Mohon tunggu...
Dyah Astiti
Dyah Astiti Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar

Menyampaikan opini

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Polemik Pilkada dan Metode Perubahan

15 Agustus 2024   18:44 Diperbarui: 15 Agustus 2024   18:44 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi : Radar Jember-Jawa Pos

Pengamat Politik Adi Prayitno mengunggah komentar, terkait panas-dingin hubungan salah satu partai berhaluan Islam dan salah satu mantan Gubernur DKI Jakarta yang tampak pecah kongsi di Pilgub Jakarta 2024. Hal itu terlihat dari foto headline sejumlah portal berita yang ditampilkan di Instagram pribadinya. Ia berpendapat prinsip utama politik adalah mendapat keuntungan pribadi dan kelompok. Tujuannya, mendapat kekuasaan dengan cara apapun. Bisa jadi hari ini kawan, besok jadi lawan (Liputan6.com, 11/8/2024).

Sepertinya pernyataan di atas memang benar. Sering kali kita dihadapkan pada kenyataan bahwa dua kubu yang hari ini menjadi kawan, bisa jadi berubah haluan pada pemilihan selanjutnya. Begitupun sebaliknya. Termasuk apa yang terjadi pada Pilkada tahun ini. Di sisi lain rakyat seolah berharap kehadiran para calon yang di usung Partai politik atau yang maju secara independen bisa menjadi harapan baru bagi berbagai permasalahan hidup mereka. Terutama terkait kesejahteraan dan keadilan. Namun, kita bisa merasakan bersama, alih-alih menjadi problem solver, proses pimilihan dalam demokrasi selama ini justru memunculkan banyak polemik. Lantas mengapa seolah pemilihan dalam sistem demokrasi tidak mampu memberi perubahan?

Metode Perubahan Demokrasi Terbelit Masalah

1. Terjebak Makna "Politik" Demokrasi

Parpol maupun calon pemimpin dalam sistem demokrasi, baik yang berhaluan umum maupun islami, tidak bisa lepas dari transaksi politik. Mereka harus mengantongi modal uang yang tidak sedikit agar bisa memenangi pemilihan sebab pemilihan dalam sistem demokrasi sarat dengan politik uang. Kekuasaan dan uang menjadi kunci kemenangan dalam pemilihan dalam demokrasi. Bukan berdasarkan kapabilitas dalam menjalankan fungsinya. Suara rakyat tidak jarang bisa dibeli dengan iming-iming sekian rupiah saja. Ironis. Jargon demokrasi "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat" tampak isapan jempol semata. Nyatanya, kekuasaan itu berpusat pada segelintir orang, bukan di tangan rakyatnya. Parpol Islami terjebak dalam makna "politik" dalam sistem demokrasi, yakni sekadar jalan meraih kekuasaan. Parpol-parpol islami ini pun tidak bisa mengusung ide Islam kaffah yang hakikatnya merupakan solusi problem multidimensi. Keterlibatan mereka dalam sistem demokrasi justru membuat mereka terjerat dalam perangkap alur berpikir demokrasi yang bingung menetapkan yang hak dan yang batil.

2. Tidak Ada Teman dan Lawan Abadi dalam Demokrasi.

Partai politik mulai sibuk berkoalisi dan mencari teman terbaik untuk memenangkan pemilihan. Pembentukan koalisi merupakan hal lazim pada sistem pemerintahan ini. Yakni pihak koalisi dan oposisi.

3. Anggaran Jumbo

4. Rawan Korupsi

Pada setiap penyelenggaraan Pemilu bisa diprediksi bahwa praktik politik uang akan marak terjadi. Untuk menjadi calon anggota legislatif maupun kepala daerah membutuhkan "mahar" politik yang besar sehingga banyak pihak akan melakukan tindakan korupsi. Praktik ini terjadi tidak hanya pada tahun penyelenggaraan Pemilu, tetapi seolah sudah menjadi rutinitas. Politik uang tampak menjadi bagian tidak terpisahkan dari praktik demokrasi. Mulai dari proses pencalonan, pemenangan calon hingga ketika berkuasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun