Mohon tunggu...
Dyah Astiti
Dyah Astiti Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar

Menyampaikan opini

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Politik Dinasti, Buah Buruk Demokrasi

15 Juni 2024   19:08 Diperbarui: 15 Juni 2024   19:08 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Temuan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan, sebagian besar calon legislatif (caleg) usia muda yang berpeluang lolos sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2024-2029 terasosiasi dengan dinasti politik. CSIS mencatat, ada 87 caleg muda yang berpeluang lolos ke Parlemen pada Pemilu 2024. Dari jumlah tersebut, 50 di antaranya merupakan kerabat dari elite partai politik. Temuan ini terekam dalam laporan CSIS yang ditulis oleh Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Arya Fernandes (Kompas.com, 25/4/2024).

Fakta tentang adanya Politik dinasti bukanlah sesuatu yang baru. Menariknya, sekarang politik dinasti banyak muncul melalui jalur politik prosedural, yaitu melalui institusi partai politik. Selain itu banyak juga pembicaraan terkait politik dinasti yang melibatkan penguasa secara langsung.

Majunya beberapa orang yang memiliki hubungan keluarga sebagai anggota legislatif atau penguasa dalam Pemilu 2024 adalah cerminan politik dinasti hari ini. Pada sistem demokrasi hari ini, baik legislatif ataupun penguasa yang lain mereka punya banyak tanggung jawab. Bahkan mereka memiliki posisi strategis untuk mengurusi urusan masyarakat. Oleh sebab itu, terbuka peluang kerja sama saling menguntungkan antara orang-orang yang duduk dalam legislatif atau partai dengan penguasa. Sekaligus jalan untuk meraih peluang yang sangat menguntungkan bagi kedua belah pihak. Baik tujuan individu penguasa maupun individu anggota dewan dan juga partainya.

Politik dinasti bisa saja tidak selalu buruk. Akan tetapi dengan melihat karakter sistem demokrasi, yang menjadikan kedaulatan di tangan rakyat dan suara terbanyak yang menang meniscayakan adanya koalisi antara partai dan penguasa. Akibatnya legislatif yang berasal dari partai juga akan niscaya menyokong kepentingan penguasa atau sebaliknya. Realitas hari ini menunjukkan, praktik demokrasi yang sejalan dengan kapitalisme, cenderung berpihak kepada oligarki, penguasa sesungguhnya. Sementara itu, negara hanya menjadi fasilitator dan pemulus kebijakan yang menguntungkan oligarki. Inilah bencana besar bagi masyarakat.

Dalam demokrasi kemenangan didasarkan kepada suara terbanyak dan berbiaya mahal, Hanya mereka yang bermodal besar yang mampu maju dan menjadi wakil partai atau penguasa. Aktivitas politik yang awalnya menjadi hak setiap warga negara gagal terwujud. Selain itu, praktik seperti ini memungkinkan terpilihnya individu yang tidak memiliki kemampuan berpolitik dan menjalankan peran sebagai wakil rakyat atau penguasa. Politik dinasti juga memuluskan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang jelas merusak dan merugikan. Kondisi ini akan menghalangi terciptanya pemerintahan yang bersih dan baik.

Kondisi ini berbeda dengan Islam, dalam sistem pemerintahan Islam, ada struktur yang disebut sebagai Majelis Umat. Anggota Majelis Umat dipilih dari individu-individu yang menjadi representasi umat atau rakyat. Majelis Umat dalam sistem Islam memiliki dua peran. Peran pertama adalah menjadi rujukan khalifah dalam meminta nasihat atas berbagai urusan. Dalam hal ini, Majelis Umat memberikan pendapat atau dimintai pendapatnya oleh khalifah dalam berbagai hal praktis terkait dengan pengaturan urusan umat.

Peran kedua adalah mewakili umat dalam memberikan muhasabah lil hukam, yaitu mengontrol dan mengoreksi para pejabat pemerintahan. Majelis Umat mengontrol dan mengoreksi pelaksanaan tugas dan kebijakan penguasa. Tentu saja yang menjadi standar adalah aturan Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana ditetapkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah.

Peran Majelis Umat ini jelas berbeda dengan tugas dan wewenang anggota dewan dalam sistem demokrasi hari ini. Anggota Majelis umat dipilih dari anggota Majelis Wilayah. Anggota Majelis Wilayah akan memilih anggota Majelis Umat. Metode pemilihan ini merupakan metode yang praktis, sederhana, dan hemat biaya, tetapi menghasilkan wakil umat yang memiliki kualitas dan amanah. Pertanggung jawaban di akhirat akan menjadi benteng penjaga para anggota Majelis Umat agar berada dalam ketaatan kepada Allah. Keberadaan Majelis Umat sebagaimana dalam tuntunan Islam akan menjaga tegaknya aturan Allah dan Rasul-Nya, dan menjadikan pengurusan rakyat berjalan dengan semestinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun