Mohon tunggu...
Marwan Djalim
Marwan Djalim Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar/Mahasiswa

YNTKTS

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Imam Al-Ghazali

4 Januari 2025   16:30 Diperbarui: 4 Januari 2025   17:13 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber Gambar: Masjiduna.com) 

Ketika berusia 28 tahun al-Ghazali yang saat itu tampil enerjik dan ambisius, memiliki ketenaran karena keluasan ilmunya yang menyebar di dunia islam. Ia pergi ke istana Nizham Al-Mulk, wazir agung dari Dinasti Seljuk dan menjadi pengiringnya. Dengan dukungan dan kedermawanan Nizham al-Mulk yang mendanai para pelajar dan mengumpulkan disekelilingnya kelompok orang terpelajar dan cerdas. Nizham al-Mulk biasanya akan mengadakan pertemuan untuk debat dan diskusi dan perlahan tapi pasti  al-Ghazali mulai meninggalkan jejaknya dalam pertemuan-pertemuan yang diadakan karena keterampilannya dalam melakukan debat ia menjadi makin terkenal. 

Berkat pengetahuan al-Ghazali yang mendalam di bidang, hukum, teologi, dan filsafat islam, yang sangat mengesankan. Nizham al-Mulk, kemudian mengangkatnya sebagai ketua teologi di Akademi Nizhamiyyah. Usianya ketika itu baru 34 tahun, posisi tersebut banyak didambakan orang lain saat itu (di dunia islam), dan pengangkatan Nizham al-Mulk terhadap al-Ghazali merupakan Penghargaan yang belum pernah didapatkan siapapun di usia yang begitu muda, al-Ghazali adalah pengecualian untuk hal tersebut. 

Al-Ghazali sukses menjadi pengajar di Akademi, keluasan pengetahuannya, keunggulan ceramahnya dan penjelasannya yang mudah dimengerti serta menarik, begitu diminati kelompok yang semakin besar termasuk kalangan cendekiawan, tak berselang lama, dunia islam mulai mengakui kefasihan, pengetahuan luas dan kemampuan dialektikanya. Ia dianggap sebagai ahli teologi terbesar dalam tradisi Asy'ari. Orang-orang mulai meminta nasihatnya baik dalam bidang agama maupun politik, pengaruhnya begitu luas sebanding pejabat tertinggi Negara. Meskipun demikian hal tersebut tak mampu memuaskan dahaga batinnya, ia kembali mengalami  krisis intelektual dan spiritual.

Ketidakpuasan dan skeptisisme lamanya kembali, membuatnya menjadi lebih kritis bahkan terhadap mata pelajaran yang diajarkannya. Ia memahami adanya kekosongan dan fakta yang berubah diantara ahli hukum kanon. Baginya sistem teolog skolastik tidak memberi jaminan kepastian intelektual, dan mengandalkan asumsi dogmatis awal, serta sikap bergantung pada otoritas, dan hanya menunjukkan penekanan berlebihan pada doktrin, mengarah pada representasi agama yang salah, dengan mereduksinya menjadi sekedar cetakan ortodoksi dan sebuah buku panduan untuk membenarkan dogmatisme. 

Sekali lagi al-Ghazali beralih untuk sepenuhnya mempelajari filsafat secara komprehensif dan meninggalkan perdebatan  kaum skolastik yang berselisih di antara mereka sendiri, baginya apa yang dilakukan kaum skolastik hanyalah perkara logika dialektis semata. Ketika kembali mempelajari filsafat, al-Ghazali menyadari bahwa penggunaan akal memang baik, sejauh apa yang menjadi cakupan wilayahnya. Namun kemudian ia menyadari hal ini tidak mampu mengantarkannya menuju "Kebenaran Tertinggi" . Ia menjadi sadar akan keterbatasan teologis dari penggunaan akal, membuatnya jatuh ke dalam keadaan skeptis, dan ketenangan pikirannya menghilang. Ia tak tahan lagi menghadapi kemunafikan ajaran ortodoks yang berada pada posisi yang salah.

Ia memahami bahwa untuk keluar dari posisi yang salah dan mengalami kebebasan serta kemungkinan memahami Realitas tertinggi (Tuhan), jaminannya tentunya melalui jalan para sufi, ia telah memahami fakta ini diawal karena sebelumnya telah melakukan latihan-latihan praktik sufi,  namun saat itu, ia belum memiliki kemajuan berarti didalamnya. Bila ia melakukan kembali latihan praktik sufi, seperti; hidup asketik, meditasi yang lama dan berkelanjutan, al-Ghazali mungkin akan menerima dan menyerap Cahaya kebenaran yang dicarinya. Dan ini berarti ia harus siap melepaskan karir akademiknya yang cemerlang dan posisi duniawinya. Pada dasarnya al-Ghazali ambisius dan peduli terhadap kemuliaan dan ketenaran diri.

***

Bersambung... 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun