Mohon tunggu...
maryam azizah
maryam azizah Mohon Tunggu... -

mahasiswa universitas indonesia

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Sudah Terlahir Tetapi Masih Ada Sistem Jaringan BPJS yang Belum Berfungsi dengan Baik

2 Januari 2015   14:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:58 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti yang kita ketahui dan pahami mengenai sistem BPJS yang sudah berjalan sampai dengan sekarang ini, BPJS yang merupakan jaminan kesehatan nasional yang mewajibkan seluruh warga negara Indonesia menjadi peserta tanpa terkecuali untuk mendapatkan jaminal sosial dipelayanan kesehatan. Ketika kita membahas mengenai jaminan kesehatan nasional tersebut, hal awal yang perlu diperhatikan yaitu mengenai sosialisasi serta kesiapan pelayanan kesehatan itu sendiri, disini terlihat masih adanya kesenjangan informasi serta koordinasi dari tiap-tiap pelayanan kesehatan, ibarat sistem dalam jaringan BPJS yang belum berfungsi dengan baik secara optimal, masih banyaknya hal-hal yang seharusnya dapat menjadi jaminan kesehatan yang dapat memberikan perlindungan kesehatan kepada peserta malah menjadi kesakitan dan kebingungan bagi peserta yang menggunakan BPJS dan terkadang justru peserta yang menggunakan jaminan BPJS malah dianggap sebagai peserta yang tidak mampu sehingga pelayanan yang diberikan tidak optimal di fasilitas kesehatan,

Selain itu seperti yang kita tahu juga meskipun BPJS telah melakukan sosialisasi diberbagai media dan berbagai bentuk informasi lainnya, namun informasi itu rupanya tidak mampu menjangkau masyarakat diberbagai daerah, kurangnya sosialisasi menyebabkan informasi yang ada mengenai prosedur dan pemanfaatan BPJS Kesehatan masih membuat peserta bingung serta kurangnya sosialisasi mengenai regulasi para stakeholders yang dilihat belum paham betul mengenai regulasi Jaminan Kesehatan Nasional. Pedoman pelaksanaannya juga belum dijabarkan secara lengkap dan jelas.

Saat menerapkan sebuah kebijakan mengenai warga negara Indonesia wajib menjadi peserta BPJS apakah mungkin jika pelayanan dan fasilitas kesehatan lainnya pun yang kita ketahui belum semua menjamin atau melayani peserta BPJS? Apakah sistem BPJS itu sendiri sudah disosialisasikan dengan baik kepada seluruh fasilitas pelayanan kesehatan maupun masyarakat? dan Siapakah yang seharusnya bertindak jika terjadi kesenjangan informasi antar pihak fasilitas kesehatan mengenai rujukan dan lainnya? dan itu semua lagi dan lagi yang harus menanggung dan terkena dampaknya tidak lain adalah peserta atau masyarakat. Mereka lagi-lagi yang harus terkena dampak ketika mengalami suatu hal buruk akibat kurangnya koordinasi dan sosialisasi dari sistem BPJS tersebut. mungkinkah dapat tercapai derajat kesehatan Indonesia yang lebih baik. Seperti yang kita ketahui selama BPJS berjalan sampai sekarang ini masih banyak keluhan yang justru dialami, korban dari kebijakan BPJS pun meliputi: petugas pelayanan kesehatan, institusi sampai dengan peserta BPJS terutama dikalangan ekonomi menengah kebawah.

Dibawah ini merupakan kekecewaan kejadian yang terjadi dan dialami peserta BPJS:

Kejadian terjadi ketika salah satu klinik memberikan surat rujukan ke salah satu rumah sakit, ketika mereka memberikan rujukan kepada pasien untuk melakukan pemeriksaan gigi dirumah sakit tersebut, tetapi ketika pasien datang ke rumah sakit tersebut ternyata dirumah sakit tersebut untuk pelayanan gigi tidak dijamin karena untuk pelayanan tersebut tidak bekerja sama dengan BPJS, akhirnya pasien yang tidak tahu apa-apa selain mendapat surat rujukan untuk ke rs tersebut merasa kecewa dan marah, dilain pihak tidak jarang staff RS yang menerima komplain atau kemarahan pasien juga karena dianggap mempersulit, bahkan terkadang dituding mencari keuntungan. Ini terjadi karena mungkin beberapa faktor, entah mengenai kurangnya sosialisasi di klinik mengenai sistem rujukan, maupun koordinasi antar pelayanan RS.

Lain lagi pelayanan kesehatan yang tidak mendukung, terkait seorang pasien dari bidan praktek swasta yang mau melahirkan dengan kondisi anak ke 5 umur ibunya sudah 44 tahun, dengan tekanan darah tinggi 160/110 sudah menjurus kearah Pre eklamsi berat dengan risiko terjadinya kejang dan risiko kematian kepada bayi, saat itu pasien tersebut datang ke bidan praktek swasta dengan pembukaan 4, karena bidan itu sudah mengetahui risiko yang akan dialami maka si pasien itu membutuhkan fasilitas di RS yang mempunyai peralatan komplit, dan bidan tersebut merasa ini harus ditangani secepatnya karena bisa membahayakan ibu dan bayi, akan tetapi ibu tersebut telah mendatangi RS yang menjadi rujukan BPJS tetapi semua menolak padahal ibu sudah membawa surat pengantar hasil pemeriksaan untuk dibawa ke RS agar dapat ditangani secepatnya, tetapi dari ke 5 RS menyatakan tidak ada kamar kosong, lalu pasien tersebut pergi ke RS yg ke 6 dan berharap kmngkinan bisa, saat itu di RS terakhir yang ia kunjungi dengan keadaan psien yg sudah kesakitan karena mau melahirkan, RS tersebut menerima, dan setelah tidak berapa lama akhirnya lahirlah bayi tersebut di UGD.

Selain itu, masalah sosialisasi obat-obatan yang dulunya masuk dalam Daftar Plafon Harga Obat kini tidak ada di Fornas sehingga pasien harus membeli sendiri. Ini terutama dikeluhkan oleh peserta yang dulunya menggunakan ASKES. Dengan kondisi ini, petugas RS sering menerima banyak komplain dari pasien dan harus meluangkan banyak waktu untuk menjelaskan Fornas, yang seharusnya hal ini dilakukan oleh petugas BPJS untuk lebih menjelaskan dan mensosialisasikan terlebih dahulu agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam informasi. Dan bagi pasien-pasien yang mengalami alergi terhadap obat-obatan dalam Fornas yang masih perlu solusi tanpa membebani pasien karena harus menebus obat pengganti dengan uang sendiri, serta peraturan mengenai pelayanan kesehatan pada jaminan kesehatan nasional dalam hal obat yang dibutuhkan sesuai indikasi medis pada fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan yang tidak tercantum dalam formularium nasional, dapat digunakan obat lain berdasarkan persetujuan komite medik dan kepala/direktur rumah sakit, tetapi pada kenyataannya obat yang tidak masuk ke dalam fornas tersebut beberapa pihak pelayanan kesehatan langsung mengatakan bahwa obat tidak dijamin dan pasien harus menebusnya sendiri, oleh karena kurangnya sosialisasi mengenai hal tersebut kepada masyarakat, akhirnya mereka yang tidak mengetahui pun menebus dengan uang sendiri.

Dari ini semua, mungkinkah tujuan agar tercapainya derajat kesehatan yang lebih baik bisa terealisasi dengan baik, jika sistem dalam BPJS yang dijalankan belum optimal dan masih banyak terjadi kesenjangan serta ketidaktahuan informasi-informasi yang seharusnya didapatkan.

Mungkin dari beberapa masalah yang terjadi membuat seseorang cenderung belum mau menggunakan atau mendaftar sebagai peserta BPJS terutama banyak juga yang beranggapan bahwa peserta BPJS justru dianggap seperti pasien yang tidak mampu sehingga pelayanan yang diberikan tidak lebih baik dibanding dengan pasien yang membayar pribadi, Semoga setelah satu tahun BPJS berjalan, beberapa masalah yang ada kedepannya dapat diperbaiki sehingga masyarakat dapat terus selalu sehat dan mendapatkan hak layanan kesehatan sehingga dapat tercapainya tujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun