Mohon tunggu...
Marwiyah Rachman
Marwiyah Rachman Mohon Tunggu... -

Membuka Pintu Langit, Menghidupkan Cahaya Hati

Selanjutnya

Tutup

Politik

Parpol Kurang Eksis di Pilkada Jabar

21 Oktober 2012   09:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:34 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya melihat bahwa manggungnya Jokowi di DKI Jakarta sebagai gubernur justru lebih disebabkan oleh sosoknya yang memang sudah popular sejak ia menggulirkan ide mobil esemka menjadi mobil nasional beberapa bulan yang lalu. Gerakan Jokowi mengangkat popularitas mobil esemka justru menarik perhatian public. Sontak saja, namanya meroket seiring meroketnya mobil esemka. Selain itu, sosoknya yang lebih dekat kepada wong cilik memperlihatkan karakternya yang justru lebih melekat di hati para pendukungnya sehingga melahirkan para pendukung yang cukup solid.

Popularitas Jokowi bukanlah popularitas partai. Kesimpulan yang muncul dari manggungnya Jokowi di Jakarta bukanlah dorongan partai. Sehingga Jokowi lebih terkesan berasal dari jalur independen. Jokowipun tidak menekankan program-program dan janji-janji politik seperti calon pada umumnya. Hal itu terlihat ketika awal ia berkampanye hanya mengatakan “saya melanjutkan program gubernur yg terdahulu”. Bahkan sampai beberapa hari yg lalu pun ia masih mengatakan tetap menjalankan program gubernur terdahulu. Seolah jualan programnya tenggelam bersama performance Jokowi yang lebih dekat dan menyentuh masyarakat bawah.

Eksistensi dan keberanian parpol di Jakarta menjadi barometer terhadap eksistensi parpol di pilkada Jawa Barat. Saat ini, parpol seperti belum mendapatkan suatu ketetapan tentang siapa yang bakal diusung untuk calon gubernur Jabar. Semua masih dalam pembahasan dan desas desus, kecuali incumbent. Kurangnya keberanian parpol dalam memunculkan calon-calon yang didukungnya menjadi tolak ukur bahwa parpol tidak lagi eksis dalam blantika pilkada. Tampaknya parpol kurang siap untuk menjadi pelopor terdepan dalam mengambil keputusan calon yang bakal didukung.

Jika dilihat dari cara Jokowi manggung di Jakarta, ternyata parpol hanya menunggu, melirik-lirik, mengintip-intip dan membiarkan keadaan yang membentuk calon, lalu parpol tinggal “tangkap” dan tinggal menikmati “hasil” dari calon yang terbentuk oleh keadaan tadi. Sehingga kredibilitas calon sama sekali tidak dibentuk oleh partai tapi oleh dirinya sendiri. Pada sisi ini, dukungan parpol menjadi tidak berarti banyak. Artinya, secara defacto sosok calon gubernur adalah independen, meskipun didukung oleh partai.

Nah, peran parpol pada Pilkada Jawa Barat saat ini menampakkan kondisi yang sama. Waktu pilkada yang sebentar lagi dilaksanakan, parpol-parpol masih asyik bertikai di internal partainya. Belum ada ketetapan untuk memunculkan calon dukungannya. Kondisi ini semakin mendukung fakta bahwa parpol telah “tenggelam” sebagai kelompok pemberdayaan masyarakat. Peran parpol tak lebih dari sebagai pecundang bagi para elitnya. Karena itu, jangan heran kalau di DPR itu terlalu banyak boneka kapitalis ketimbang wakil (nya) rakyat. Representasi parpol sebagai “bidan” yang melahirkan wakil rakyat menjadi absurd. Parpol menjadi kurang diminati oleh rakyat.

Rakyat Jawa Barat menginginkan sebuah perubahan paradigma parpol dalam blantika perpolitikan daerah. Seperti di Jakarta, manggungnya Jokowi adalah murni karena performance nya yang low profile. Bukan Jokowi yang ndompleng ke parpol, tapi parpollah yang ndompleng ke popularitas Jokowi. Jadi, sebenarnya yang diuntungkan bukan Jokowinya tapi parpolnya.

Diskursus yang ingin coba dibuka tentang efektifitas pilkada langsung oleh Mendagri, Gamawan Fauzi, dalam hal ini menjadi kontra reformative political will pemerintah. Paradigma kembali kepada pemilu dengan system perwakilan adalah berarti kembali kepada cara berpikir orde baru. Bukan maju dengan paradigma reformatif, malah mundur ke paradigma yang semestinya harus dianggap usang. Di saat parpol kurang mendapat minat di masyarakat, ide-ide untuk kembali ke pemilu perwakilan malah dilontarkan. Ini namanya kontra reformasi.

Fakta yang berkembang di masyarakat sebenarnya, parpol itu kurang mendapat dukungan. Banyak yang pesimis terhadap peran parpol untuk menentukan wakil-wakilnya di DPR atau untuk menentukan calon gubernur. Karena itu, tinggalkan pola-pola lama yang sudah hampir usang dengan afiliasi parpol, sambutlah paradigma baru dengan mengusung independensi calon di pilkada Jabar.

MR

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun