Mohon tunggu...
Marwa yumniya Niya
Marwa yumniya Niya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Menghapus Batasan Sosial Dalam Dunia Pendidikan

7 Desember 2024   09:45 Diperbarui: 7 Desember 2024   09:54 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penulis: Bima Yufa Anggoro Djati, Shidqi Nauval Abdussalam, Marwa Yumniya

Kesetaraan gender merupakan perbedaan antara laki laki dan perempuan dari perspektif kultural bagaimana orang tersebut menggangap perempuan sebagai orang yang lemah dibanding laki laki, dengan kata lain permasalahan gender tidak hanya terkait tentang jenis kelamin wanita ataupun laki laki, perlu kita ketahui wanita juga berhak atas pendidikan dan lainnya tugas wanita bukan hanya sebagai ibu rumah tanggasaja, melainkan jugabisa bekerjadanberkarir seperti laki- laki (Riyanto et al., 2023). Kesetaraan dalam masyarakat moderen saat ini masih terhambat oleh dinding mengenai peran dan kedudukan laki- laki maupun perempuan dalam masyarakat yang lebih unggul di dominasi oleh laki- laki hal ini di karenakan peran dari seorang laki- laki dalam kehidupan masyrakat yang berada di bawah kewenangannya menurunkan seorang perempuan. jika perempuan downgrade daripada laki- laki akibatnya akan ketidak seimbangan perempuan dengan laki laki sehingga seorang perempuan hanya menjadi objek eksploitasi laki- laki dalam arti biologis (EFENDY, 2019). Pembahasan soal gender tentunya bukanlah hal yang asing bagi lingkup publik. Maraknya gerakan dan tututan terkait keadilan dan kesetaraan gender diantara keduanya telahbanyakdi bahas oleh berbagai forumdi dunia. Bahwasannya di negara ini sendiri keadilan terhadap gender masih diperjuangan sejak masa pahlawan kita yaitu pada masa Raden Ajeng Kartini, dimana beliau adalah panutan bagi kebebasan seluruh perempuan indonesia untuk berpendidikan agar setara dengan kaum laki-laki. Meskipun upaya dalam meningkatkan keadilan dan kesetaraan gender dalam dunia pendidikan dan tatanan masyarakat terus dilakukan, nyatanya masalah ini belum terselesaikan dengan baik, dari adanya pembahasan gender tersebut yang semakin memanas dan saling melempar argumen. Maka dari itu sebagai penengah antara kaum laki-laki dan perempuan akan menjadi pro atupun kontra tentang bolehkah atau tidak bolehkah seorang perempuan mengenyam pendidikan tinggi seperti laki- laki (Sulistyowati, 2021). Perlu kita tahu, kesetaraan gender merupakan hak bagi semua orang tanpa adanya memandang jenis kelamin baik laki- laki ataupun perempuan. Sementara itu banyak yang menganggap perempuan sebagai second class dalam artian masih dibawahlaki- laki di dalam lingkungansosial (Trisnawati & Widiansyah, 2022). Sementara di dalam dunia pendidikan wanita pada zaman dulu masih di diskriminasi dan wanita pada zaman dulu malah tidak sekolah. Mereka yang tidak sekolah selalu bekerja baik itu di ladang, ataupun membantu orang- orang begitupun sebaliknya laki laki pada zaman dulu dapat bersekolah tinggi dan dapat pekerjaan yang layak seperti menjadi bupati dll. Hal itu membuat salah seorang tokoh atau bisa disebut pahlawan pendidikan wanita yakni R.A. Kartini yang jasanya sangat besar dapat membantu krisis pendidikan bagi semua wanita di Indonesia. Beliau berasal dari kota Rembang kartini juga biasa di panggil sebagai Trinil ini, merupakan nama asli beliau (Riyanto et al., 2023). R.A. Kartini mendirikan sekolah wanita pertama di Jepara dan Rembang, Kartini mendirikan dan membuat pendidikan di Indonesia maju karena terinspiransi dari sosok pandita Ramabai dari India yang negaranya juga mengalami krisis pendidikan dangender. R.A. Kartini juga menulis sebuah buku tentang kesetaraan gender dan pendidikan bagi wanita yang berjudul "Door Duisternis tot Lich: Gedachten over en voor het javaansche va Raden Ajheng Krtini" yang dalam bahasa indonesianya yaitu habis gelap terbitlah terang: pemikiran tentang dan untuk bangsa Jawa oleh Raden Ajheng Kartini. Kartini mengatakan, bahwasanya buku tersebut berisi kekecewaan kartini pada tradisi zaman dulu yang membelenggu perempuan pada masa itu (Safitri et al., 2021). Meskipun sudah banyaknya upaya yang dilakukan untuk meningkatkan keadilan dan pemenuhan hak pada lingkungan sosial dan pendidikan, padangan masyarakat tentang laki- laki sebagai pemegang kekuasaan yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada perempuan sangat menjadi masalah dalam penuntasankesetaraangender(Safitri et al., 2021). Pemerintah sekarang sudah memeberikan kebebasan dalam berpendidikan kepada semua masyarakat, semua memiliki hak yang sama dan tidak dibedakan. Patriarki seringkali memengaruhi pola pikir dari manusia dan mnebar asumi bahwasanya perempuan yang meskipun menempuh pendidikan yang tinggi, posisisnya hanya akan kembali menjadi ibu rumah tangga. Asumsi tersebut terlintas di dalam masyarakatyang masih menganutpatriarki (Sulistyowati, 2021). Nah, maka dari itu perempuan perlu memiliki pendidikan yang tinggi agar suatu saat tidak diremehkan ataupun dianggap rendah oleh seseorang. Pendidikan sangat membantu perempuan di dalam memahami lingkungannya. Melalui kesetaraan gender, pendidikan akan dapat berkembang mulai seiring waktu dan tidak akan lagi membedakan antara perempuan dan laki- laki lagi di dalamnya (Fitriani & Neviyarni, 2022). Kesetaraan gender bukan untuk mempertentangkan antara anak laki- laki ataupun anak perempuan. Yang lebih tepatnya itu di maknai dengan memberikan kesempatan yang sama antara laki- laki atau perempuan nah, maka dari itu perlu adanya peningkatan pengembangan program pendidikan yang tidak membedakan gender. Jadi, kesimpulan yang harus diambil dari pembahasan tersebut adalah,Pentingnya pendidikan yang setara: kesetaraan gender pada pendidikan sangat berperan penting pada akses yang setara baikitu perempuanataupun laki- laki, agar bisa dapat pendidikan yang setara, Mengurangi ketimpangan sosial: pendidikan sangat berkontribusi pada persoalan ketimpangan sosial dan ekonomi. Nah, itu yang diperlukan bagi perempuan untuk meningkatkan status sosial, mengurangi kemiskinan dll, Mengubah pandangan tentang gender: mengurangi stereotip dan diskriminasi soal gender merupakan hal yang perlu dilakukan. Dengan adanya pendidikan tinggi maka hal tersebut dapat terhambat. 

