Mohon tunggu...
DR. H. Marzuki Alie
DR. H. Marzuki Alie Mohon Tunggu... Dosen - Rektor Universitas IGM 2015 - 2023 ; Ketua DPR 2009-2014

Pendidikan S1 Manajemen Operasional Pendidikan S2 Manajemen Keuangan Pendidikan S3 Manajemen Pemasaran

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kepemimpinan Menurut Islam dan Implementasi Bhinneka Tunggal Ika

28 Agustus 2012   17:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:12 3613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Terus terang, melayani kritik yang mengalir seperti air bah dalam media sosial, ibarat memukul angin, atau membelah air, sehingga sangat memeras pikiran, waktu dan tenaga. Satu direspon, muncul kritik yang sama dari sumber yang berbeda dengan jumlah yang lebih banyak.

Saya berkesimpulan bahwa keberagaman yang menjadi landasan berdirinya bangsa ini telah salah diartikan, seolah kebhinnekaan mengharamkan adanya dinamika dalam kehidupan beragama, agama dipersepsikan sebagai wilayah yang sangat private, padahal ada kewajiban agama kepada pengikutnya untuk selalu memberikan pencerahan kepada ummatnya sesuai tuntunan agama dan kepercayaannya masing-masing, artinya ada wilayah eksklusif yang harus dihargai sebagai bentuk penghormatan kita kepada saudara-saudaranya yang berbeda agama dan keyakinan. Misalnya tempat ibadah, perkumpulan komunitas agama tertentu, acara-acara keagamaan lainnya yang dilakukan oleh kelompok pemeluk agama tertentu.

Harus dipahami juga bahwa agama tidak hanya memberikan tuntunan ritual dalam beribadah kepada Tuhannya, tapi memberikan tuntunan dalam berbagai aspek kehidupan, baik kehidupan sosial kemasyarakatan, kehidupan rumah tangga, kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk politik.

Sepanjang pencerahan tersebut dilakukan sesuai dengan tuntunan agamanya dalam ruang eksklusif, di dalam komunitas agama tertentu, maka tidak boleh ada yang mengintervensi. Itulah pemahaman kebhinnekaan yang seharusnya.

Kata kuncinya, apabila seluruh masyarakat Indonesia menjalankan keyakinan agamanya masing masing dengan baik dan benar, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang besar, bangsa yang damai, aman, adil dan sejahtera, karena tidak ada satupun agama yang mengajarkan kekerasan. Semua agama mengajarkan kedamaian, persaudaraan, keadilan, kebenaran yang universal.

Lalu mengapa banyak yang mempersoalkan seminar "Kepemimpinan menurut Islam" dalam komunitas muslim saya? Padahal walaupun eksklusif, saya tetap taat terhadap peraturan perundangan, yaitu tidak boleh melakukan kampanye, itulah hukum positif yang harus saya taati sebagai warga negara Indonesia. Dalam seminar tersebut, tidak ada satu pun kalimat saya membicarakan tentang Pemilukada DKI.  Tidak ada satu pun kalimat saya menyebut kandidat gubernur. Lalu mengapa ada berita, ajakan saya untuk memilih gubernur yang seiman,yang kemudian berkembang liar menjadi berita yang menyesatkan.

Setelah acara seminar dengan Fatayat NU pada 26 Agustus yang lalu, beberapa media menyampaikan pertanyaan kepada saya, selaku kader PD, tentang Pemilukada DKI.

Saya tegaskan selaku kader, merupakan kewajiban bagi kami diminta atau tidak, Timses atau tidak, bekerja memberikan kontribusi untuk kemenangan calon yang diusung oleh partai saya, yaitu Foke-Nara.

Menyusul pertanyaan berikutnya, yaitu apa kaitan substansi materi seminar dengan Pemilukada DKI.

Menurut saya, apa yang disampaikan dalam seminar itu menjadi tuntunan bagi ummat Islam, namun semuanya tergantung yang bersangkutan, apakah akan melaksanakan tuntunan agamanya atau tidak, karena hal tersebut menjadi tanggung jawab pribadi masing-masing kepada Tuhannya.

N     Sebenarnya demokrasi ini memberikan ruang bagi mayoritas untuk terpilih menjadi pemimpin, tetapi sekali lagi, tidak menutup ruang minoritas untuk terpilih. Contoh, di  Sulawesi utara dan NTT, dimana mayoritas masyarakatnya non-muslim, terpilih gubernurnya non-muslim. DKI mayoritasnya muslim, kalau mereka mengikuti tuntunan, maka muslim yang akan terpilih menjadi gubernur. Namun ini bukan keharusan, kalau bersifat keharusan, maka itu berarti pemaksaan dan tidak demokratis. Apabila nantinya yang terpilih non-muslim, sebagai keniscayaan demokrasi, maka semuanya harus menerima dengan ikhlas, dan itulah takdir Allah, tidak ada alasan apapun untuk menolak hasil pemilukada tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun