Semakin geli aja saya melihat perkembangan dan tren visional partai-partai di Jawa Barat yang semakin menekankan pada popularitas para artis. Apa mungkin memang kecendrungan semua partai di Republik ini ya ?
Satu periode kemarin para artis bertebaran di jabatan-jabatan politis baik eksekutif maupun legislatif. Kira-kira membawa perubahan gak yah…? Bukannya tidak boleh para artis itu masuk dan menjadi “pemain” politik. Tapi, ketika orientasi visioner partai politik hanya menekankan popularitas, lalu di mana visi dan misi yang mesti ditargetkan oleh parpol dalam pemenangannya? Visi misi itu hanyalah dagelan politik untuk tetap punya akses kepada pengelolaan uang Negara. Wah…berbahaya sekali visi-misi partai sekarang ini, pentas politik dianggap sebagai pentas hiburan para artis.
Seperti dikemukakan di Kompas.Com kemarin, tanpa rasa malu, Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq, menyatakan bahwa pilihan Deddy Mizwar untuk mendampingi Ahmad Heryawan sebagai cawagub karena keartisannya. Gayungpun bersambut, Deddy Mizwar tanpa risih menerima pula tawaran itu. Sudah jelas-jelas kok pilihan itu buat menghibur para birokrat, e..e.. mas Deddy malah menyambutnya. Lalu apa artinya jabatan, jika yang mengisi jabatan hanya disuruh menghibur oleh parpol pengusung ? Mas Deddy Mizwar apa ndak malu kedudukannya itu dianggap sebagai penghibur? Kalau mau menghibur, di TV aja mas jangan di birokrasi. Kasihan rakyat kalau selalu diracuni dengan kehidupan hedon di semua ruang publik.
Saya tetap punya pandangan bahwa eksistensi parpol di pilkada Jabar adalah gambaran tenggelamnya rasa kepercayaan rakyat pada keberadaannya. Tak ada lagi pandangan visioner dari parpol yang menunjukkan eksistensinya sebagai pengemban amanah dan sebagai representasi rakyat. Rakyat sama sekali tidak terwakili oleh parpol dan sama sekali tidak tertarik pada perkembangannya selama ini. Kecendrungannya bukan semakin positif untuk bisa berbuat bagi daerah dan bangsa ini, tapi semakin ngelantur tanpa visi dan misi yang jelas.
Arah perkembangan parpol tidak menunjukkan signifikansinya sebagai penggerak dan pressure pengawasan kepada wakil-wakilnya di DPR/DPRD, dan seterusnya pengawasan kepada eksekutif. Namun, mereka seperti berkolaborasi membagikan “kue legit” punya Negara yang notabene adalah punya rakyat. Tekad pemerintah mendorong keberdayaan KPK untuk menekan angka korupsi justru malah menjadikan para koruptor semakin tumbuh subur. Karena “aliran musik politik” yang dimainkan saat ini sudah berubah menjadi aliran “music orchestra”. Gaya korupsinya sudah dilakukan secara kolosal dan massif. Weleh-weleh…, Negara bisa crowded kalo begini caranya.
Padahal, saya ini dulu PKS sejati lho. Tapi, akhir-akhir ini, saya sering dibikin muak dengan sepak terjang PKS. Saya pikir dulu PKS itu oke punya, ternyata yaah…., saya cuma mengelus dada. Hadeeeh…
MR
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H