Kembali ramai lagi drama pelemahan KPK, yakni upaya pembahasan revisi terhadap Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Banyak orang yang menolak rencana ini bahkan DPR dinilai telah melakukan upaya tersistematis untuk melemahkan KPK.Â
Pasalnya, tak ada arang melintang tiba-tiba draf rancangan revisi UU ini disahkan tanpa perlawanan atau ketidaksetujuan satupun dari fraksi di Senayan. Pembahasannya juga direncanakan akan dikebut sebelum anggota DPR periode 2014-2019 selesai.
Meskipun langkah selanjutnya tinggal menunggu surat presiden (surpres) kepada DPR sebagai tanda RUU ini akan mulai dibahas, rakyat kembali menyarankan presiden untuk tidak menerbitkan surpres.
Jika Presiden melakukannya, dengan kata lain Presiden juga terlibat dalam amputasi upaya pemberantasan korupsi oleh KPK.
Butuh Lembaga Pengawas
Jika melihat poin-poin yang akan diubah dalam UU KPK, ada hal yang saya akan soroti dalam tulisan ini yakni masalah lembaga pengawas KPK. Dalam negara demokrasi lembaga pegawas yang kredibel dan kuat sangat diperlukan.Â
Lembaga pengawas akan melakukan fungsi check and balance agar lembaga yang diawasi tidak menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power).Â
Oleh karena itu lembaga semacam ini tidak perlu dilihat sebagai sesuatu yang menakutkan dan terlalu mencurigakan. Kita harus mendudukan persoalan ini dalam kacamata yang proporsional.
Jujur saja, saya selalu skeptis atau belum percaya seratus persen kinerja lembaga pemberantas korupsi di Indonesia seperti Polri, Kejaksaan, maupun KPK. Prinsip saya adalah nobody perfect. Tidak seorang/lembaga yang sempurna.Â
Sehebat apapun puja-puji terhadap KPK (saya khususkan KPK karena saya lagi membahas KPK) bahkan dicitrakan di media sebagai kampiun pemberantas korupsi, saya tidak selalu percaya begitu saja.Â
Misalnya, siapa yang bisa memastikan bahwa KPK menggunakan wewenang penyadapan terhadap kepentingan pemberantasan koruptor saja? Tidak menutup kemungkinan, kewenangan pejabat teras KPK akan menggunakannya untuk kepentingan subjektifnya.Â
Misalnya dalam kasus mantan Ketua KPK Antasari Azhar yang diduga menyadap Rani dan Nazarudin untuk urusan pribadinya. Ini hanya contoh tapi pola semacam ini berpeluang terjadi jika tidak ada lembaga pengawas yang kuat, kredibel, dan transparan.
Berangkat dari alasan tersebut, KPK butuh lembaga pengawas yang dimaksud. KPK bukan lembaga superbody yang memiliki wewenang besar tanpa memedulikan lembaga kontrol yang independen.Â
Ini yang harus menjadi paradigma kita yang sedang menjalankan negara yang menganut sistem demokrasi. Lembaga yang tidak mau dikontrol akan mengarah pada sikap yang otoritarianisme laiknya negara komunis.
Saya menyarankan demikian bukan berarti saya mendukung pelemahan lembaga antirasuah ini atau melawan upaya pemberantas korupsi. Memberikan saran ke KPK merupakan cara untuk menyehatkan lembaga ini.
Dilematis dan Pengawasan KPK Masih Diragukan
Menjadi masalah jika lembaga pengawas seperti yang tercantum dalam poin revisi yang sedang diusahkan oleh DPR adalah memiliki kewenangannya yang terlampau besar.
Seperti yang dilansir oleh cnnindonesia.com: "Berdasarkan draf revisi UU KPK Pasal 37 B Dewan Pengawas bertugas mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, memberikan izin penyadapan, dan menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai KPK.
Kemudian, dewan pengawas juga bertugas melaksanakan sidang untuk memeriksa dugaan pelangggaran etik, melakukan evaluasi kerja pimpinan, hingga menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran kode etik dari pegawai dan pimpinan KPK.
Di pasal 37E Dewan Pengawas dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Seperti halnya pengangkatan Pimpinan KPK, Dewan Pengawas dipilih melalui panitia seleksi yang dibentuk oleh Presiden"
Sangat jelas terlihat bagaimana KPK dipreteli wewenangnya. Jika aturan itu berhasil disahkan KPK akan menjadi kaku dalam bekerja, bahkan menjadi sangat prosedural yang nanti akan memperlambat dalam melakukan usaha pemberantasan korupsi. Â Â
Di titik ini pilihan cukup dilematis. Membentuk lembaga pengawas KPK dengan wewenang seperti yang diinginkan oleh DPR akan mengurangi manuver KPK, tapi di sisi lain, KPK juga tidak boleh dibiarkan bergerak tanpa pengawasan karena akan membuatnya terkesan sebagai lembaga yang tidak ingin dikontrol sehingga bisa abuse of power.
Terkait lembaga pengawas, juru bicara KPK, Febri Diansyah, dalam beberapa kesempatan mengatakan bahwa telah terdapat lembaga yang mengawasi KPK. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) misalnya, akan mengaudit keuangan KPK.Â
Proses peradilan juga terdapat tiga tahapan di mana proses penanganan perkara dilakukan misalnya dari pengadilan negeri/tipikor, banding dan kasasi, bahkan peninjauan kembali.Â
Masyarakat sipil di tengah lalu lintas informasi yang begitu cepat, juga dapat mengawasi KPK. Apa yang dikatakan oleh Jubir KPK tersebut tidak ada salahnya tapi belum cukup dalam hal lembaga pengawasan yang independen.
Di internal KPK juga sebenarnya telah ada Direktoral Pengawasan Internal (PI) yang bisa mengawasi kinerja KPK. Tapi masalahnya, PI berada di internal KPK sendiri.Â
Meskipun ada pihak yang menyatakan kinerja Direktoral IP cukup independen tapi secara struktural berada di bawah pimpinan KPK, sehingga fungsinya pun sangat memungkinkan tidak independen. Â
Inilah yang menjadi masalah bagi lembaga pemberantas korupsi kita. Perlu formulasi yang tepat dan hati-hati untuk mendukung kinerja lembaga ini dan juga mekanisme kontrol yang kuat sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan.
~Makassar, 8 september 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H