Mohon tunggu...
Marwan
Marwan Mohon Tunggu... Penulis - Analis sosial dan politik

Pembelajar abadi yang pernah belajar di FISIP.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Atlet Kita, Antara Paradigma Sekolah dan Kesejateraan

10 September 2019   14:24 Diperbarui: 10 September 2019   16:39 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ANTARA FOTO/INASGOC/Darmawan/INP/18)

Momen 17 Agustusan menjadi momen yang cukup penting bagi Hasan. Dimomen ini biasanya Ia akan ikut mengambil bagian dalam pertandingan sepakbola mewakili sekolahnya. Ia sudah berapa kali membawa sekolahnya sebagai juara dalam bidang olahraga ini. 

Tidak mengherankan, namanya cukup dikenal disekolahnya. Tidak sampai di situ saja, namanya juga cukup populer di sekolah-sekolah lain yang ikut kompetisi sepakbola. Ia bagai Lionel Messi atau Cristian Ronaldo di level antarsekolah. Sehingga wajar saja, Ia cukup mendapat perhatian di kalangan guru-guru, sekolah dan masyarakat.

Sayangnya setelah momen kompetisi sepakbola usai, pamornya juga seolah menghilang. Passion (minat) sepakbolanya abai dalam penghargaan orang lain. Ia tidak dianggap sebagai orang hebat lagi.

Hal yang ingin saya sampaikan dalam sepenggal cerita ini adalah betapa passion olahraga bagi kebanyakan orang di Indonesia menganggapnya sebagai hal yang biasa. Prestasi di bidang ini hanya dipandang momentuman.

Dalam masyarakat kita, tingkat kehebatan diukur dari sisi akademik. Itupun tidak semua bidang akademik. Misalnya, penulis masih banyak mendapati bagaimana paradigma sekolah dan masyarakat melihat siswa cerdas di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) ialah mereka yang bisa masuk ke kelas IPA. Atau siswa yang minat dalam bidang matematika dan sains. 

Sedangkan siswa di luar bidang itu (baca: IPA) adalah kurang hebat bahkan tidak hebat. Jurusan IPS misalnya, ada stigma bahwa siswa yang berada di kelas ini merupakan siswa yang kurang pintar bahkan nakal. Termasuk jika mereka yang hanya minat di bidang olahraga.

Padahal anak yang pintar di matematika belum tentu bisa hebat di bidang sosiologi atau bisa menjadi pemain professional sepakbola. Tidak mungkin menyuruh ikan lomba panjat pohon dengan kera atau menyuruh kera lomba renang dengan ikan. Ikan dan keran punya wilayah penguasaan masing-masing.

Hal seperti ini yang harus diperhatikan oleh pemerintah dan masyarakat termasuk sekolah. Orang yang memiliki passion di bidang olahraga harus didukung. Mereka harus dianggap orang pintar (hebat) di bidang olahraga. Mereka tidak harus masuk di kelas IPA saat sekolah di SMA atau menjadi dokter untuk bisa dikatakan pintar. 

Dengan cara kita menghargai seperti ini, setiap orang akan merasa percaya diri dengan passion atau profesinya nanti. Sehingga sedari awal orang-orang akan fokus pada bakatnya masing-masing dan akan berprestasi pada waktunya nanti.

Dengan demikian, Hasan dalam penggalan cerita di awal akan menjadi Hasan yang professional di bidang sepakbola bukan hanya di sekolah melainkan sangat memungkinkan akan menjadi pemain hebat di tingkat nasional dan dunia.

Penulis melihat paradigma seperti inilah yang dilakukan oleh China sehingga sering menjadi juara umum ketika ada kompetisi olahraga regional maupun internasional seperti Asian Games tahun lalu yang diselenggarakan di Indonesia. China menghargai para atlet mereka karena keberhasilan atlet di kompetisi antar negara adalah sebuah martabat bagi bangsanya. 

Kepastian Ekonomi

Masalah yang kerap muncul adalah masalah kesejateraan atlet. Sudah banyak kasus di Indonesia, atlet hanya dihargai dalam momen-momen tertentu. Bahkan dielu-elukan sebagai pahlawan bangsa ketika menyabet emas di kompetisi internasional. Tidak hanya sampai disitu, para politisi juga seketika ikut-ikutan mempolitisasi untuk kepentingan popularitas dan pencitraan. 

Padahal sering ditemukan sebelum kompetisi, sang atlet bisa dikatakan diabaikan oleh negara, lebih-lebih politisi. Mungkin kita bisa melihat bagaimana Lalu Muhammad Zohri, pelari yang menjuarai kejuaran lari internasional di Finlandia tahun lalu. 

Hal yang cukup memprihatinkan adalah saat juara Muhammad Zohri  mengenakan bendera negara Polandia yang dibalik karena dianggap remeh termasuk kurangnya bahkan tidak adanya perhatian pemerintah Indonesia padanya. 

Sayangnya, setelah kabar medali emas yang diraihnya sampai di Indonesia, para politisi seketika menemple di brand Muhammad Zohri dengan berbagai ucapan selamat, membuat gambar bersama, foto bareng dan segala cara yang cukup memuakan lainnya.

Selain itu, hal yang kadang membuat orang tidak ingin menjadi atlet professional adalah masalah jaminan kesejateraan setelah mereka pensiun atau jaminan hari tua. Bagaimanapun, banyak dari mereka memorsir waktu untuk menjadi atlet dalam mencitrakan Indonesia di panggung internasional. Skil dan passion lain kadang mereka harus tanggalkan demi menjadi atlet yang professional. 

Sehingga setelah pensiun dari atlet, mereka kadang bingung pekerjaan apa yang dapat menopang ekonominya. Oleh karena itu, pemerintah harus menaruh perhatian pada hal tersebut. Para atlet adalah mereka yang pernah menjadi bagian yang berkonstribusi mengharumkan nama Indonesia.

Mungkin cara lain juga adalah dengan mendukung atlet untuk menguasai skill lain yang dimilikinya di luar bidang olahraga. Karena kompetisi ekonomi yang cukup sengit hari ini, terkadang sulit untuk bertahan pada satu skill saja. Kita butuh skill lain apalagi skill itu cukup marketable. 

Bahkan bila perlu pemerintah memberikan pekerjaan khusus yang sesuai skill bagi atlet yang berprestasi, sehingga para atlet tidak was-was dengan masa depan ekonominya.

~Makassar, 10 September 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun