Mohon tunggu...
Marzuki Umar
Marzuki Umar Mohon Tunggu... Dosen - Dosen STIKes Muhammadiyah Lhokseumawe

Penulis adalah Dosen STIKes Muhamadiyah Lhokseumawe

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Petaka Rumpun Bambu!

17 Januari 2024   22:03 Diperbarui: 18 Januari 2024   19:25 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Marzuki Umar

Seperti biasanya, pagi itu ku bangkit menuju sawah ladang yang berjauhan satu kilo meter dari rumahku. Ku menelusuri jalan setapak di sela hutan yang ditumbuhi rumput ilalang kiri kanannya. Dari kejauhan tampak rumpun bambu di ujung jalan itu yang tak bisa dilalui oleh kendaraan besar, kecuali sepeda motor saja. Suara jangkrik menggelegar bersahutan. Ditambah dengan kicauan cucak rowo yang membuat diriku begitu berani menantang jalan sesepi itu. 

Matahari terus saja mengukir sinarnya lewat celah dedaunan yang rimbun. Sesaat, mulutku bergumam..., "Hmmm...bila cepat tuntas aku harus cepat pulang ni, mau pigi ke rumah Om Jol. Bisa nggak ya...? " Begitulah niatku terlintas sesaat. 

Aku terus saja berjalan sembari melihat kiri-kanan dan sesekali juga aku menatap ukiran daun yang indah di balik suara kresek-kreseknya karena hembusan angin. Kiranya tak terasa waktunya telah membidik pada angka 07.00 WIB. Hal ini mengisyaratkan bahwa perjalanan dengan jarak tempuh cuma sekilo meter bisa memakan waktu 30 menit. Padahal, saat itu aku belum sampai pada tujuan. 

Separuh perjalanan, rupanya di belakangku mengekor seorang ibu paruh baya, Mbak Mely. Dia juga ingin ke ladangnya yang berseberangan dengan tempat cocok tanamanku. "Buk... Buuk... Ibuuuuk!" Dia memanggilku dengan suara lantang. Saat itu, aku kurang fokus karena lagi mikir gemana agar nanti di sawah tidak berlama-lama. 

Setibanya dekatku, sosok yang sering dipanggil Teteh oleh banyak sahabat itu, kembali ngomong. "Napa tadi pagi ibuk nggak manggil Mely, padahal dari semalem udah inget besok pigi sekalian ma ibuk aja ke ladang? ungkapnya lirih. 

" Iya ya... Sebenarnya Ibuk juga kepengen begitu, eee...tiba-tibak kok bisa lupa ya...! sahutku. Terus...secara perlahan keduanya melanjutkan perjalanan sambil ngobrol-ngobrol masalah bibit padi yang bakal ditanam. 

Yeaaah..., perjalanan masih tinggal 200 meter lagi. Hasrat menyelesaikan kerjaan sawah kian bangkit. Tancap gas adalah satu-satunya solusi. Kalau tidak, niat untuk nuntaskan segala urusan yang bertaut tataran sawah tak kan berhasil. Lalu..., seketika itu juga langkah ku percepat dari sebelumnya. 

Baca juga: Perantauan

Teeet...teeeet...teeloleet...! Raungan motor dan mobil di seberang jalan utama lewat sawahku kian menggema. Suara lalu lalang kendaraan semakin meyakinkan ku segera berada di sawah. Tiba-tiba...tangisan dan rintihan membuatku tersentak. Seketika, bola mataku membelalak ke semak belukar di sekelilingnya. 

Sssttt..., "Suara apa itu? " Tanyaku padanya. "Kedengarannya suara orang, ya! " Tambah ku lagi. Tanpa kesan ketakutan, Mely sedikit bereaksi.., "Tu yang gitu-gitu udah biasa di sini, buk. Tu bukan hanya pagi ini, tapi dah hampir tiap hari, gak aneh lagi buk! "

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun