Kasus bullying yang masih sering terjadi bukanlah masalah yang bisa dianggap main-main. Dari data Unicef tahun 2014 menyatakan delapan dari 10 anak mengalami bullying dan kasus di Indonesia menempati posisi keempat dalam kasus kekerasan anak. Lebih mirisnya banyak kejadian terjadi di lingkungan pendidikan. Tempat yang seharusnya nyaman dan aman bagi generasi.
Bullying sendiri adalah suatu kondisi ketika satu atau lebih hal-hal di bawah ini terjadi secara berulang-ulang kepada seseorang. Baik secara langsung atau tidak langsung, misal di media sosial. Contohnya perilaku mengolok-olok atau mengganggu seseorang sehingga membuatnya kesal atau tersakiti. Menyampaikan kebohongan atau menyebarkan gosip tentang seseorang agar orang lain tidak menyukai orang tersebut. Melakukan kekerasan fisik pada seseorang.
Kasus yang terkuak beragam. Mulai dari kekerasan verbal seperti hinaan dan makian. Kekerasan fisik ringan sampai kekerasan fisik berat sampai menimbulkan luka, bahkan kematian. Aktivitas tidak terpuji ini terus mengalami penambahan jumlah dari waktu ke waktu. Menurut KPAI pada tahun 2019 ada 37.381 pengaduan terkait perundungan.
Misal yang baru-baru ini terjadi, kasus bullying yang dialami anak kelas 2 di salah satu Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Anak tersebut meninggal dunia akibat dikeroyok oleh kakak kelasnya.
Sungguh miris, fakta ini menunjukkan kalau kasus bullying memang kenakalan generasi yang sering terjadi. Meskipun sudah sering terjadi tetapi tidak bisa dianggap sebagai kenakalan yang biasa atau dipandang sepele. Walau yang terjadi sekedar hinaan yang tidak menimbulkan luka atau kematian. Tetap saja bullying memiliki dampak yang luar biasa. Diantaranya terganggunya mental korban bahkan bisa sampai berujung depresi. Kondisi ini bisa berakibat pada hilangnya semangat dan produktifitas. Bagi pelaku, tentu juga berakibat buruk. Rasa ingin menang sendiri dan merasa perilakunya bisa menunjukkan eksistensi akan berakibat fatal bagi kehidupan sosialnya kelak. Selain apa yang sudah dipaparkan, masih banyak dampak buruk aktivitas bullying. Ketika masalah generasi yang satu ini tidak kunjung diselesaikan, bisa dibayangkan akan jadi apa generasi ke depan. Tentunya akan muncul generasi yang emosian, reaktif, minim empati, dan berpikiran sempit. Lebih mengedepankan otot dari pada komunikasi.
Ketika kita melihat fakta, faktor penyebab perundungan beragam. Mulai dari keluarga yang sering melakukan dan mempertontonkan kekerasan verbal atau fisik. Sekolah yang tidak tegas terhadap kasus-kasus bullying. Guru yang belum mampu mengidentifikasi permasalahan anak didiknya. Karakter remaja yang cenderung ingin eksistensi dirinya diakui. Tidak ketinggalan media yang menyumbang tontonan tidak berkualitas. Mulai adegan kekerasan bahkan menanamkan pemikiran bahwa yang keren adalah yang menang dan arogan.
Penyebab bullying tidak bisa dilepaskan dari sistem kapitalisme. Sistem dengan landasan pemisahan agama dari kehidupan. Berorientasi pada materi dan keuntungan semata. Sistem ini berhasil menciptakan generasi-generasi yang pragmatis, individualis, minim empati dan mengedepankan emosi. Apa yang mereka suka dan yang dianggap menguntungkan untuk dirinya akan dilakukan. Tidak peduli dampaknya bagi orang lain dan sekitar. Eksistensi diri adalah segala-galanya bagi mereka. Karena dalam kapitalisme hal-hal seperti materi, eksistensi diri, dan keuntungan adalah standar kebahagiaan.
Kondisi remaja atau anak-anak yang masih labil. Dikondisikan mengimitasi gaya hidup dan cara pandang kapitalisme. Karakternya yang suka membebek, diarahkan untuk meneladani karakter-karakter yang tidak seharusnya diteladani. Hal tersebut dicontohkan melalui tayangan di berbagai media dan gambaran langsung di kehidupan. Mereka kehilangan sosok teladan yang ideal. Di tambah Islam yang di jauhkan dari cara pandang dan aturan dalam kehidupan, hanya diambil sisi spiritualitasnya saja. Membuat para generasi tidak segan bertindak tanpa batasan demi kepuasan dan kebahagiaan. Semua itu dibentuk dan diaruskan sistem kapitalisme.
Menemukan solusi yang solutif untuk fenomena gunung es ini, tentu saja tidak cukup hanya pendidikan karakter di sekolah. Semua harus dimulai dari berbenahnya cara pandang, termasuk tolak ukur kebahagiaan. Peningkatan kualitas pendidikan kita. Fokus penanaman moral dan pribadi, bukan hanya link and mach pendidikan dengan industri. Selain itu penanganan individu bagi korban dan pelakupun perlu dilakukan. Munculnya kepekaan di tengah masyarakat juga dibutuhkan. Masyarakat perlu segera keluar dari sikap-sikap individualis. Pola asuh keluarga juga menjadi sesuatu yang penting karena keluarga adalah benteng pertama pembentukan generasi terbaik. Tak kalah penting lagi adalah Suguhan yang tersaji di media dan dijadikannya Islam sebagai tolak ukur perbuatan.
Kondisi di atas hanya akan ada jika Islam dijadikan standar dalam pola pikir, pola sikap dan aturan kehidupan. Setidaknya ada beberapa hal yang mampu menjadikan Islam sebagai solusi solutif.
Pertama, Islam memiliki standar kebahagiaan yang jelas dalam kehidupan. Hal ini menjadikan manusia tidak hanya mengedepankan hawa nafsu. Islam menjauhkan manusia dari sikap sombong dan arogan. Islam menjadikan standar kebahagiaan manusia bukanlah materi tapi keridoaan Allah. Bukan berarti manusia dilarang menikmati hal-hal yang bersifat duniawi. Islam membolehkan, asalkan manusia tetap terikat aturan Allah dalam memperoleh dan menggunakannya. Misal tidak menjadikan yang banyak harta sombong dan arogan sehingga dia bisa melakukan bullying. Seseorang yang menjadikan Islam sebagai standar akan menjauhi perbuatan yang dilarang agama, termasuk bullying.
Sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Hujuraat ayat 11, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) itu lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok)."
Kedua, sistem pendidikan yang berbasis akidah akan mampu melahirkan individu yang berkepribadian Islam. Pendidikan dalam Islam memiliki visi dan misi yang jelas yaitu membentuk kepribadian Islam (pola pikir dan pola sikap Islam). Membekali generasi dengan Ilmu dan skill yang akan digunakan untuk kemaslahatan masyarakat. Keberhasilan pendidikan Islam ditopang oleh sistem pemerintahan dan ekonomi yang kuat. Dunia pendidikan akan disuasanakan dengan landasan yang benar. Menuntut ilmu adalah bagian dari kewajiban. Bukan hanya mengejar predikat terbaik versi manusia, apalagi hanya sekedar mengejar eksistensi. Proses pendidikan yang ditopang landasan benar akan memunculkan suasana menyenangkan. Setiap orang akan berlomba-lomba dalam kebaikan.
Ketiga, media akan dijadikan sarana menyebarkan kebaikan, bukan kerusakan. Akan ada pengawasan ketat dan sanksi dari negara atas konten-konten atau media yang memuat sesuatu yang merusak. Misal pornografi, judi online, dan lainnya. Selain itu pensuasanaan Islam di tengah masyarakat akan menjadikan mereka memilih berlomba dalam kebaikan.
Keempat, Islam akan sangat peduli dengan kekokohan bangunan keluarga. Sistem pergaulan dalam Islam akan mampu menjadikan laki-laki sebagai suami dan ayah yang ideal. Selain mendapat bekal dan ilmu menjadi suami dan ayah. Para laki-laki juga dipastikan mendapat pekerjaan dan hal tersebut dijamin negara. Karena memberi nafkah pada keluarga adalah bagian dari kewajiban. Perempuan dijadikan istri dan ibu yang sadar betul akan perannya. Mereka akan dipahamkan tentang kiprahnya di ranah privat dan umum. Para perempuan akan bangga menjadi seorang ibu yang berhasil mencetak generasi terbaik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H