Mengutip dari Ensiklopedia Kemdikbud, Wongsonegoro terlibat dalam pendirian organisasi kepemudaan Tri Koro Darmo bersama kawan-kawannya seperti Satiman Wirjosandjojo, Sutomo, Muslich, Mosodo, dan Abdul Rahman. Ia dipandang sebagai pemimpin yang selalu mengedepankan kepentingan nasional, membela rakyat kecil, dan memperjuangkan pendidikan bagi semua lapisan masyarakat. Pada 1918 Tri Koro Darmo berubah menjadi Jong Java. Melalui Kongres Jong Java ke-8, Wongsonegoro terpilih sebagai Ketua Jong Java dan mewakili Jong Java di Koongres Pemuda I.
Pada masa persiapan kemerdekaan Indonesia, Wongsonegoro bergabung dengan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), mewakili Surakarta, bersama-sama dengan Wuryaningrat, Sosrodiningrat, dan Radjiman Wedyodiningrat.
Selama menjadi anggota BPUPKI, Wongsonegoro berjasa mengusulkan masuknya kata "kepercayaan" dalam Pasal 29 UUD 1945, menjadikannya tokoh penting bagi diterapkannya Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kebebasan beragama dan berkepercayaan. Hal ini sangat visioner jika dikaitkan dengan "Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik 1966"-nya DUHAM.
Karir Pemerintahan: Dari Bupati hingga Gubernur Jawa Tengah
Karir pemerintahan Wongsonegoro dimulai ketika ia menjadi Bupati Sragen. Jabatan ini sesungguhnya lebih rendah daripada posisi sebelumnya sebagai Bupati Nayoko di Kesunanan Surakarta, akibat tekanan dari pemerintah kolonial Belanda yang tidak nyaman dengan sikap kritisnya. Meski begitu, Wongsonegoro menunjukkan kepemimpinan yang inovatif dengan mengembangkan sektor pertanian melalui sistem mina-padi, memperkenalkan bendungan, serta memberantas tabu penanaman kacang hijau di Sragen.
Perannya dalam bidang budaya juga tidak kalah penting. Ia mendirikan Mardi Budaya sebagai wadah ekspresi seni di Sragen dan memimpin Kongres Kebudayaan Pertama pada tahun 1948. Wongsonegoro juga menjadi tokoh penting di dunia seni bela diri dengan memprakarsai pembentukan Ikatan Pentjak Seluruh Indonesia (IPSI) yang kemudian menjadi Ikatan Pencak Silat Indonesia.
Dalam memimpin Sragen, Wongsonegoro mencerminkan visi kepemimpinan modern berbasis pengetahuan, yang mendorong kesejahteraan rakyatn dan pembangunan jangka panjang.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Wongsonegoro diangkat sebagai Gubernur Jawa Tengah pada masa revolusi, menjadikannya tokoh sipil yang ikut serta dalam perang gerilya melawan Belanda. Keberaniannya dalam diplomasi dan ketegasannya mempertahankan kemerdekaan membuatnya dijuluki sebagai Gubernur Gerilya oleh Jenderal Nasution.
Kiprah di Kabinet Pemerintahan dan Kontribusi di Parlemen
Wongsonegoro memegang berbagai posisi penting dalam kabinet pemerintahan Republik Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri pada masa Kabinet Hatta II, Menteri Kehakiman di Kabinet Natsir, serta Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan dalam Kabinet Sukiman. Selama masa jabatannya, ia memperjuangkan integrasi pendidikan, pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), dan mendukung inklusivitas pendidikan bagi penyandang disabilitas.
Sebagai Wakil Perdana Menteri dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I, Wongsonegoro memainkan peran penting dalam stabilitas politik, termasuk dalam penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955. Setelah kabinet ini berakhir, ia mulai fokus pada spiritualitas dengan menginisiasi Kenduri Nasional Pertama pada tahun 1956.