Daftar Pustaka

 EFENDY, R. (2014). Kesetaraan Gender Dalam Pendidikan. , (2), 142--165. https://doi.org/10.35905/almaiyyah.v7i2.239 

Fitriani, E., & Neviyarni, N. (2022). Kesetaraan Gender dan Pendidikan Humanis. , (1), 51--56. https://doi.org/10.24036/nara.v1i1.27 

Riyanto, C. S., Fadila, N. I., Avisya, I. M. C., Irianti, B. C., & Radianto, D. O. (2023). Kesetaraan Gender. , (8), 1767--1773.

 Safitri, A. N., Fatah, M. A., Azizah, N. N., & Zakiah, S. A. (2021). Kesetaraan gender dalam dunia pendidikan dan perspektif agama Islam. , (3), 128--132. https://doi.org/10.22219/jppg.v2i3.23975 

Sulistyowati, Y. (2021). Kesetaraan Gender Dalam Lingkup Sosial. https://doi.org/10.21154/ijougs.v1i2.2317 , (2), 1--14.

 Trisnawati, O., & Widiansyah, S. (2022). Kesetaraan Gender Terhadap Perempuan Dalam Bidang Pendidikan Di Perguruan Tinggi. , (2),339. https://doi.org/10.26418/j-psh.v13i2.54606

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun