Lingkungan yang bermoral tidak terjadi begitu saja. Tetapi membutuhkan upaya dari para orang tua, pendidik, pemimpin gereja, dan lembaga yang ada di komunitas. ~Suster Catherine McNamee, S.S.J (Presiden, National Catholic Education Association)
Dalam rangka menciptakan iklim moral yang sehat maka diperlukan kegotongroyongan dan kesukarelaan dari semua pihak. Sebab Lickona (1991), memandang anak-anak yang hidup dengan rendahnya kesadaran moral kini mulai bermunculan. Pikiran Soejono (1989), dalam "Doktrin-Doktrin Kriminologi" menyebutkan bahwa penyebab utama dari kejahatan adalah unsur lingkungan pergaulan hidup.
Hari-hari ini lingkungan pergaulan hidup tidak lagi menjamin keamanan dan kenyaman anak-anak belajar sesuatu yang baik-baik, bahkan sejak dulu Lickona (1991), mencatat perilaku kenakalan remaja yang membentuk kekerasan sering terjadi pada mereka yang tinggal dalam satu lingkungan, yang kemudian membentuk tindakan-tindakan keji dan brutal yang memperlihatkan rendahnya jiwa kemanusiaan yang sengaja dilakukan tanpa rasa bersalah.
Deretan kasus kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini memberi bukti nyata pada kita bahwa iklim moral bangsa ini sedang tercemar. Hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak Remaja (SNPHAR) Tahun 2018 mencatat mayoritas kasus kekerasan dilakukan oleh teman sebaya anak.
Survei ini dilakukan pada anak dan remaja usia 13-17 tahun sebanyak 5.383 dan usia 18-24 tahun sebanyak 4.461 jiwa. Ditemukan fakta kekerasan terhadap anak diantaranya, kekerasan verbal maupun nonverbal.
Pada bulan Januari sampai dengan 13 Februari 2019 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 17 kasus dalam sektor pendidikan berkaitan dengan kekerasan dari 24 kasus yang diterima.
Sementara itu, pada tahun 2019 sebanyak 101 anak di Kota Surabaya, yang putus sekolah terlibat tawuran maupun kenakalan remaja lainnya (kompas.id/baca/nusantara/2019).
Pada kasus lain, survei dari Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2019, menunjukan 2,3 juta pelajar atau mahasiswa mengonsumsi narkotika. Sementara World Drugs Reports 2018 dari The United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) menemukan 5,6 persen penduduk dunia atau 275 juta orang dalam rentang usia 15 hingga 64 tahun pernah mengonsumsi narkoba minimal sekali.
Amat memprihatinkan, harapan akan sikap yang mencerminkan kebajikan dari anak-anak bangsa telah gagal dibangun oleh orang tua, pendidik, dan masyarakat baik pada lingkungan keluarga, sekolah, maupun sosial.
Perlu digarisbawahi kata-kata Presiden National Catholic Education Association Suster Catherine McNamee, S.S.J "lingkungan yang bermoral tidak terjadi begitu saja, tetapi membutuhkan upaya dari para orang tua, pendidik, pemimpin gereja, dan lembaga yang ada di komunitas".
Teori sistem ekologi menekankan, perkembangan individu tidak dapat dilepaspisahkan dari lingkungan tempat individu tersebut berada (Darling, 2007; Glassman dan Hadad, 2009).
Lebih lagi, teori pembelajaran sosial yang menyatakan bahwa anak mempelajari suatu perilaku melalui pengamatan dan hubungan langsung dengan orang lain yang berada di sekitarnya (Narvaez, 2008; Miller, 2011; Sanderse, 2013). Jadi pihak keluarga, sekolah, dan masyarakat mesti bergandengan tangan dalam rangka menciptakan iklim moral yang sehat agar anak-anak dapat belajar sesuatu yang baik-baik.
Syah (2002), mencatat hubungan yang harmonis di lingkungan sosial sekolah, seperti pendidik, tenaga administrasi, dan teman-teman sekelas menjadi motivasi bagi anak untuk belajar lebih baik di sekolah. Ditambah lingkungan sosial keluarga melalui sifat-sifat orangtua, demografi rumah (letak rumah), pengelolaan keluarga, semuanya dapat memberi dampak terhadap aktivitas anak.
Hubungan antara anggota keluarga, orangtua, kakak, adik yang harmonis akan membantu anak melakukan aktivitas dengan baik. Sementara lingkungan sosial masyarakat yang kumuh, banyak pengangguran, dan anak terlantar, juga dapat mempengaruhi aktivitas anak, paling tidak anak akan kesulitan ketika memerlukan teman belajar, diskusi atau meminjam alat-alat belajar yang kebetulan belum dimilikinya.Â
Pandangan Hurlock (1999), terkait empat faktor yang mempengaruhi perkembangan moral anak diantaranya; Mempelajari apa yang diharapkan kelompok sosial dari anggotanya sebagaimana dicantumkan dalam hukum, kebiasaan, dan peraturan; Mengembangkan hati nurani; Belajar mengalami perasaan bersalah dan rasa malu bila prilaku individu tidak sesuai dengan harapan kelompok; dan Mempunyai kesempatan untuk interaksi sosial untuk belajar apa saja yang diharapkan kelompok.
Lebih dari itu, iklim positif yang dibangun dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat mampu menyediakan kesempatan bagi anak mengembangkan pengetahuan moral, perasaan moral dan tindakan moral sehingga anak memiliki karakter yang kuat. Dengan demikian, aktivitas positif yang diterima anak di dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat dapat membantu anak untuk melatih potensi moral yang ada pada dirinya (Walker, 1999; Ponzetti, 2005).
Para orang tua, pendidik, maupun anggota masyarakat setempat mesti membiasakan diri untuk menampilkan sikap yang berbudi pada anak. Sebab anak-anak adalah masa depan kehidupan. Mereka mesti berjalan mengikuti kehidupan itu dengan sikap yang berbudi. Karena kepada mereka masa depan kehidupan digantungkan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H