Pagi ini adalah pagi yang cerah, matahari mulai menampakkan diri dengan binar yang tak sesendu kemarin. Semilir angin seolah membawa aroma segar dari hujan yang tadi malam turun. Seorang wanita berkacamata dengan bingkai putih, masih saja duduk di depan laptop dan tumpukan buku. Sejak semalam buku itu belum bergeser sedikitpun dari tempatnya. Sayang sekali, harinya tak secerah pagi ini.
"Alam memang tak pernah bersahabat denganku, bagaimana mungkin aku bisa menyelesaikan tulisan yang membutuhkan suasana menegangkan? Sedangkan alam begitu indah hari ini," ia menggerutu sembari menyesap teh yang bahkan permukaannya hampir menyentuh dasar cangkir.
Wanita manis dengan kacamata itu adalah Naura. Seorang novelis romance yang baru saja pindah haluan untuk menulis cerita misteri. Tentu saja itu dilakukannya demi beberapa lembaran rupiah. Meskipun itu berlawanan dengan dirinya yang merupakan tipe melankolis pecinta genre romance yang menguras air mata. Namun apa daya, terlalu banyak novelis genre romance di luaran sana. Jangankan beberapa lembar rupiah, satu lembar saja sangat sulit di dapatnya.
Niatnya berubah haluan tak sepenuhnya berjalan lancar. Naura sangat kesulitan membangun suasana cerita misteri. Setiap ia mencoba menulis, justru suasana romantis yang sering muncul. Seperti hari ini, ia masih belum beralih dari tempat duduknya. Setelah semalaman mencoba merangkai kata. Hal itu menjadikan paginya begitu berantakan.
Setelah memikirkan, dia memutuskan untuk pindah ke rumah yang dulu dihuni eyangnya. Meski sudah hampir sepuluh tahun dia tidak mengunjungi rumah yang terletak di ujung timur pulau Jawa itu. Tetapi ia masih mengingat betapa menyeramkannya rumah tua itu. Bergegas Naura memesan tiket pesawat. Diapun bersiap untuk terbang ke kampung halaman orang tuanya.
Setelah satu setengah jam perjalanan, akhirnya dia sampai di sebuah bandara kecil yang sudah tidak pernah lagi diinjak sejak kematian eyangnya. Dari Bandara, ia masih harus melanjutkan perjalanan darat selama lebih dari empat jam menggunakan mobil travel. Karena terlalu lelah, ia tertidur. Sampai tepukan halus sang sopir membangunkannya.
"Mbak sudah sampai, barang dibagasi sudah saya turunkan," ucap sang sopir dengan nada rendah.
"Ia pak, terimakasih," jawab Naura sambil turun dan mulai menarik pegangan kopernya.
Setelah turun dari travel, wanita yang sudah kehilangan ayahnya semenjak usia enam tahun ini, melanjutkan perjalanan. Ia menyusuri sebuah jalan setapak yang kering. Jalan itu begitu sepi dengan pohon-pohon jati berjajar di setiap sisi. Di sepanjang jalan terdengar suara gemerisik yang timbul dari daun-daun jati kering yang gugur. Daun itu bergesekan satu sama lain akibat tiupan angin. Dua puluh menit berjalan, wanita dengan kaos hitam itu sampai di sebuah rumah yang lumayan besar. Halamannya begitu luas dengan pohon sawo yang berbuah lebat. Rumahnya beratap limas dengan kursi goyang masih setia berada di pojok teras. Meski sudah bertahun-tahun ditinggal pemiliknya. Masih sama, rumah ini selalu memunculkan ketakutan dalam diri Naura.
Eyang Naura atau orang setempat memanggilnya eyang Karti adalah orang paling kaya di kampung. Bahkan kekayaannya tidak akan habis tujuh turunan. Hampir semua sawah dan tanah di kampung itu adalah miliknya. Mayoritas mata pencaharian warga adalah mengelola sawah dan hutan jati milik eyang Karti. Ia hanya memiliki seorang pewaris yaitu ayah Naura. Namun, semenjak ayah Naura meninggal akibat kecelakaan kerja. Semua harta eyang Karti dikelola oleh anak angkat keluarga tersebut bernama Pambudi. Naura dan ibunya memilih pergi ke kota dan memulai hidup baru. Disaat Naura tengah mengumpulkan puing-puing memori tentang rumah itu. Tiba-tiba ia tersentak karena sebuah tepukan di pundaknya.