Sengaja saya merangkai kata-kata dalam tulisan ini, hanya sekadar saling mengingatkan. Jauh sebelum pilpres dulu, saya sudah sering mengingatkan pada fenomena penokohan seorang figur yang sudah mencapai titik ekstrim. Titik yang ekstrim yang saya maksudkan adalah menjadikan seorang figur seolah ‘nabi’ yang rela mati-matian di bela meskipun sebenarnya salah.
Fenomena ini terjadi dua tokoh capres kita dalam kompetisi pemilu belum terlalu lama ini. Ternyata ‘menabikan’ seorang figur tidak berakhir dengan berakhirnya kontetasi pilpres melainkan masih berlanjut hingga sekarang terutama pada sang presiden kita bapak “Jokowi”.
Jokowi dan kebenaran
Saya sengaja hanya menuliskan Jokowi karena beliau adalah pemimpin kita hari ini. Terkait fenomena ini saya teringat seorang budayawan Sudjiwo Tedjo berkata: “Pemimpin dengan tangan besi akan matikan nyali, pemimpin yang ‘dinabikan’ akan matikan nalar”. Yah, hemat saya perkataan ini benar-benar terbukti. Para penggemar berat/ ‘fans buta’/ pengikut setia presiden kita Jokowi telah terjadi tragedi yang ditakutkan oleh Sudjiwo Tedjo, yakni “kematian nalar”.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita memiliki tujuan bersama yakni “terwujudnya masyarakat adil makmur yang di ridhoi Allah SWT”. Bukan tujuan seorang figur atau apalagi penjadi pembebek setia sang figur apapaun kebijakan yang dihasilkannya. Sejak dilantiknya presiden kita, Jokowi, jika hati nurani dan akal sehat kita berfungsi maka kita akan melihat beberapa ke-inkonsistensi sang persiden terhadap janji-janji kampanye yang pernah dijualnya. Misalnya:
Koalisi tanpa syarat. Ini bulsyit. Tidak ada politik tanpa mencari kekuasaan. Hanya orang yang bodoh (untuk tidak menyebutnya tolol) yang tidak mengakui bahwa koalisi yang di bangun jokowi adalah atas perimbangan-pertimbangan kepentingan politik praktis. Sehingga kita dapat melihatnya dalam pembagian mentri, dapat dilihat betapa ‘politik dagang’ sapi itu terjadi. Ada bagi-bagi kekuasaan.
Kabinet ramping. Yang terjadi justru meng copy-paste jumlah kabinet era SBY. Berbeda dengan janji kampanye beliau, bahwa akan ada pengurangan jumlah kementrian agar terjadi penghematan anggaran. Lagi, janjinya dilanggar.
Tidak menaikan BBM. Hal ini yang harusnya menjadi sangat penting untuk tidak di langgar. BBM bisa dikatakan sebagai darah rakyat Indonesia. Jika ini diganggu maka masyarakat Indonesia akan terganggu. Dahulu di era SBY partai asali Jokowi (PDI P) adalah partai yang sangat menolak keras kenaikan BBM bahkan mereka berdalih memiliki 1001 cara untuk tidak menaikan BBM. Namun hal itu hanyalah retorika manis selalu di ucapkan. Giliran mendapat kekuasaan mereka justru tidak berbeda dengan rezim sebelumnya. Tidak ada terobosan yang baru malah ikut-ikutan menaikan harga BBM. Ingat, salah satu ciri negara neoliberal adalah ketika subsidi untuk kepentingan rakyat di kurangi atau di cabut, karena subsidi adalah kewajiban negara. Hal ini banyak diingatkan oleh ekonom agar tidak menaikannya.
Penunjukan jaksa agung. Jokowi melalui salah-satu perwakilannya pernah mengatakan tidak akan menunjuk jaksa agung dari kalangan parpol. Namun yang terjadi lagi-lagi menghianati. Banyak yang kaget terkait keputusan Jokowi menunjuk jaksa agung dari politisi aktif dari partai pendukungnnya, partai Nasdem. Ingat jaksa agung adalah lembaga peradilan yang harus dibebaskan dari segala kepentingan politik. Sangat ditakutkan ketika ada kasus yang ditangani oleh oleh jaksa agung yang berkaitan dengan kepentingan partai politik pengusung atau pihak-pihak pendukung Jokowi, akan sulit untuk objektif. Justru revolusi mental yang harusnya dilakukan oleh Jokowi malah tersandra oleh ucapannya sendiri.
Oposisi loyal
Nur Kholis Madjdi (cak nur) seorang pemikir kebangsaan kita pernah berkata: Setiap warga negara harus menjaji ‘oposisi loyal’. Oposisi loyal yang dimaksudkan adalah menjadi pengkritik dan pemberi saran jika pemerintahan sudah tidak sejalan dengan tujuan bersama. Dan menjadi pendukung jika pemerintahan telah berjalan menuju tujuan bersama. Harusnya inilah yang menjadi prinsip kita dalam mengawal kehidupan berbangsa dan bernegara. Bukan ‘menabikan’ seorang Jokowi hingga tertutup nurani dan akal sehat untuk melihat kebenaran. Orang-orang yang sudah tertutup nurani dan akal sehat seperti ini biasanya akan terjangkiti virus ‘fanatisme buta’. Sebuah virus yang selalu mengikuti apapun yang dikatakan oleh figur yang dipujannya, meskipun itu salah. Ini sangat berbahaya dan para pengikut yg telah‘fanatik buta’ ini sangat perlu di revolusi mentalnya.
Fakta-fakta ke-Inkonsistenan presiden kita Jokowi di atas harus menjadi evaluasi bagi kita semua. Jika kita tidak menjadi ‘oposisi loyal’ maka kata bapak Wapres kita, Bapak Jusuf Kalla: “bisa hancur negeri ini kalau di pimpin Jokowi”, bisa saja terjadi.
Marilah menjadi ‘oposisi loyal’. Menjadi masyarakat yang membuka nurani dan akal sehatnya melihat kebenaran. Jika pemerintah kurang tepat atau salah, mari kita luruskan. Namun, Jika pemerintah kita sudah benar mari kita dukung. Jangan sampai ‘fanatisme buta’ pada seorang figur menjangkiti kita hingga nurani dan nalar kita mati dalam melihat kebenaran. Bukan - Jokowi atau JK atau Prabowo atau Hatara Jasa atau siapapun itu - yang kita perjuangkan, melainkan kebenaran.
~Makassar, di awal musim penghujan dan saat aku merindukan sesuatu, 21 November 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H