Laut Cina Selatan meliputi sebagian Samudera Pasifik yang membentang kira-kira dari Singapura dan Selat Malaka di barat daya, hingga Selat Taiwan (antara Taiwan dan daratan Tiongkok) di timur laut. Wilayahnya mencakup ratusan pulau kecil, bebatuan, dan terumbu karang, yang sebagian besar terletak di rangkaian pulau Paracel dan Spratly. Banyak dari pulau-pulau ini merupakan pulau-pulau kecil yang terendam sebagian, bebatuan dan terumbu karang yang tidak lebih dari bahaya pelayaran dan tidak cocok untuk dihuni. Memang faktanya sebagian besar pulau-pulau ini tidak dapat ditanami, tidak dapat ditanami tanaman permanen, dan tidak memiliki padang rumput, padang rumput atau hutan. Namun wilayah perairan di sekitarnya kaya akan sumber daya alam yang sangat bermanfaat bagi alam dan manusia.
Dengan luas perairan hingga 200104 km2, Laut China Selatan merupakan salah satu dari empat pusat pengumpulan minyak dan gas lepas pantai utama di dunia. Jumlah cadangan minyak di Laut Cina Selatan diperkirakan sekitar 230108 sampai dengan 300108 t. Memiliki jumlah gas alam sekitar 3381012 m3, 70% diantaranya berada di perairan dalam. Di Cina, luas laut dengan kedalaman perairan lebih dari 300 m adalah sekitar 153,7104 km2, namun baru 16104 km2 yang telah dieksplorasi. Oleh karena itu, Perusahaan Minyak Lepas Pantai Nasional China telah menyadari perlunya dan mendesaknya eksplorasi dan pengembangan ladang minyak laut dalam, dan kini sedang melakukan eksplorasi minyak dan gas alam di perairan dalam seluas 1,9104 km2 di Laut China Selatan. Situasi ini menunjukkan bahwa eksplorasi dan pengembangan sumber daya migas laut dalam harus menjadi fokus utama migas lepas pantai Tiongkok di masa depan.
Melihat dari segi sejarah saat China di bawah pemerintahan partai nasionalis Kuomintang, membatasi klaim teritorialnya di Laut China Selatan dengan sebelas garis putus-putus pada peta. Klaim tersebut mencakup sebagian besar wilayah, termasuk Kepulauan Pratas, Macclesfield Bank, serta Kepulauan Paracel dan Spratly, yang direbut kembali oleh Tiongkok dari Jepang setelah Perang Dunia II. Pada tahun 1949, pemimpin Komunis Mao Zedong mendeklarasikan pembentukan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Pada tahun 1953, pemerintahan yang dipimpin Partai Komunis Tiongkok (PKT) menghapus bagian yang mencakup Teluk Tonkin, menyederhanakan perbatasan menjadi sembilan garis. Hingga saat ini, Tiongkok masih menggunakan sembilan garis putus-putus sebagai dasar sejarah klaim teritorialnya di Laut Cina Selatan.Â
Kemudian terdapat survei geologi ekstensif pada tahun 1968 dan 1969, sebuah laporan yang diterbitkan oleh Komisi Ekonomi PBB untuk Asia dan Timur Jauh menemukan simpanan energi yang besar di dasar laut antara Taiwan dan Jepang perairan di lepas pantai Kepulauan Senkaku/Diaoyu. Penelitian tersebut menandai salah satu temuan kredibel pertama mengenai sumber daya hidrokarbon di sana, sehingga membangkitkan kembali minat terhadap wilayah tersebut. (CFR) Pada era sekarang, Laut Cina Selatan adalah jalur pelayaran utama. Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan memperkirakan bahwa lebih dari 21% perdagangan global, senilai $3,37 triliun, transit melalui perairan ini pada tahun 2016. Wilayah ini juga merupakan rumah bagi daerah penangkapan ikan yang kaya dan menyediakan mata pencaharian bagi jutaan orang di seluruh wilayah tersebut. Lebih dari separuh kapal penangkap ikan dunia beroperasi di kawasan ini. Meskipun sebagian besar tidak berpenghuni, Kepulauan Paracel dan Spratly mungkin memiliki cadangan sumber daya alam di sekitar mereka. Eksplorasi mendetail di wilayah tersebut masih sedikit, sehingga perkiraan sebagian besar diekstrapolasi dari kekayaan mineral di wilayah sekitarnya. Maka dari itu Laut China Selatan menjadi wilayah perebutan bagi negara yang ingin mengambil sumber daya alam yang melimpah.
Pada bulan maret 2024, Tiongkok melakukan "patroli tempur" militer pada hari Minggu di Laut Cina Selatan yang disengketakan, kata militer Tiongkok, pada hari yang sama dengan latihan gabungan yang dilakukan oleh Filipina, Amerika Serikat, Jepang dan Australia. Pengumuman tersebut muncul satu hari setelah kepala pertahanan dari empat negara termasuk Filipina yang terlibat dalam beberapa perselisihan maritim dengan Beijing baru-baru ini mengatakan mereka akan melakukan latihan bersama pada hari Minggu di wilayah tersebut. Tiongkok mengklaim kedaulatan teritorial atas hampir seluruh Laut Cina Selatan dan semakin tegas di wilayah tersebut dalam beberapa tahun terakhir. Penjaga Pantai Tiongkok mengatakan pada hari Sabtu bahwa mereka telah "menangani" situasi pada hari Kamis di terumbu karang yang disengketakan di mana beberapa kapal dari Filipina terlibat dalam operasi "ilegal".Â
Kemudian sekitar pertengahan tahun 2024 Vietnam memprotes apa yang dikatakan sebagai pelanggaran kedaulatan Tiongkok setelah Beijing mengirim kapal rumah sakit angkatan laut ke Paracel, sekelompok pulau karang kecil dan terumbu karang di Laut Cina Selatan yang saat ini diduduki oleh Tiongkok tetapi diklaim oleh Vietnam dan Taiwan. Kemudian terdapat informasi dimana AS terus memperkuat aktivitas militernya di depan pintu Tiongkok di Laut Cina Selatan dan wilayah sekitarnya pada tahun 2023, termasuk mengerahkan kapal induk, kapal selam nuklir, dan pesawat pembom, mengadakan operasi pengintaian jarak dekat yang intensif, dan mengadakan latihan bersama, yang menimbulkan risiko yang semakin besar bagi Hubungan Tiongkok-AS. Berdasarkan kedua hal tersebut, negara-negara di wilayah Laut China Selatan seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan termasuk Indonesia merasa terancam dengan adanya keputusan agresif militer dan non-militer China di daerah Laut China Selatan.
Berdasarkan informasi yang telah disampaikan, kondisi Laut China Selatan sangat diperebutkan oleh banyak negara, karena wilayah tersebut memiliki potensi sumber daya alam yang bermanfaat bagi negara yang dapat membudidayakannya. Indonesia, adalah salah satu negara maritim di kawasan Asia Tenggara, tentunya merasakan ketegangan konflik wilayah tersebut. Hal ini juga dapat mempengaruhi kedaulatan Indonesia, dimana tanpa disadari, terdapat sisi barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan ada sisi timur yang dipimpin oleh China. Dengan adanya eskalasi konflik ini juga berdampak bagi negara sekitar untuk waspada dan cermat dalam menjaga kedaulatan wilayahnya. Akan tetapi Indonesia tergabung dalam ASEAN yang dapat mengurangi sedikit tegangan konflik ini, dimana memerlukan keterlibatan dan diplomasi yang bijaksana dalam menghadapi sengketa wilayah ini.
Melalui ASEAN, Indonesia dapat menggunakan organisasi regional tersebut untuk membuat kesepakatan bersama dalam mengatasi permasalahan Laut China Selatan. Di ASEAN terdapat negara-negara yang bersinggungan langsung di konflik tersebut, seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan juga Indonesia sendiri. Sebagai salah satu founder ASEAN, Indonesia dapat membuka diskusi, negosiasi, dan mengembangkan permasalahan ini menjadi lebih tentram. Maka dari itu terdapat beberapa hal yang dapat Indonesia lakukan dalam upaya mencoba meraih perdamaian di Laut China Selatan, yaitu :Â
Politik Bebas Aktif
Indonesia memiliki pandangan politik bebas aktif yang tidak memihak terlalu berat pada satu pihak. Dalam menangani permasalahan Laut China Selatan, Indonesia dapat berperan sebagai mediator dengan status netral yang dapat dipercaya negara-negara sekitar wilayah tersebut. Jadi dengan adanya pandangan politik bebas aktif dapat menjadikan Indonesia yang berwajah netral untuk menjadi pihak ketiga dalam sengketa ini. Â Indonesia juga merupakan negara maritim yang dapat memberikan pandangan bahwa Laut Natuna merupakan wilayah eksklusif Indonesia yang dapat mencegah eskalasi konflik kawasan Laut China Selatan untuk menjaga stabilitas regional.