaftaran universitas atau saya harus memaksimalkan pengalaman dan pelajaran saya sebagai santri untuk bekal kehidupan dewasa? Dalam renungan, saya mulai menimbang-nimbang akan apa yang utama selama saya nyantri di pondok ini. Bahwa esensi utamanya adalah belajar hidup dan belajar agama. Dari dua kata sederhana tersebut, terbuka kembali pengalaman selama tiga tahun mempelajari agama dipadukan dengan praktik keseharian hidup dan mengisi kebijaksanaan hidup. Selama proses belajar dan berpikir tersebutlah, hikmah-hikmah kehidupan bisa dipetik dari petuah bijaksana asatidz dan gawagis di pondok. Saya keluar dari pondok ini bukan semata-mata membawa pencapaian diterima di universitas, tetapi adalah bahwa saya dapat mengembangkan diri dengan ilmu agama yang saya pelajari dan hubungkan dengan kehidupan saya. Konsep paling bermakna yang saya pahami dan pelajari selalu hikmahnya, bahwa manusia bukan penentu takdirnya sendiri. Rencana terbaik manusia pun bukanlah jaminan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H