Â
Oleh : Marzuki Umar, M.Pd.Â
Istilah "karsa dan karya" merupakan dua kata yang selalu hidup berdampingan. Keduanya laksana dua sisi mata uang yang tidak boleh dipisahkan. Bila salah satu sisi di antaranya sirna, boleh jadi uang tersebut tidak berlaku atau tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya. Alhasil, tindak jual-beli terputus. Uang tetap pada pembeli dan barang juga tetap dalam pemeliharaan dan pengawasan penjualnya. Demikian juga dengan karsa dan karya. Wujud dan eksistensinya harus selalu seayun-selangkah untuk memberi konstribusi yang sama, terutama di dalam rangkaian menulis. Tanpa adanya karsa, karya tulisan jelas tak akan termaktub. Sebaliknya, tanpa adanya karya, butiran-butiran karsa tidak akan mencuat bahkan tidak tertutup kemungkinan keinginan ini akan terkubur dalam-dalam di lubuk jiwa sang penulisnya. Akhirnya, karya-karya nyata tak kan pernah mengemuka.
Kondisi lara tersebut tentu tidak asing lagi di dalam kehidupan dewasa ini. Di satu sisi, banyak tulisan yang telah ningbrung di berbagai situs, yang dihasilkan oleh ratusan penulis profesional dan penulis pemula. Apakah itu dalam bentuk berita, artikel, dan sebagainya. Di sisi yang lain, ribuan insan terduduk kaku dan tersipu malu di tengah-tengah hamburan karya tulis. Kadang, hanya gerakan hatinya sebatas mengonsumsi tulisan-tulisan yang berwujud berita belaka. Mereka tak mampu berbuat apa-apa, bahkan selalu bercermin pada kaca yang buram. Yang lebih memilukan lagi bahwa sosok yang terpating langkahnya sehingga enggan menulis bukan saja  masalah yang tidak nyata, hal-hal yang tampak di mata kepala pun sangat sulit diungkapkannya ke dalam sebuah tulisan.
Yang paling memprihatinkan lagi bahwa ketidakmampuan memunculkan karsa dan karyanya itu bukan hanya sebatas pada orang awam, yang hanya memiliki sedikit ilmu. Akan tetapi, perilaku miris ini secara umum terjadi pada sosok yang mempunyai segudang ilmu dan wawasan, alias orang-orang yang berpendidikan tinggi dan menengah. Berapa banyak orang yang bergelut dalam lembaga pendidikan, yang setiap tahunnya generasi-regenerasi terus silih berganti, tapi yang menulis karya nyata dapat kita hitung dengan jari. Jika kita telusuri hal-hal yang diungkapkan secara lisan di dalam kehidupan sehari-hari, ide-idenya itu sebanding dengan penulis profesional. Namun, itu semua hanya sebatas omongan dengan bahasa-bahasa figuratif. Akan tetapi, menampilkan omongan tersebut ke dalam bentuk tulisan, apalagi karya (ilmiah) yang nyata, akan mengakibatkan mala petaka bagi dirinya.
Menyelisik kegamangan dan ketidakberdayaan para cendekia di dalam menumbuhkan karsa dan karya dalam dirinya, kiranya perlu adanya pemahaman dan pencerahan yang lugas. Jika tidak, ilmu menulis yang diterima sejak Pendidikan Dasar sampai Pendidikan Tinggi, bahkan dalam berorganisasai sekalipun itu hanya sebatas slogan saja. Tulisan orang lain terus bergulir sepanjang masa mengelilingi kehidupannya, sementara aksi menulis dalam dirinya berjalan di tempat. Artinya, tulisan-tulisan yang ditampilkan hanya sebatas catatan biasa seperti ketika guru mengimla bahan ajarnya. Untuk menghasilkan karsa dan karya tulis sendiri hanya sebatas mimpi.
Estimasi terhadap keganjilan daya menulis para pemilik ilmu semacam itu perlu segera diminimalisirkan. Mengapa demikian? Hal itu disebabkan semua hal yang akan diungkapkan sebenarnya tidak jauh dalam dirinya, bahkan melekat. Tinggal saja cara mensiasati terhadap munculnya ide yang harus didalaminya. Lalu...tindakan apa saja yang mesti digerakkan oleh penulis atau calon penulis pemula, sehingga semuanya nanti akan menjadi barometer baginya untuk meramu kata-kata menjadi sebuah tulisan yang bernas? Mungkinkah karsa dan karya itu akan dapat dimaniferstasikan secara runtut? Jawaban atas pertanyaan ini akan dapat memberi penanganan terhadap kekalutan yang dirasakan terutama oleh penulis pemula. Kiat penganan dimaksud dapat diperhatikan dalam pembahasan berikut ini.
Pemahaman Karsa dan Karya
Segala sesuatu yang akan diperbuat seseorang pasti tidak akan dapat dilakukannya dengan baik tanpa dimodali oleh ilmu pengetahuan atau pemahaman terhadap subjek dan objek yang digelutinya. Demikian juga dengan menyusun sebuah tulisan untuk berbagai keperluan. Sang calon penulis harus membekali diri terlebih dahulu dengan poin atau bahan yang akan ditulis. Jika tidak, nantinya akan sulit baginya, dan tidak tertutup kemungkinan perjalanan menggores gagasan berhenti di tengah jalan, bahkan tidak tuntas sama sekali. Akhirnya, kekecewaan menghantui dirinya.
Untuk itu, pemahaman terhadap "Karsa dan Karya" wajib diketahuinya. Dalam hal ini pihak STIKes  Buleleng dalam situsnya menyatakan bahwa "... Karsa adalah kehendak/tekad yang menggerakkan segala cipta dan rasa itu terlaksana", https://stikesbuleleng.ac.id. Sementara karya adalah hasil perbuatan atau hasil ciptaan (KBBI). Diakses dan dikutip 8 Desember 2023 pukul 08.00 WIB.