Hari ini, Rabu (20/11/2024), Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta berkolaborasi dengan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) dan Masyarakat Sejarawan Indonesia, menggelar seminar nasional bertajuk "Wongsonegoro: Bangsawan, Pejuang, dan Negarawan"Â di Auditorium Gedung I, FIB UI, Depok, Jawa Barat.Â
Seminar tersebut membahas pengusulan Wongsonegoro sebagai Pahlawan Nasional sekaligus menyoroti peran dan kontribusi Wongsonegoro dalam sejarah perjuangan bangsa. Acara ini menghadirkan beberapa narasumber terkemuka seperti Prof. Dr. Wasino, M.Hum dari Universitas Negeri Semarang, Prof. Dr. Agus Mulyana, M.Hum dari Universitas Pendidikan Indonesia, Dr. Siswantari, S.S, M.Hum, dan Triwiyanto dari Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial Kementerian Sosial RI, yang membahas tentang kiprah Wongsonegoro sebagai tokoh penting dalam sejarah Indonesia dan sejumlah alasan mengapa ia layak diusulkan sebagai Pahlawan Nasional.
Dalam seminar ini, Prof. Dr. Wasino menegaskan bahwa Wongsonegoro layak diusulkan sebagai Pahlawan Nasional berkat dedikasinya yang luar biasa dalam mempertahankan kemerdekaan dan membangun fondasi pendidikan Indonesia.Â
Senada dengan itu, Dr. Siswantari juga menekankan pentingnya penghargaan terhadap peran Wongsonegoro dalam sejarah bangsa. Menurutnya, pengusulan ini tidak hanya sebagai bentuk penghormatan terhadap sejarah, tetapi juga sebagai inspirasi bagi generasi muda tentang pentingnya perjuangan dan kepemimpinan. Seminar ini diikuti oleh para mahasiswa, akademisi, dan masyarakat umum yang antusias berdiskusi dan memberikan dukungan terhadap inisiatif tersebut.Â
Kerja sama antara FIB UI, Dinas Sosial DKI Jakarta, dan Masyarakat Sejarawan Indonesia dalam acara ini menunjukkan komitmen lintas sektor untuk mengangkat dan mengenang tokoh-tokoh penting dalam sejarah Indonesia yang mungkin belum mendapatkan pengakuan yang layak. Dengan diadakannya seminar ini, diharapkan sosok Wongsonegoro dapat diakui sebagai Pahlawan Nasional, sehingga perjuangan dan pengorbanannya semakin dikenal oleh masyarakat luas dan tercatat dalam sejarah bangsa.
Dikenal sebagai Pahlawan "Berdarah Biru" yang Membela Rakyat Kecil
Sekilas tentang tokoh Wongsonegoro atau bernama lengkap Kanjeng Raden Mas Tumenggung (KRMT) Wongsonegoro. Ia lahir dengan nama Raden Mas Soenardi pada tahun 1897, merupakan putra dari pasangan Raden Ngabehi Gitodiprojo dan Raden Ajeng Soenartinah. Ibunya merupakan cicit dari Mangkunegara II. Ayahnya sendiri bekerja di lingkungan istana sebagai abdi dalem panewu bagi Sri Susuhunan Pakubuwono X.Â
Sebagai seorang keturunan priayi, Wongsonegoro memiliki peluang pendidikan lebih besar dibanding anak keturunan pribumi lainya.Wongsonegoro diterima sebagai pelajar di Rechtsschool yang merupakan cikal bakal Fakultas Hukum UI. Ia menyelesaikan kuliahnya pada 1929 dan memperoleh gelar Meester in de Rechten (Mr.). Setelah menamatkan pendidikannya di Rechtsschool, Wongsonegoro bekerja di Landraad atau Pengadilan Solo. Â
Ia dikenal sebagai bangsawan dengan semangat juang yang tinggi. Ia tidak hanya terlibat dalam perjuangan kemerdekaan, tetapi juga berperan penting sebagai politisi dan negarawan setelah Indonesia merdeka.Â
Aktif di Banyak Organisasi, Salah Satu Pendiri Tri Koro Darmo
Mengutip dari Ensiklopedia Kemdikbud, Wongsonegoro terlibat dalam pendirian organisasi kepemudaan Tri Koro Darmo bersama kawan-kawannya seperti Satiman Wirjosandjojo, Sutomo, Muslich, Mosodo, dan Abdul Rahman. Ia dipandang sebagai pemimpin yang selalu mengedepankan kepentingan nasional, membela rakyat kecil, dan memperjuangkan pendidikan bagi semua lapisan masyarakat. Pada 1918 Tri Koro Darmo berubah menjadi Jong Java. Melalui Kongres Jong Java ke-8, Wongsonegoro terpilih sebagai Ketua Jong Java dan mewakili Jong Java di Koongres Pemuda I.
Pada masa persiapan kemerdekaan Indonesia, Wongsonegoro bergabung dengan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), mewakili Surakarta, bersama-sama dengan Wuryaningrat, Sosrodiningrat, dan Radjiman Wedyodiningrat.
Selama menjadi anggota BPUPKI, Wongsonegoro berjasa mengusulkan masuknya kata "kepercayaan" dalam Pasal 29 UUD 1945, menjadikannya tokoh penting bagi diterapkannya Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kebebasan beragama dan berkepercayaan. Hal ini sangat visioner jika dikaitkan dengan "Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik 1966"-nya DUHAM.
Karir Pemerintahan: Dari Bupati hingga Gubernur Jawa Tengah
Karir pemerintahan Wongsonegoro dimulai ketika ia menjadi Bupati Sragen. Jabatan ini sesungguhnya lebih rendah daripada posisi sebelumnya sebagai Bupati Nayoko di Kesunanan Surakarta, akibat tekanan dari pemerintah kolonial Belanda yang tidak nyaman dengan sikap kritisnya. Meski begitu, Wongsonegoro menunjukkan kepemimpinan yang inovatif dengan mengembangkan sektor pertanian melalui sistem mina-padi, memperkenalkan bendungan, serta memberantas tabu penanaman kacang hijau di Sragen.
Perannya dalam bidang budaya juga tidak kalah penting. Ia mendirikan Mardi Budaya sebagai wadah ekspresi seni di Sragen dan memimpin Kongres Kebudayaan Pertama pada tahun 1948. Wongsonegoro juga menjadi tokoh penting di dunia seni bela diri dengan memprakarsai pembentukan Ikatan Pentjak Seluruh Indonesia (IPSI) yang kemudian menjadi Ikatan Pencak Silat Indonesia.
Dalam memimpin Sragen, Wongsonegoro mencerminkan visi kepemimpinan modern berbasis pengetahuan, yang mendorong kesejahteraan rakyatn dan pembangunan jangka panjang.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Wongsonegoro diangkat sebagai Gubernur Jawa Tengah pada masa revolusi, menjadikannya tokoh sipil yang ikut serta dalam perang gerilya melawan Belanda. Keberaniannya dalam diplomasi dan ketegasannya mempertahankan kemerdekaan membuatnya dijuluki sebagai Gubernur Gerilya oleh Jenderal Nasution.
Kiprah di Kabinet Pemerintahan dan Kontribusi di Parlemen
Wongsonegoro memegang berbagai posisi penting dalam kabinet pemerintahan Republik Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri pada masa Kabinet Hatta II, Menteri Kehakiman di Kabinet Natsir, serta Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan dalam Kabinet Sukiman. Selama masa jabatannya, ia memperjuangkan integrasi pendidikan, pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), dan mendukung inklusivitas pendidikan bagi penyandang disabilitas.
Sebagai Wakil Perdana Menteri dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I, Wongsonegoro memainkan peran penting dalam stabilitas politik, termasuk dalam penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955. Setelah kabinet ini berakhir, ia mulai fokus pada spiritualitas dengan menginisiasi Kenduri Nasional Pertama pada tahun 1956.
Kiprah di Kabinet Pemerintahan dan Kontribusi di Parlemen
Wongsonegoro memegang berbagai posisi penting dalam kabinet pemerintahan Republik Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri pada masa Kabinet Hatta II, Menteri Kehakiman di Kabinet Natsir, serta Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan dalam Kabinet Sukiman. Selama masa jabatannya, ia memperjuangkan integrasi pendidikan, pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), dan mendukung inklusivitas pendidikan bagi penyandang disabilitas.
Sebagai Wakil Perdana Menteri dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I, Wongsonegoro memainkan peran penting dalam stabilitas politik, termasuk dalam penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955. Setelah kabinet ini berakhir, ia mulai fokus pada spiritualitas dengan menginisiasi Kenduri Nasional Pertama pada tahun 1956.
Jelang Tutup Usia, Aktif Kegiatan Rohani
Tahun 1955, ia mendorong penyelenggaraan Kongres Kebatinan tingkat nasional di Semarang. Tak kurang dari 70 aliran kepercayaan dari seluruh Indonesia hadir dan menyepakati berdirinya Badan Koordinasi Kebatinan Indonesia (BKKI). Pada kongresi itu, Wongso diangkat menjadi ketuanya. Pada kongres itu, Wongso memberikan penegasan tentang kedudukan aliran kepercayaan (Subagya, 2002: 42):"Agama dan Kebatinan (Kepercayaan): Kedua-duanya mempunyai unsur yang sama yaitu panembah (kebaktian kepada Tuhan Yang Maha Esa) dan budi luhur. Perbedaannya adalah hanya terdapat pada stress atau tekanannya. Bagi agama stressnya diberikan kepada panembah (Tuhan) sedangkan pada kebatinan memberikan tekanan pada tercapainya budi yang mulia dan kesempurnaan hidup". Kedekatannya dalam aliran kebatinan terlihat dari kepribadian sehari-harinya. Wongso selalu menunjukan sikap-perilaku terpuji seperti kesederhanaan, keselarasan, kejujuran, patriotisme, disiplin dan sangat religius hingga wafatnya pada tanggal 4 Maret 1978 dalam usia 81 tahun.Â
Sikap perilaku semasa hidupnya dituliskan pada monumen makamnya di Astana Kandaran, Sukoharjo, yang berbunyi "Janma Luwih Hambuka Tunggal, " yang berarti orang yang mempunyai kemampuan lebih akan selalu mendekatkan diri dengan Sang Pencipta. Selain itu, dituliskan juga "Haruming Sabda Haruming Budi," yang berarti orang yang selalu bertutur kata baik dalam arti yang benar, menggambarkan pribadi orang yang berbudi luhur.
Nama Wongsonegoro juga diabadikan sebagai sebuah nama rumah sakit di Semarang pada 2017 lalu, yakni RSUD KRMT Wongsonegoro, yang sebelumnya bernama RSUD kota Semarang. Hendrar Prihadi, yang saat itu menjabat sebagai Wali Kota Semarang, mengatakan, pengukuhan nama Wongsonegoro, dirasa sangat tepat, karena sosok Wongsonegoro, merupakan pembela rakyat kecil.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI