Mohon tunggu...
Marwan
Marwan Mohon Tunggu... Penulis - Analis sosial dan politik

Pembelajar abadi yang pernah belajar di FISIP.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Melarang Gatot, Memperkuat Pengaruh Amerika di Indonesia

24 Oktober 2017   07:22 Diperbarui: 31 Oktober 2017   11:33 1234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kabar yang cukup mengejutkan sekaligus membuat tanda tanya bagi Indonesia terutama pihak TNI dengan dilarangnya panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo untuk mengunjungi Amerika Serikat. Apalagi undangan tersebut datang dari Panglima Angkatan Bersenjata Amerika Serikat Jenderal Joseph F Durford, Jr. untuk mengahadiri Chiefs of Defense Conference on Countering Violent Extremist Organization pada 23-24 Oktober di Washington DC. Suatu kejanggalan karena keinginan hadir atas dasar undangan dari pihak Amerika tapi di sisi lain mereka juga melarang.

Sepintas ini bisa dikatakan sebagai upaya mempermalukan Indonesia di panggung internasional. Lucunya lagi yang melarang keberangkatan jendral Gatot tidak datang langsung dari otoritas resmi negeri paman syam ini melainkan datang dari maskapai Emirates. Cukup janggal.

Meskipun pada ahirnya Amerika telah menyampaikan permintaan maaf tapi tidak ada penjelasan alasan kenapa pelarangan itu terjadi. Justru mereka mengungkapan adanya kurang kordinasi di antara instasi terkait mengenai pelarangan ini.

Dalam melihat kasus ini, kita harus mencoba mengambil jarak untuk melihatnya lebih jelas. Meskipun ada kemungkinan miskomunikasi dan kurang kordinasi yang baik di antara instasi terkait di Amerika terkait pelarangan in tapi kemungkinan itu sangat kecil bagi Amerika sebagai negara yang memiliki system adminstrasi yang terkoneksi dengan tekhnologi dan internet yang cukup canggih. Bagi saya, justru Amerika punya pesan politik yang ingin disampaikan pada pihak-pihak tertentu di Indonesia.

Geopolitik Asia Pasifik

Jika dilihat dalam lingkup makro, maka masalah ini tidak bisa dilepas dari pertarungan hegemoni geopolitik di asia pasifik. Kawasan ini cukup strategis dan menjanjikan bagi dunia terutama negara-negara yang punya hubungan dagang dan ekonomi dengan negara-negara di kawasan ini. Asia pasifik merupakan kawasan yang paling dinamis dalam pertumbuhan ekonomi dibanding kawasan lain di dunia termasuk uni eropa yang sampai saat ini masih belum pulih dari krisis ekonomi. Alasan ini kemudian dijadikan batu pijakan bagi dua negara besar yang tengah berebut panggung dalam percaturan politik dunia yakni Amerika dan China dalam mempertahankan dan memperluas pengaruhnya.

Hari ini Amerika mulai kewalahan menghadapi agresivitas China dengan agenda "one belt, one road" (satu sabuk, satu jalan). Sebuah agenda yang membangun jalur yang mengkoneksikan hampir seluruh kawasan di dunia dengan program infrastruktur dan kerjasama biliateral dan multilateral dalam banyak sektor dengan dana yang telah disiiapkan begitu besar. Apalagi China berhasil mempertahankan agenda RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) sebagai rivalitas agenda TPP (Trans Pacific Partnership) yang di komandoi oleh Amerika serikat yang kemudian di batalkan setelah terpilihanya donalt trump sebagai presiden AS.

Kemunduran dari agenda TPP dibarengi dengan agenda "American First" oleh donalt trump menjadi salah satu tanda kekalahan Amerika dalam pertarungan hegemoni di kawasan asia pasifik.

Indonesia sebagai salah satu negara yang cukup penting dan stabil dalam pertumbuhan ekonomi menjadi ladang perebutan kedua negara ini (baca: AS dan China). Apalagi jika dicermati lebih dalam, China secara perlahan mulai menancapkan pengaruhnya di Indoneseia di bawa Presiden Jokowi. Hal itu bisa dilihat dari meningkatnya investasi China bahkan "meikarta dan reklamasi teluk Jakarta" oleh banyak pengamat dinilai sebagai bagian dari symbol hegemoni China di Indonesia. Dan bagaimanapun juga Amerika tidak menginginkan pengaruh itu terjadi lebih luas, maka langkah-langkah terukur pun mulai dilakukan.

Amerika menginginkan jendral Gatot

Melihat realitas ini, Amerika mulai sadar bahwa agenda politik luar negeri di Asia pasifik di bawah Donald trump merupakan sebuah kekeliruan. Oleh karena itu mereka mulai merekonstruksi agenda politik luar negerinya sebelum semua terlambat dengan memainkan kartu "militer" untuk menciptakan destabilitas di Indonesia.

Indikasi itu bisa dilihat bagaiamana dokumen CIA beberapa hari yang lalu dibuka ke publik terkait peristiwa G30S/PKI yang ternyata melibatkan TNI dan beberapa ormas besar islam sehingga pelanggaran HAM terjadi. Dalam dokumen itu justru secara jelas mengatakan Amerika juga terlibat membantu TNI dalam pelanggaran HAM. Pertanyaan kemudian muncul: Kenapa Amerika membuka aibnya sendiri? Jawabannya jelas: Karena Amerika tidak mendapat efek negatif dari dipublikasikannya dokumen rahasia itu meskipun membuka boroknya sendiri, malah mereka memiliki agenda terhadap Indonesia yakni merusak citra TNI dan menciptakan instabilitas sosial.

Ini sekaligus pesan bagi militer Indonesia agar tetap setia menjalin kerja sama dengan Amerika, jika tidak ingin hal yang buruk lebih besar terjadi. Tidak bisa dimungkiri banyak petinggi militer Indonesia punya hubungan khusus dengan Amerika terutama bagiamana para petinggi itu pernah belajar keterampilan militer dan bersekolah di negeri super power ini. Hal itu bisa dilihat dalam sejarah dua presiden Indonesia, Jendral Suharto dan Jendral SBY ketika menjadi nahkoda negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia ini. Arah kebijkan luar negeri dua Presiden berlatar belakang militer ini sangat akrab dengan Amerika bahkan bisa dikatakan tidak ada tempat yang banyak untuk kepentingan negara yang berhaluan "kiri" seperti china di Indonesia.

Jadi sebenarnya dibukanya dokumen CIA tentang peristiwa G30S/PKI dan sempat dilarangnya jendral Gatot untuk memasuki wilayah Amerika adalah sebuah pesan politik yang ingin disampaikan oleh Amerika agar Indonesia terutama militer tetap menjaga ikatan yang kuat dengan Amerika.

Mungkin banyak orang yang melihat bahwa kasus ini merugikan jendral Gatot, tapi faktanya malah berkebalikan. Situasi ini justru menguntungkan pimpinan TNI ini yang menurut suvey-survey terakhir ditempatkan sebagi kandidat pontensial dan kuat untuk bertarung di pilpres 2019 nanti. Nama Gatot semakin melambung tinggi dan konsolidasi dukungan terhadapnya semakin kuat pasca kasus pelarangan ini. Inilah yang diinginkan Amerika.

Jendral Gatot sangat diinginkan Amerika untuk menjadi pemimpin Indonesia kedepan untuk membendung pengaruh China di Indonesia demi memenangkan pertarungan hegemoni di kawasan Asia pasifik, karena seperti disebutkan di awal bahwa Indonesia adalah negara yang penting dan strategis dalam keberlangsungan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas keamanan di kawasan ini. Singkatnya ini taktik Amerika untuk menguatkan posisi Gatot di kancah politik Indonesia. Apalagi tidak ada penjelasan terkait alasan pelarangan dan akhirnya pelarangan itu pun dengan sendirinya dicabut. Hubungan jendral Gatot dan panglima angkatan bersenjata AS pun disebut-sebut memiliki hubungan yang cukup dekat bahkan sebagai junior-senior.

Bukan alasan HAM dan demokrasi

Sebenaranya beberapa jendral Indonesia telah masuk dalam daftar pelarangan untuk memasuk wilayah Amerika. Biasanya karena keterkaitannya dengan pelanggaran HAM atau sejenisnya. Amerika melakukannya demi menjaga citra dan mengklaim diri sebagai negara pengaplikasi demokrasi dan HAM di dunia. Tapi benarkah demikian? Faktanya adalah Amerika berwajah ganda jika dihadapkan pada penerapan demokrasi dan HAM.

Jika ada yang mengatakan pelarangan jendral Gatot disebabkan kedekatannya dengan organisasi islam yang dilabelkan oleh banyak kalangan sebagai organisasi garis keras, misalnya FPI dan kawan-kawannya, maka ini bukalah alasan utama. Amerika dalam masalah HAM dan demorkasi adalah negara yang tidak konsisten. Mari buka lembar sejarah, tentang pemberontakan PRRI di Sumatrah terhadap Indonesia saat itu. PRRI mengusung ideologi islam yang selama ini diantisipasi oleh Amerika, namun justru mendapat dukungan dari negeri pemimpin blok barat saat itu.

Amerika melakukannya karena ingin menyingkirkan Sukarno yang cukup dekat dengan blok timur. Artinya ini bukan persoalan idealisme tapi ini persoalan kepentingan politik, yang tidak peduli apakah kucing hitam atau putih, asalkan bisa menangkap tikus. Tidak pedulil melanggar HAM atau tidak yang penting kepentingan bisa tercapai. Inilah prinsip politik luar negeri yang dimainkan Amerika selama ini.

Dengan kata lain insiden pelarangan yang kemudian telah dicabut pada jenderal Gatot untuk memasuki wilayah AS hanyalah pesan yang ingin dikirimkan oleh Amerika pada Indonesia terutama militer dan sekaligus menguatkan posisi jendral Gatot dalam konstalasi politik nasional.

~SK, 23 Oktober 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun