Mohon tunggu...
DR. H. Marzuki Alie
DR. H. Marzuki Alie Mohon Tunggu... Dosen - Rektor Universitas IGM 2015 - 2023 ; Ketua DPR 2009-2014

Pendidikan S1 Manajemen Operasional Pendidikan S2 Manajemen Keuangan Pendidikan S3 Manajemen Pemasaran

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Masyarakat Religius dan Supremasi Moral dalam Kehidupan Berperadaban

8 April 2012   05:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:54 1465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Dr. Marzuki Alie

Peradaban atau civilization didefinisikan dalam beberapa pengertian. Beberapa ilmuwan Barat seperti Samuel Huntington, Czarnowski, Rene Sedilot dan lain-lain, mengartikan civilization sebagai nilai-nilai, institusi-institusi dan pola pikir, termasuk khasanah pengetahuan dan kecakapan teknis yang mencapai taraf tertentu dari kebudayaan yang menjadi bagian dari suatu masyarakat dan terwariskan dari generasi ke generasi. Dalam Islam, ada istilah yang disebut hadharah, yang artinya sekumpulan konsep tentang kehidupan yang berupa peradaban spiritual (diniyah ilahiyyah) maupun hasil berpikir manusia (wadl’iyyah basyariyyah).

Banyak sekali peradaban yang tumbuh, kemudian mati, bangkit kembali, dan seterusnya, yang pernah ada di muka bumi ini. Bahkan banyak pula peradaban yang hilang lenyap dari muka bumi, meskipun dulu pernah berjaya dan gilang gemilang. Tercatat, banyak sekali bekas peradaban yang pernah berjaya, namun hilang dan hanya meninggalkan bekas, seperti Machu Picchu di Peru, Angkor Wat di Kamboja, Mesir Kuno, Petra di Yordania, dan lain-lain. Bahkan ada peradaban seperti dongeng, antara ada dan tiada.

Saat ini, menurut Samuel Huntington, terdapat sembilan peradaban yang masih eksis, yaitu peradaban Barat, Konfusianis, Jepang, Islam, Hindu, Slavik, Ortodoks, Amerika Latin, dan Afrika. Dari peradaban-peradaban tersebut ada tiga peradaban besar, yaitu: peradaban Barat, peradaban China dan peradaban Islam.

Namun, peradaban yang tumbuh dan berkembang, sesungguhnya tidak ada yang berdiri sendiri, antar-peradaban yang ada di Bumi saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Peradaban Barat yang dianggap sedang berjaya saat ini, dipengaruhi langsung oleh peradaban Yunani-Romawi, Judeo-Kristiani, dan Islam. Bahkan disebutkan bahwa, Peradaban Barat itu bukanlah peradaban yang baru yang tumbuh di muka bumi, tetapi peradaban lama yang tumbuh kembali (re-birth) atas pilar-pilar peradaban Yunani-Romawi, Judeo-Kristiani, dan Islam, meskipun beberapa ilmuwan Barat kadang menolak adanya pengaruh Islam dalam peradaban mereka.

Peradaban Islam

Begitu pula peradaban Islam, pada awal-awal kelahirannya juga dipengaruhi oleh peradaban Yunani-Romawi. Saling mempengaruhi antar-peradaban memang sangat dimungkinkan, sebab bagi ilmuwan Islam, menerima warisan intelektual dari manapun datangnya bukanlan suatu kekeliruan. Bahkan sebagaimana dibuktikan dalam sejarah, umat Islam “tidak alergi” terhadap peradaban Mesopotamia, Bizantium, Persia, Hindu maupun China. Hal ini dimungkinkan, karena Islam adalah agama yang inklusif, terbuka dan toleran terhadap pengaruh “asing” sejauh tidak bertentangan dengan prinsip tauhid (tauhid).

Jika umat Islam mengalami kekalahan atau kemunduran, mereka segera ingat  pada QS. Ali Imron 140 yang artinya: “dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)”. Ayat Qur’an yang segera menjadi kesadaran inilah yang membuat umat Islam selalu optimis bahwa peradaban Islam yang sempat berjaya dan mengalami keruntuhan, akan tumbuh kembali. Al Qur’an pun menjelaskan periode masa kenabian dengan berbagai peristiwa yang mengguncang dunia, mulai dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, masing-masing memiliki sejarahnya tersendiri. Dari rentetan sejarah itu, ada sebuah pesan yang tak lekang oleh waktu, yakni nilai ketauhidan (tauhid). Artinya, Allah SWT, memiliki peran terhadap maju-mundurnya peradaban manusia.

Nilai Agama dan Supremasi Moral

Jika kita memetik pelajaran dari bangkit dan runtuhnya sebuah peradaban, dapat disimpulkan bahwa peradaban akan bangkit dan tetap berjaya, tatkala masyarakatnya tetap konsisten mematuhi pesan nabi dan pemimpin yang taat (pada nilai-nilai ketauhidan). Yaitu mematuhi pesan agama (religius) dan berpegang teguh nilai-nilai moral bangsanya. Namun peradaban akan cepat runtuh tatakala mereka mulai ingkar terhadap agama dan memusuhi pemimpin yang taat kepada agama dan moral bangsanya.

Melihat ini, kemudian yang menjadi pertanyaan adalah, masihkah masyarakat dan bangsa kita taat terhadap nilai-nilai agama dan nilai-nilai moral? Masihkah para pemimpin kita bisa diteladani karena akhlak dan moralnya?

Ada beberapa penyebab kehancuran peradaban bangsa, seperti kepuasan diri para ilmuwan para pemimpin, sikap hedonis dan rusaknya moral dan akhlak masyarakatnya, atau dihancurkan oleh faktor luar seperti serbuan bangsa lain atau kerusakan alam. Faktor kerusakan alam atau serbuan dari bangsa lain, tercatat pernah dialami oleh bangsa manapun. Bencana alam pernah menggilas beberapa peradaban dunia, seperti bencana gunung Vesufius di Italia, dan bahkan sampai saat inipun, beberapa peradaban masih saling curiga dan saling berperang.

Dari faktor pemimpin, dalam kajian siyasah Islamiyah seorang pemimpin haruslah dapat dipercaya, berkata benar, menyampaikan kebenaran, dan memiliki kekuatan yang menunjukan kemampuan dia dalam memimpin (al qudwah). Begitu pentingnya komitmen kejujuran seorang pemimpin kepada rakyatnya, sampai-sampai agama mengharamkan surga bagi pemimpin yang mati dalam keadaan menipu rakyat. Rakyat-pun diharamkan taat kepada pemimpin yang tak bermoral yang suka membuat kezaliman. Namun sebaliknya, rakyat wajib taat kepada pemimpin yang memiliki moral yang baik sesuai ajaran agama. Pemimpin yang bermoral tentunya bekerja keras untuk kemakmuran rakyatnya, melihat dengan mata rakyat, berbicara dengan bahasa rakyat, dan menangis ketika melihat rakyatnya dihimpit kemiskinan.

Dari faktor masyarakatnya, dijelaskan oleh ilmuwan Muslim Ibn Khaldun, bahwa yang merusak peradaban diantaranya adalah tenggelamnya masyarakat dalam kemewahan dan memperturutkan hawa nafsunya sehingga terjerumus dalam kehancuran. Ibn Khaldun juga menjelaskan bahwa tujuan pembangunan adalah terbentuknya peradaban dan kemegahan. Apabila tujuannya telah tercapai, maka secara perlahan akan berbalik menuju kehancuran dan mulai memasuki usia senja, seperti layaknya terjadi pada daur kehidupan. Peradaban adalah tujuan pembangunan dan sekaligus merupakan penyebab kehancurannya. Lebih lanjut, berpendapat,  moralitas yang dihasilkan oleh peradaban dan kemegahan adalah sebuah kerusakan. Maka apabila manusia telah rusak moral dan agamanya, maka rusak pulalah kemanusiaannya dan jati dirinya. Sebab manusia dianggap sebagai manusia karena bergantung pada sejauhmana dia mampu mengambil manfaat dan menghindari bahaya secara konsisten. Namun karena keterbatasannya, manusia tidak mampu menjaga sikap konsistennya. Baik disebabkan oleh ketidakberdayaannya mensyukuri kesejahteraan, maupun karena merasa ujub dengan kemegahan yang diperolehnya.

Korupsi Anti-Peradaban

Seorang bangsawan Inggris Abad ke-19 Lord Acton mengatakan:  “power tends to corrupt; absolute power tends to corrupt absolutely”. Kekuasaan memiliki korelasi positif dengan perilaku korupsi. Korupsi biasanya dilakukan oleh orang yang memiliki kuasa, sedangkan cara berkuasa bisa dilakukan dalam sistem politik apapun. Dengan kata lain, perilaku korup sering dilakukan oleh para pemimpin, dan perilaku ini, juga bisa berlangsung dalam peradaban manapun. Korupsi telah menjadi penyakit bagi setiap peradaban dan menjadi kejahatan kemanusiaan.

Ironisnya, tema korupsi, saat ini masih menjadi tema yang terus mengemuka dalam kehidupan bangsa kita. Bukan hanya terhadap masyarakatnya, para pemimpin bangsa ini, kerap diberitakan terlibat dalam berbagai kasus korupsi yang akut. Maraknya perilaku korup yang melanda bangsa ini, dikhawatirkan akibat pendidikan dan pola pembangunan masa lalu yang keliru, yang tidak dilakukan secara menyeluruh tetapi hanya dititikberatkan pada pembangunan empirik yang hanya mengacu pada tujuan-tujuan hedonis semata.

Ibnu Khaldun mengatakan, bahwa pembangunan sebuah peradaban yang berkesinambungan, seharusnya tidak meninggalkan aspek-aspek spiritual dan moral bangsa. Sebab makna membangun peradaban mencakup makna umur dan kemakmuran sebagai objek tujuan. Artinya, setiap jiwa yang diberi umur harus membangun. Sebab kerja-kerja pembangunan adalah ibadah yang wajib dilakukan manusia selaku pemimpin (khalifah) di muka bumi demi tercapainya kemakmuran dunia akherat.

Sementara, perilaku korupsi adalah perilaku yang bertolak belakang dengan upaya membangun peradaban. Kejahatan korupsi ini adalah perilaku yang jauh meninggalkan aspek-aspek spiritual dan moral sehingga jauh dari upaya membangun sebuah peradaban yang kuat. Dalam catatan sejarah pula, disimpulkan bahwa sebuah peradaban bangsa akan cepat runtuh, tatkala korupsi telah menjadi penyakit dan menggerogoti masyarakatnya.

Dengan bangkit dan runtuhnya sebuah peradaban akibat adanya korupsi, sesungguhnya kita telah diperingatkan agar membangun sebuah peradaban yang benar-benar beradab, baik kepada Tuhan, kepada sesama, maupun kepada alam sekitar kita. Membangun peradaban ini, dapat dilihat jelas melalui konsep madinah atau civil society, dimana berkumpulnya sebuah komunitas yang bersama-sama membangun peradaban yang didasari supremasi moral dan ruh keagamaan. Wallahu’alam Bissawab.*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun