Mohon tunggu...
Marwanto M.Si
Marwanto M.Si Mohon Tunggu... Konsultan - PENULIS dan PENELITI

Penulis dan peneliti di Studi Literasi Demokrasi dan Budaya (StiL_Daya), penggiat kebudayaan (sebagai anggota Dewan kebudayaan Kulonprogo) dan penggerak sastra di Komunitas "Sastra-Ku", komunitas "Lumbung Aksara", serta Forum Sastra Kulonprogo. Pernah berkhidmat sebagai komisioner di KPU Kabupaten Kulonprogo dua periode (2008-2013, 2013-2019). Anggota Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) DIY.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi Kerumunan (Refleksi Hari Demokrasi Internasional, 16 September)

16 September 2010   04:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:12 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dua pandangan tersebut tidak seharusnya diposisikan berhadapan secara diametral dan kaku. Praktik pemilu di zaman Yunani klasik yang mengharuskan pemilih adalah "warga negara resmi" mesti dimaknai bahwa pemilih dalam pemilu haruslah warga bangsa yang terdidik. Karena itu, pendidikan pemilih diharapkan menjadi ruh bagi penyelenggaraan pemilu.

Pendidikan pemilih merupakan agenda kepemiluan yang berlangsung terus-menerus. Selain itu, pendidikan pemilih adalah agenda yang terintegrasi sehingga bisa berdampak efektif dalam rangka melahirkan pemilih cerdas dan bertanggung jawab yang pada akhirnya dari pilihan mereka muncul pemimpin (wakil rakyat) berkualitas.

Makna integral pendidikan pemilih tidak saja dilihat dari aspek pelaku bahwa perlu menciptakan sinergisitas antara penyelenggara (KPU), pemerintah, parpol, dan stakeholder (pemangku kepentingan).

Lebih dari itu, pendidikan pemilih semestinya diletakkan menjadi bagian pendidikan politik atau pendidikan kewarganegaraan yang lebih luas. Sebuah upaya untuk menumbuhkan kesadaran warga bangsa mengenai aspek-aspek kehidupan kenegaraan dan kebangsaan.

Di samping pendidikan pemilih, agenda dalam rangka pembenahan kualitas praktik demokrasi elektoral juga perlu dari sisi kontestan pemilu. Secerdas apa pun rakyat (pemilih) tidak akan ada artinya jika pemilu hanya diikuti kontestan yang hanya menebar popularitas dan menomorsatukan kekuatan finansial, bukan kontestan yang mengandalkan aspek moralitas, integritas, dan kualitas personal.

Agenda ini tidak hanya dalam rangka menyiapkan pemilih berkualitas menyongsong Pemilu 2014 dan pemilukada di sejumlah daerah. Bukan pula hanya untuk mendongkrak partisipasi pemilih yang terus menurun. Akan tetapi, sebuah agenda mendasar dalam rangka menyelamatkan pemilu, yaitu agar mekanisme pemilihan langsung tidak hanya menghasilkan "demokrasi kerumuman": asal besar dan banyak maka terpilih.

Demokrasi kerumunan harus kita cegah mulai hari ini. Sebab prinsip asal besar dan banyak maka terpilih (menang) sejatinya telah mendistorsi esensi demokrasi.

(Pernah dimuat Harian Kompas, hlm Jogja-Jateng, 15 Maret 2010)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun