Mohon tunggu...
Marwita Oktaviana
Marwita Oktaviana Mohon Tunggu... Guru - Seorang yang sedang belajar menulis

Ibu dua orang anak yang sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Merdeka Belajar, Selamat Tinggal Kotak-Kotak Imajiner Sambut Borderless Learning Menuju Generasi Siap Saing

31 Maret 2023   09:03 Diperbarui: 31 Maret 2023   09:18 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presentasi hasil proyek siswa (Dok. pribadi)

"Semua makhluk hidup itu jenius, tetapi jika kamu menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon, maka seumur hidup ikan itu akan mempercayai bahwa dirinya bodoh". Albert Einstein.

Di Indonesia sistem pendidikan sebelum kurikulum merdeka digagas lebih condong pada sistem pendidikan yang terpusat pada satu titik saja. Anak-anak digolongkan hanya pada satu hal yaitu disebut pintar jika cerdas secara akademik. Akibatnya sampai saat ini generasi-generasi Indonesia kerap merasa minder dan tidak percaya diri karena menganggap dirinya bodoh karena tidak pintar dalam hal akademik.

"Jahatnya pendidikan di Indonesia adalah ketika setiap anak tidak yakin bahwa dia berbeda dengan orang lain. Padahal, Ki Hajar Dewantara pernah bilang bahwa padi tidak akan menjadi jagung. Padi diperlakukan sebagaimana pagi, jagung sebagaimana jagung." -- Pandji Pragiwaksono

Padahal setiap anak adalah unik, maka guru seharusnya mampu untuk menemukan keunikan anak dan memberikan stimulus untuk mengasahnya menjadi sesuatu yang bernilai. 

Menumbuhkan rasa percaya diri pada anak adalah salah satu hal yang sangat krusial. Apalagi dengan gencarnya digitalisasi pasca pandemi. Kepercayaan diri anak akan membantu menjaga anak dari pengaruh buruk yang bisa terjadi dari interakasi mereka dengan hal-hal di sekeliling.

Merdeka belajar menekankan pada rasa bahagia pada siswa saat melaksanakan pembelajaran. Bukan rasa terkekang dan dipenjara, pembelajaran bisa dilakukan dimana saja dengan media apa saja.

Ada satu poin pada kurikulum merdeka yang bisa saya jadikan pijakan untuk membangun rasa percaya diri anak bahwa mereka berbeda, yaitu pembelajaran berdiferensiasi.

Pembelajaran berdiferensiasi adalah pembelajaran merdeka yang membebaskan anak untuk bisa memaksimalkan pengerjaan tugas berpokok pada hal-hal yang mereka suka atau kuasai.

Kebetulan sekolah saya mendukung sekali pelaksanaan pembelajaran berdiferensiasi tersebut. Guru dibebaskan untuk membuat instrumen pembelajaran dan tugas sesuai dengan keperluan. Asal tidak melenceng dari capaian pembelajaran yang akan ditargetkan.

Contoh aksi nyata yang saya lakukan adalah ketika anak harus membuat proyek untuk tugas akhir mereka pada pelajaran Produk Kreatif dan Kewirausahaan. Untuk proyek akhir ini saya menugaskan anak-anak untuk membuat sebuah benda kerja.

Instrumen tugasnya adalah mereka bebas membuat benda kerja dengan proses dan hasil akhir sesuai kompetensi yang mereka kuasai dan mereka sukai. Tema besarnya adalah "save earth". Jadi saya menugaskan mereka untuk membuat benda kerja yang dihasilkan dari daur ulang limbah pemesinan. Karena kebetulan saya mengajar di bidang teknik pemesinan.

Siswa bebas menggunakan limbah apapun asal berbahan dasar logam. Proyek yang akan dikerjakan juga bebas, apakah mereka mau membuat benda kerja yang usefull atau bisa digunakan sebagai alat bantu manusia atau membuat benda kerja yang estetik atau bernilai seni.

Instrumen penilaiannya terdiri dari: desain benda kerja, proses pencarian alat dan bahan, proses pembuatan, penentuan harga benda, media promosi, dan terakhir presentasi.

Jadi dari instrumen tersebut, saya sebagai guru bisa melakukan penilaian pada kompetensi mereka dalam bidang perancangan produk (saat mendesain produk), proses pemesinan (saat pembuatan benda kerja), kreativitas (pembuatan video proses pembuatan benda kerja dan media promosi, nalar (saat menentukan harga), dan kemampuan komunikasi (saat melakukan presentasi).

Nyatanya dengan merdeka belajar tersebut mereka justru bersemangat sekali menyelesaikan proyek yang diberikan. 

"Kunci pendidikan yang sukses adalah rasa pensaran yang genuine dari anak-anaknya. Gak ada motivasi belajar lebih besar daripada rasa penasaran yang nyata." --Pandji Pragiwaksono

Mereka bersemangat membuat konsep benda kerja apa yang akan dibuat, bagaimana desainnya, belajar terbata-bata cara membuat video dan media promosi yang baik, lalu berdiskusi untuk menentukan harga jual, dan berebut untuk mempresentasikan hasil karya mereka di depan kelas.

Proses pembuatan karya (Dok. pribadi)
Proses pembuatan karya (Dok. pribadi)

Karena hasil benda kerja yang dihasilkan tiap siswa tidak sama, jadi mereka semangat sekali ingin memamerkan hasil kerja kerasnya di depan kelas. Tidak tampak ada yang minder atau merasa terintimidasi meski benda kerja yang dibuat hanya berukuran kecil.

Anak-anak tampak gembira, saling memberi komentar pada pajangan meja, rak buku, rak bunga, tempat duduk, jam dinding, dan masih banyak lagi hasil karya teman-teman mereka.

Presentasi hasil proyek siswa (Dok. pribadi)
Presentasi hasil proyek siswa (Dok. pribadi)

Saya sendiri sangat puas dengan hasil proyek yang terkumpul. Anak-anak riang dan bangga dengan hasil karyanya. Percaya diri memamerkan hasil kerja kerasnya. Nantinya saya yakin, mereka akan terus mengembangkan kreativitasnya dengan kepercayaan diri yang tinggi. Menjadi generasi penerus yang membanggakan Indonesia dengan bakat-bakat yang beraneka. Karena kita ber-Bhineka Tunggal Ika, maka lepaskan stereotipe belajar menjemukan dan terkotak-kotak dengan metode borderless learning.

Anak-anak adalah harta karun terpendam yang akan membawa Indonesia besar di kancah internasional. Dengan kepercayaan diri tinggi bahwa mereka berbeda akan menciptakan Indonesia yang penuh ragam pesona. Semoga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun