Malam itu, untuk yang pertama kalinya aku melihatmu. Memandangmu dengan penuh tanda tanya. Serasa aku telah mengenalmu jauh sebelum datangnya malam itu.
Matamu pun melirik ke arah ku yang duduk tersandar pada kursi bagian depan mobil, tepat di belakang sopir yang berumur kisaran 50 tahun itu. Aku berkata dalam hati ku kalau aku begitu akrab rasanya dengan raut wajah dan sorotan matamu.
Tapi, kapankah aku bertemu denganmu? Bahkan namamu saja aku tak tahu. Akan tetapi, sungguh, aku sangat dan amat mengenalmu. Mungkinkah di lauhul mahfuz? Saat kita masih di alam ingatan..entahlah.
Lalu, tanpa ragu aku pun bertanya kepada seorang senior yang ada di sampingku..
“teh, kakak itu namanya siapa?”, tanyaku polos
“ohh,, itu namanya kak ……..(sekali lagi nama itu mungkin yang telah Allah gariskan)
Aku pun membalasnya dengan kata“oohhh”…..tapi benak ku masih menimbulkan tanda tanya. Aku memanggilmu, HBS(bukan singkatan) J
Lalu, aku dan kau pun berbagi pandang. Hanya sebentar.
Ternyata, masyarakat kampus ku banyak yang mengenal pemuda itu.Bahkan hampir semua mahasiswi yang aku kenal menjadikan pemuda itu sebagai salah satu topic obrolan mereka.
Suatu hari, teman yang berada dalam amanah yang sama denganku selalu menyebut namamu di hadapanku. Kau bagaikan singa yang kehebatanmu selalu dibicarakan masyarakat hutan. Dan ternyata baru ku tahu, kalau kau adalah salah satu mahasiswa dari “fakultas hutan belantara” itu..
Namun, aku sama sekali tak pernah mengetahui itu semua. Iya sih, nama pemuda itu telah sering aku dengar. Tapi, tak sedikitpun aku mencoba mencari tahu bagaimana rupa pemuda itu, dia fakultas apa, apalagi obrak-abrik medsosnya (ga banget dah) dan semacamnya.Aku cuek saja dengan itu semua.
Hingga berlalunya malam itu, aku masih acuh dengan dirimu. Bahkan aku sempat lupa kalau malam pertemuan pertama ku dengan mu itu pernah terjadi, mengisi waktu.
Hari berganti minggu. Dan minggu pun berganti bulan. Begitulah rentang pertemuan malam itu antara aku dengan mu. Hingga datang satu hari dari amanah yang aku jalani yang membuatku harus berhubungan denganmu. Sekali lagi kepolosan itu masih menyelimuti diriku. Jiwa kekanak-kanakan itu masih membungkus tingkahku. Tapi, ada magnet tersendiri yang membuatku tak mampu mendefinisikannya. Hingga,, hari itu pun berlalu.
***
Itu tahun lalu. Tahun yang menjadi saksi kalau cetak biru dari DNA itu akan menemukan muaranya. Tapi kapan? Misteri waktu dan hanya Allah yang menentukan.. aku pun tak bisa menerka.
Prinsip yang dengan kukuh aku pegang tak boleh goyah dengan nano-nano rasa yang belum pasti. Aku takut berlebihnya rasa itu membuatku hanyut dan melupakan muara terbesar kehidupan, Allah SWT.
Maka, aku pun memutuskan untuk mengurangi keterkaitan hubunganku dengan mu. Mengeliminir pertemuan-pertemuan dengan mu. Berusaha menghindari pekerjaan-pekejaan yang melibatkan aku denganmu. Tapi, aku hanya manusia. Bisa berencana tapi gagal mengelola. Aku pun sesekali hanyut dengan kehadiran ragamu di hadapanku. Dan setelah itu aku kembali menyesalinya..
Ini semua misteri dari pertemuanku denganmu..hingga menatap matamu saja aku tak sanggup. Bukan karena aku acuh dengan dirimu, tapi karena Imanku belum sekuat ummahatul mu’minin. Aku takut panah-panah setan menguasai pandanganku terhadapmu.
Aku hanya sebagian kecil dari wanita akhir zaman yang berusaha menjadi wanita shalehah, perindu syurga.
Dari yang maha lemah imannya..-@MJ_Gullen-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H