Mohon tunggu...
Siti Marwanah
Siti Marwanah Mohon Tunggu... Guru - "Abadikan hidup melalui untaian kata dalam goresan pena"

"Tulislah apa yang anda kerjakan dan kerjakan apa yang tertulis"

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Suka Duka Belajar Saat Pandemi (Part 1)

16 Maret 2021   09:03 Diperbarui: 21 Juli 2021   15:14 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karya : Septania Sibil (salah satu siswa SMPN 4 Gerung)

Triing...

Bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Dari lantai dua bangunan sekolah kulihat teman-teman mulai berlarian meninggalkan lingkungan sekolah.Sambil mendengus, aku pun turut berjalan dengan santai menuruni tangga.
"haruskah terburu-buru seperti itu, toh rumah kalian bahkan tak akan kemana-mana." Batinku.

Namun pemikiran tersebut dengan segera kutepis. "Untuk apa pula aku mengurusi kehidupan orang lain?"
Hari Sabtu, minggu ini agak sedikit berbeda.  Sebelum bel berbunyi, Pak Guru Noviar mengumumkan bahwa dua minggu ke depan sekolah akan diliburkan untuk sementara waktu untuk memutus penyebaran virus corona.

Sebelum aku melanjutkan kisahku. Aku ingin menjelaskan secara singkat kondisi awal merebaknya pandemi.  Pada bulan Desember 2019 terjadi wabah di negara Cina yang dikenal dengan virus Corona.

Sekarang virus itu sudah memasuki Indonesia dan negara lain di seluruh belahan dunia. Virus ini sangat berbahaya, tak sedikit korban dari keganasan virus ini.

Mirisnya, dari sudut pandangku, banyak orang yang menganggap remeh bencana ini.
Aku ingin berkata "sayangi diri dan keluarga anda dari keganasan virus yang nyata adanya walau dia tak tampak oleh kasat mata." Namun perkataan dari bocah SMP sepertiku pasti hanya akan menjadi angin lalu. Sebuah usaha yang hanya akan berujung sia-sia.

Baiklah, mari kembali ke awal.
Aku belum memperkenalkan diri. Namaku Kirana Khansa Yuan. Aku biasa dipanggil Kira. Tahun ini usiaku menginjak 15 tahun. Penampilanku biasa saja, tak ada yang menarik. Bahkan untuk anak seumuranku, aku tergolong tidak tinggi. Pemilihan kata yang buruk, eh?

Hobiku belakangan ini mendengar musik dan menggambar. Kurasa mata pelajaran favoritku Matematika dan Bahasa Inggris. Lebih lanjut silahkan baca saja kisahku.

Jujur saja, bohong kalau aku mengatakan aku tak senang dengan pengumuman libur ini. Namun aku juga tak merasa begitu antusias. Tak seperti murid lain, aku hanya menanggapi biasa libur ini. Ini bukanlah libur dimana kita bisa bersantai. Namun belajar dan mengerjakan tugas dari rumah layaknya homeschooling.

Dua minggu berlalu. Keadaan tak membaik, justru semakin banyak korban berjatuhan. Karenanya, kegiatan belajar dari rumah kembali diperpanjang.

Jika ditanya mengenai metode belajar ini, aku akan menjawab sangat tidak efektif. Mengapa demikian? Kurasa jawabannya cukup jelas. Tidak adanya penjelasan dari guru secara langsung tentunya menghambat pemahamanku di beberapa materi.

Tapi bukan itu masalah utamanya.
Masalah terbesarnya adalah, ponsel.
Hey, di zaman sekarang mana ada remaja yang bisa hidup tanpa ponsel, bukan? Bahkan salah seorang guru pernah bilang, di era ini, ponsel sudah menjadi kebutuhan primer bagi tiap individu. Kau akan membutuhkan ponsel untuk banyak hal, terutama dalam hal komunikasi dan informasi.

Di kalangan remaja, alasan kami menggunakan ponsel pun kebanyakan adalah untuk aplikasi sosial media. Meski tak memiliki konten apapun untuk di upload, aplikasi-aplikasi tersebut tetap menjadi candu. Belum lagi populernya eksistensi game online. Kegiatan yang sungguh tak bermanfaat namun dapat membuat ketagihan.

Dan aku, mungkin saja termasuk salah satu pecandu gadget ini.
Sangat susah bagiku mengatur waktu antara sekolah online dengan bermain ponsel. Berkomunikasi dengan banyak orang di dunia maya, lalu bermain game rasanya menjadi lebih prioritas dibandingkan apapun.
Meski guru jarang memberikan penjelasan materi dan hanya memberikan tumpukan tugas, aku merasa tak memiliki hak untuk protes jika mendapat nilai rendah.

Aku cukup sadar betapa malasnya diriku untuk belajar. Lebih mudah terlarut dalam buaian empuknya kasur ditemani sebuah ponsel daripada duduk menghadap buku pelajaran. Banyak istilah baru dan rentetan kalimat yang tak kupahami. Namun bukannya mencari tahu, aku justru memilih untuk meninggalkannya.

Yang kusyukuri dari kegiatan belajar mengajar dari rumah ini, tentunya adalah kesempatan untuk membuka buku atau website untuk mencari jawaban dari tugas yang diberikan. Istilah frontalnya, mencontek. Kegiatan tidak terpuji yang bahkan kulakukan saat menghadapi ulangan harian. Aku yakin para guru juga pasti sudah menduga ini.

Pemikiran asalku terkonfirmasi ketika salah satu guru berujar, "bagaimana bisa kalian mendapat nilai rendah disaat kalian memiliki kesempatan untuk membuka buku?" Aku pun tersenyum dalam hati. Apakah ini adalah lampu hijau untuk mencontek secara terang-terangan? Tentu saja.

Waktu terus berlalu. Penerapan protokol kesehatan tersebar dimana-mana. Memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak sudah menjadi kewajiban untuk salam pembuka dan penutup tiap berita di televisi. Namun tak banyak orang yang menghiraukannya.

Topik utama tayangan berita selalu memaparkan kenaikan kasus dari korban virus corona ini. Kebijakan lockdown yang dikeluarkan pemerintah tak membuahkan hasil. Ekonomi menuntut warga dengan kondisi sosial menengah ke bawah untuk tetap beraktifitas di luar.

Aku mengerti, hidup sangat susah bagi mereka saat ini. Namun yang membuatku gemas, mengapa mereka tidak memakai masker? Mengapa mereka tidak menjaga jarak? Mereka tetap beraktifitas seperti biasa seolah tak ada bencana yang sedang terjadi. Padahal pemerintah sudah memberikan masker gratis, setidaknya tak bisakah mereka gunakan dengan benar? Aku tak mengerti.

Teman-temanku juga menganggap remeh keadaan ini. Banyak dari mereka yang justru bepergian saat jam sekolah. Tentunya dengan mengabaikan protokol kesehatan. "Berita hanya melebih-lebihkan, itu hanyalah deretan angka. Daya tahan tubuh kami kuat," kata mereka dan banyak lagi alasan lainnya.

Mendengarnya, ada sesuatu dalam diriku yang ingin meledak. Amarah? Kesal? Aku tak tahu pasti. Saat ini tenaga kesehatan tengah berjuang mengobati para korban dan mereka menganggap itu hanya sesuatu yang dilebih-lebihkan? Banyak dari keluargaku yang merupakan bagian dari tenaga kesehatan, termasuk ibuku, yang sibuk bahkan tak bisa pulang karenanya.

Lalu, mungkin saja bagi sebagian orang berita tentang kenaikan kasus virus tersebut hanyalah berupa deretan angka. Namun tak adakah rasa simpati untuk berpikir, bahwa dari satu saja angka tersebut, ada keluarga dengan beberapa anggota yang tengah berduka atas kehilangannya. Aku tak habis pikir dengan mereka yang dengan mudahnya mengatakan hal seperti itu.

Salahkah aku jika berharap mereka yang tidak mematuhi protokol kesehatan agar tertular dan cepat mati saja? Agar mereka merasakan sendiri dan menarik kembali kata-kata tak berprikemanusiaan itu.

Aku menghela nafas panjang, seketika aku menyesal sudah berpikir demikian. Kalau begitu apa bedanya aku dengan mereka? Bagaimanapun nyawa tetaplah nyawa yang tak dapat ditukar oleh apapun.

Semua orang merindukan bepergian seraya menghirup udara bebas, merindukan beraktifitas tanpa kekhawatiran akan terjangkitnya virus, merindukan kebebasan beraktifitas tanpa khawatir teguran untuk mengenakan masker ataupun menjaga jarak. Keadaan ini membuat seolah kebebasan kami dirampas ( namun begitulah kenyataannya).

Kami semua lelah dengan keadaan, tetapi jika tidak mematuhi aturan, tentu hanya akan menimbulkan masalah yang lebih besar. Pada dasarnya, mematuhi protokol kesehatan akan melindungi diri sendiri dan orang lain. Namun banyak orang tak memahami hal sederhana seperti ini.
"Ah, lagi-lagi untuk apa aku memikirkan orang lain? Sebaiknya aku memikirkan diri sendiri.

Berdiam diri di rumah selama berbulan-bulan sungguh melelahkan mental dan fisik. Meski terkadang aku melakukan olahraga ringan untuk menjaga daya tahan tubuh, tetap saja rasanya lebih banyak hal negatif seperti pola hidup tak sehat yang tanpa sadar kujalani.
Belum lagi tugas rumah kini dilimpahkan padaku. Orangtuaku semakin sibuk bekerja, berangkat pagi dan pulang malam. Sehingga semua kegiatan rumah kini menjadi tanggung jawabku.

Jujur saja, aku merasa kesal disaat sedang ulangan harian atau sedang mengerjakan tugas dengan tenggat waktu singkat, kemudian dipanggil untuk mengerjakan sesuatu yang lain. Mereka bilang, "tugasmu hanya belajar kan? Apa yang susah dari itu? Ini bahkan untuk dirimu sendiri, kau tak mengerti kalau kami jauh lebih sibuk?"

Jadilah aku lebih mengutamakan amanah dari mereka dibandingkan kewajibanku untuk belajar. Aku tak peduli lagi. Dan setelah apa yang kulakukan, mereka bilang aku tak berguna. Ya, aku juga merasa demikian sejak dulu. Jadi tak masalah, meski tetap saja dalam diriku terdalam ada perasaan ingin menghilang sementara dari peradaban.
Ingin istirahat, namun waktu tak mengizinkan semudah itu.
Sisi baiknya, aku semakin mahir melakukan segala aktifitas rumah tangga seorang diri. Eh, apa sebaiknya aku tinggal sendiri saja? Kurasa itu akan lebih baik bagi kondisi mentalku. Khayalan yang tak buruk, kuharap dapat mewujudkannya saat beranjak menjadi mahasiswi kelak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun