Mohon tunggu...
Mariza Rizqi
Mariza Rizqi Mohon Tunggu... Petani - Hidup seperti naik sepeda motor

Ikatlah ilmu dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Om Telolet Om

11 Maret 2019   18:49 Diperbarui: 11 Maret 2019   19:26 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Om telolet om" teriak sekumpulan anak sambil berlarian di pinggir jalan untuk mengejar bis hanya demi mendengar bunyi klakson yang nyaring itu.

"Hati-hati nak, jangan main di jalan. Bahaya!" seorang pengendara sepeda mengingatkan mereka. Bukannya bermain yang lain, mereka malah memeletkan lidahnya sambil tertawa. Mereka terus bermain di pinggir jalan sambil meneriaki para sopir bus. Terkadang para sopir bus mengabulkan permintaan mereka. "Telolet.. Telolet... Telolet..." dan merekapun tertawa bahagia. Hal ini berlangsung tiap siang sampai sebuah kejadian menimpa salah satu kawan baik mereka.

Siang itu di sebuah sekolah...

Kriiiiiiiiiiiing...! bel pulang sekolah telah berbunyi nyaring. Anak-anak SDN Sukamaju berhamburan dan berebut keluar dari kelas begitu guru mereka mengucapkan salam penutup. Tampak segerombolan anak laki-laki kelas IV melangkah  pulang sambil merencanakan kegiatan rutin mereka.

"Ntar aku tunggu di tempat biasa ya." kata Aldo.

"Maaf temen-temen, hari ini aku  gak boleh main sama ibuku gara-gara nilai ulanganku jelek." sahut Egi sedih.

"Sama pren, aku juga gak boleh keluar sama ayah. Kata ayah sih, bahaya main di pinggir jalan gitu." sahut temen yang lain.

"Aku juga gak boleh main di jalan, sampe-sampe ayahku beliin aku PS biar aku gak main di jalan. Gimana kalau kita main PS aja?" ajak Gilang.

"Aaah... Kalian gak asik. Masak gak ikutan sih. Ya udah Do,ntar kita berdua aja. Biarin mereka main di rumah. Mereka kan anak rumahan." kata Ferdi ketus. Teman-temannya memilih untuk diam daripada meladeni sifat keras kepala dan pemarahnya Ferdi. Si Aldo hanya mengangguk sekilas. Mereka pun berjalan pulang dengan suasana yang berbeda.

Setiba di rumah, Ferdi langsung melepas sepatu dan menaruh tasnya. Tanpa mengganti baju seragamnya, dia bergegas lari. Langkahnya terhenti saat mencium bau harum. "Hmmmm, ibu pasti menggoreng ikan kesukaanku." pikir Ferdi sambil melangkah ke arah dapur. Namun dia mengurungkan niatnya untuk makan.

"Ntar aja deh makannya habis main. Kalau ketahuan ibu, gak bakalan boleh main nih." pikirnya. Ferdi pun mengendap-endap keluar rumah dan menuju rumah Aldo.

Di tengah jalan, Ferdi berpapasan dengan seorang lelaki paruh baya yang terus menatapnya tajam hingga dia mendekat. Setelah Ferdi sudah cukup dekat, tiba-tiba lelaki itu memegang kedua lengannya sambil berkata, "Jangan pergi nak. Bahaya. Pulanglah segera.". " Lepaskan aku. Bapak ini siapa? Penculik ya?" bentak Ferdi sambil meronta. 

Badannya gemetar ketakutan. Dia berusaha melepaskan diri dari pegangan bapak itu, namun rupanya tenaganya kalah kuat. "Tenanglah nak, aku bukan orang jahat. Aku hanya ingin memperingatkanmu. Sebaiknya kau pulang sekarang sebelum semua terlambat." seru sang lelaki sambil menatap kedua mata Ferdi. "Gak! Aku mau main!". " Baiklah nak, aku tak berhak menahanmu. Segala yang akan terjadi memang seharusnya terjadi.

Sekuat apapun kita berusaha merubahnya, takdir itu tetap terjadi. Setidaknya aku sudah memperingatkanmu. Maka berhati-hatilah dan tetaplah waspada!" lalu sang lelaki itu pun berlalu. Ferdi tak mengerti maksud dari kata-kata bapak tadi. Hatinya masih diliputi kebimbangan antara mengikuti peringatan bapak tadi untuk pulang ataukah tetap bermain. Namun ia terus melangkah ke rumah Aldo.

"Woi bro, nglamun aja kamu ini, kenapa sih?"

"Eh kamu,Do. Aku baru aja mau ke rumahmu."

"Haha, aku gak sabar nunggu kamu. Lama banget."

"Hehe, sori. Ya udah yuk."

Mereka berjalan beriringan dengan santai tanpa tahu akan ada kejadian beberapa menit yang akan datang. Sesampai di pinggir jalan, mereka menunggu bus dan meneriaki dengan khas. "Om telolet om". Lalu tertawa senang saat klakson khas itu berbunyi. Saking asyiknya, sampai-sampai Ferdi lupa akan peringatan bapak tadi dan mereka lengah.

Saat sebuah bus datang, mereka mulai teriak dan tak sadar agak berjalan ke tengah. Bus itu melewati mereka tanpa membunyikan klakson. Sang kenek berteriak menyuruh mereka menepi. Mereka tak peduli dan membelakangi kendaraan di arah mereka sambil berteriak kesal ke arah bus tadi. "Huuu... Dasar sopir pelit.". Sementara itu di belakang mereka ada bus lebih besar mengklakson. Lalu Braaaakkkk....

Mereka tidak sempat mendengar teriakan para penumpang dan sopir itu bahwa rem bus sedang blong. Yang mereka tahu, mereka terdorong ke depan dan semua berubah menjadi warna gelap. Bus pariwisata itu telah menabrak kedua anak itu dan menabrak pohon. Para penumpang dan sopir hanya terluka kecil. Tak ada yang parah. 

Mereka bergegas turun untuk melihat kondisi korban. Beberapa orang juga menghubungi polisi dan ambulance. Diantara kerumunan, nampaklah seorang lelaki paruh baya yang hanya mampu melihat sambil bergumam, "Andai saja kau mendengarkan dan menuruti kata-kataku nak. Ah, penyesalan selalu terlambat datangnya. Takdir tak bisa lagi diubah."

Bersambung...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun