Al-Ghazali mempunyai kedudukan penting dalam sejarah Pemikiran dan Filsafat Islam, menggunakan cara apapun untuk menilainya--melalui keluasan ilmu dan orisinalitasnya, serta kebesaran pengaruhnya yang diakui sebagai Pembaharu Agama, dan Bukti Islam. Ia memiliki semua yang dibutuhkan Intelektual dan Agamawan dalam dirinya. mewarisi tradisi skolastik, piawai dalam hukum, moralis sejati, serta memiliki kedudukan tinggi dalam teologi.Â
Dengan energi dan kreatifitas yang dimilikinya, Al-Ghazali, menyalakan kembali teologi islam dengan kombinasi spiritualitas dan Fundamentalisme di dalamnya, ditambah dengan kepribadiannya yang kuat, membuatnya mampu diterima dikalangan masyarakat sampai saat ini.Â
Pemikirannya dalam filsafat dicirikan dengan sikap kritis dan orisinil, ia begitu dalam melakukan penetrasi, uraian-uraiannya yang mudah dipahami mengenai pemikiran para filsuf, disertai analisis tajam dalam mengkritik pemikiran mereka, plus sikapnya yang berterus-terang dengan keterbukaan atas berbagai pemikiran yang ada, apabila ia menemukan kebenaran pada mereka (para filsuf), ia akan menerimanya sebagai kebenaran.Â
Al-Ghazali tidak mudah terpesona begitu saja dengan pemikiran Aristoteles ataupun Plotinus, bahkan melalui Filsuf muslim sendiri yang mewakili pemikiran keduanya, seperti; Al-Farabi, dan Ibnu Sina. Terlihat dengan gamblang  gaya pemikiran filsafat dan agama al-ghazali memiliki temperamen pemikiran modern, ada kemiripan antara empirisme maupun positivisme logis didalamnya, sekalipun hal ini tampak menjadi paradoks, namun melalui hal ini pula akan menjadikan mereka yang menyelami karya pemikirannya akan dibuat nyaman baik saat membaca karyanya yang kritis maupun konstruktif.Â
***
Ketika masih kecil, al-Ghazali memulai pelajarannya dengan mempelajari hukum kanon dan teologi, ia memulai pelajaran pertamanya dari kota asalnya. Di usia sekitar 20 tahunan, ia masuk ke Akademi Nizhamiyyah, dan belajar di bawah bimbingan Imam Al-Haramain seorang teolog Mazhab Asy'ari yang paling terkemuka saat itu.Â
Melalui kurikulum Akademi dan atmosfer lingkungan yang mendukung dengan berbagai mata pelajaran di dalamnya seperti; filsafat, logika, hukum kanon, teologi, tasawuf, dll. Imam Al-Haramain, memberikan kebebasan berekspresi dan berpikir kepada para muridnya, mendorong mereka terlibat aktif dalam berbagai perdebatan dan diskusi, hal ini mendorong para murid termasuk al-Ghazali untuk aktif berpikir dan berfilsafat.Â
Melalui serangkaian debat yang diikutinya dengan para murid lainnya, al-Ghazali menunjukkan keluwesannya dalam berpikir, dan insting polemik yang luar biasa. Melalui hal inilah kemandiriannya dalam berpikir terasah. Meskipun kemudian ia memunculkan tanda-tanda skeptisisme dan mulai menunjukkan geliat ketidakpuasan terhadap ajaran dogmatisme agama, serta mulai membebaskan dirinya dari belenggu otoritas (taqlid).Â
Di Nishapur al-Ghazali juga menjadi murid Al-Farmadhi, seorang Sufi. Al-Farmadhi adalah murid dari Al-Qushairi (w.465/1074). Di bawah bimbingan al-Farmadhi, al-Ghazali tidak hanya sekedar belajar teori dan praktik sufi, namun ia bahkan melakukan pelatihan praktik asketik sufi secara ketat, namun tidak membuahkan hasil yang diinginkan, sebagaimana para mistikus mampu memperoleh dan mencerap pengetahuan murni dari "Tuhan". Hal ini lantas menimbulkan ketidakpuasan dalam dirinya dan membuat pikirannya menjadi tidak tenang.
Disisi lain, ia merasakan ketidakpuasan filosofis terhadap para teolog skolastik dan sistem spekulatif mereka, ia tidak bisa menerima apapun begitu saja, hanya berdasarkan taqlid semata terhadap otoritas. bahkan praktik-praktik sufi  yang dijalaninya gagal memberikan kepuasan kepadanya serta tidak menghasilkan kepastian. Akan tetapi tanpa keraguan apapun tarikan ajaran para sufi begitu membekas pada dirinya, godaan akan pengalaman pribadi bersama "Tuhan", turut mempengaruhi sikap kritis dan ketidaksenangannya terhadap teologi dogmatis.Â