Mohon tunggu...
Marvel yb
Marvel yb Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Intip pikiran-pikiran random saya melalui blog ini:D

Selanjutnya

Tutup

Politik

Woman in Conflict Zones: Peran dan Posisi Perempuan dalam Penjajahan Israel terhadap Palestina

15 Desember 2023   12:14 Diperbarui: 15 Desember 2023   12:53 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Latar Belakang

Seiring berjalannya waktu, posisi dan peran sosial perempuan di dalam masyarakat terus mengalami perkembangan. Gelombang feminisme yang sudah berlangsung sejak abad ke-20 pun sudah berkontribusi banyak dalam mewujudkan kesetaraan gender di dalam masyarakat . Meski demikian, masih terdapat banyak tantangan yang kerap kali menghambat perkembangan emansipasi perempuan. Salah satu dari banyaknya tantangan ini adalah kekerasan berbasis gender (KBG), yakni segala macam bentuk kekerasan yang dilakukan atas dasar gender seseorang. Kekerasan berbasis gender sendiri acapkali menimpa perempuan secara spesifik akibat adanya pola relasi kuasa yang timpang. 

Ketika berbicara soal kekerasan terhadap perempuan, maka kita akan menemukan banyak sekali topik dan isu yang masuk ke dalam payung diskursus. Salah satu isu yang penting untuk dibahas adalah soal posisi dan peran perempuan di dalam zona konflik. Isu ini krusial untuk dibahas karena menimbang banyaknya konflik yang tengah terjadi saat ini dan implikasinya yang sangat besar bagi kehidupan perempuan. Diantara konflik-konflik yang terjadi di dunia, salah satu konflik--atau penjajahan--yang menarik untuk dibahas lebih lanjut adalah antara Israel dan Palestina. Konflik asimetris yang sudah berumur puluhan tahun ini telah memakan puluhan ribu korban, banyak diantaranya merupakan perempuan dan anak-anak. Oleh sebab itu, menjadi suatu hal yang penting untuk melihat lebih lanjut posisi dan peran perempuan di dalam konflik Israel-Palestina. 

Konsep KBG

Sebelum terjun ke pembahasan soal perempuan di dalam konflik asimetris Israel-Palestina, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu konsep kekerasan berbasis gender (KBG). Secara definitif, kekerasan berbasis gender dapat dipahami sebagai setiap tindakan sengaja yang merugikan seseorang berdasarkan ketidaksetaraan kekuasaan yang dihasilkan dari peran gender (Purwanti, 2020). Lebih dari itu, United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) memberikan definisi bahwa KBG merupakan segala tindakan kekerasan langsung pada seseorang yang didasarkan atas seks atau gendernya. 

Konsep Collateral Damage

Di dalam suatu konflik, kita lazim mendengar istilah kerusakan kolateral atau collateral damage. Pembahasan soal woman in conflict zones juga memiliki keterkaitan erat dengan konsep tersebut karena perempuan dan anak-anak seringkali menjadi korban kolateral utama di dalam suatu konflik. Korban kolateral sendiri dapat dipahami sebagai semua kematian, cedera, atau kerusakan lain yang ditimbulkan sebagai akibat tidak disengaja dari suatu kegiatan yang seringkali berkaitan dengan operasi militer (Holland, 2007).

Konsep Double Burden

Selain menjadi korban kolateral, perempuan juga harus menanggung beban ganda (double burden) yang lebih berat akibat adanya konflik bersenjata. Menurut Dewi dan Listyani (2020) dalam Putri dan Rahmawati (2021), beban ganda  merupakan  dua  peran  atau  lebih  yang  dilakukan  oleh  individu  dalam  waktu  yang bersamaan. Dalam konteks perempuan, beban ganda yang dirasakan dapat dibagi menjadi peran publik dan domestik. Tanpa konflik bersenjata pun, beban ganda perempuan sudah menjadi momok yang mempersulit perempuan untuk mencapai keadilan gender, bagaimana jika ditambahkan dengan isu konflik bersenjata? Perempuan yang juga seorang ibu akan diperhadapkan dengan beban yang sangat berat untuk menjaga rumah tangganya apabila sang bapak gugur dalam medan pertempuran. Dengan demikian, konflik bersenjata memperparah ketidakadilan gender yang dialami oleh perempuan.

Perempuan dalam konflik Palestina-Israel

Konflik asimetris yang terjadi antara Israel dengan Palestina bukanlah sebuah konflik baru, melainkan sudah berlangsung selama 1 abad. Bahkan, apabila ingin menganalisis secara holistik, akar konflik ini dapat ditelusuri hingga ribuan tahun yang lalu di masa para Nabi dan keajaiban. Meski demikian, mayoritas orang akan mengacu kepada kebangkitan zionisme dan deklarasi balfour di abad ke-20 sebagai awal mula konflik. Semenjak itu, konflik terus mengalami perkembangan dan evolusi hingga mencapai titik terbarunya di tahun 2023. Sampai 5 Desember lalu, tercatat jumlah korban perempuan Palestina  mencapai 4,885 dan korban anak-anak Palestina mencapai angka 7,112 jiwa. (Fayez, 2023) Mayoritas dari korban jiwa ini merupakan korban kolateral yang meregang nyawa akibat serangan bertubi-tubi rudal Israel. Menurut data UN Women, sebanyak 1,9 juta perempuan di Palestina juga 

membutuhkan bantuan yang berhubungan dengan kekerasan berbasis gender (KBG). Banyaknya jumlah tersebut disebabkan oleh keberadaan aturan usang dan diskriminatif yang menghambat korban KBG untuk mengakses bantuan serta memperoleh keadilan. Tidak berhenti sampai disitu, para ibu di Palestina juga menderita beban ganda akibat gugurnya suami mereka di medan konflik. Mereka diperhadapkan dengan beban yang sangat berat untuk menjaga rumah tangganya sekaligus mencari nafkah, apabila sang bapak gugur dalam medan pertempuran. Dengan demikian, konflik bersenjata memperparah ketidakadilan gender yang dialami oleh perempuan di Palestina. Terlebih ketika kita menimbang faktor budaya patriarkis di Palestina yang masih sangat kental. Budaya hamula yang dilanggengkan oleh rezim Palestinian Authority, memperparah ketimpangan gender di Palestina karena menetapkan peran perempuan di dalam masyarakat hanya pada ranah domestik. Lebih dari itu, peranan perempuan hanya dilihat sebagai national producers of nation yang secara tidak langsung melihat perempuan hanya sebagai alat reproduksi belaka

Walau begitu, peran dan posisi perempuan dalam konflik Israel-Palestina tidak berakhir disitu, karena terdapat hal yang menarik ketika melihat posisi perempuan di dalam konflik asimetris Israel-Palestina. Berbeda dari konflik-konflik pada umumnya dimana perempuan seringkali menjadi korban brutalitas konflik, dalam konteks Palestina, signifikansi perempuan secara politis nyatanya semakin ketara. Kondisi ini disebabkan karena diisinya peran-peran politis yang secara tradisional seharusnya milik lelaki, oleh para perempuan. Gerakan-gerakan politis seperti demonstrasi dan perlawanan lazim dilakukan oleh para perempuan di Palestina. Tidak hanya itu, mereka juga mengambil peranan besar dalam ranah pendidikan untuk terus mensosialisasikan semangat jihad serta merintis pembangunan fasilitas-fasilitas pendidikan (Rachmawati & et. al, 2022). Secara struktural, perempuan di Palestina juga membentuk Palestine Arab Women Congress yang terus memperjuangkan hak-hak perempuan Palestina di kancah internasional. Melalui tulisan singkat ini, kita dapat mempelajari beberapa hal baru tentang konsep kekerasan berbasis gender, korban kolateral, dan beban ganda yang ketiganya memegang peranan besar dalam membentuk kondisi perempuan di zona konflik Israel-Palestina. Memang betul, banyak sekali perempuan di Palestina yang menjadi korban keganasan konflik, tetapi semangat mereka untuk terus memperjuangkan hak-haknya tidak kalah besar. Perempuan-perempuan hebat di Palestina telah membuktikan bahwa rudal dan senjata pun tidak akan mempan ketika diperhadapkan dengan semangat perjuangan kolektif masyarakat sipil. Kasus yang terjadi di Palestina dapat menjadi pelajaran bagi kita masyarakat Indonesia untuk tidak terkungkung oleh jempol pemerintah dan terus memperjuangkan hak-hak yang kita miliki. Terkhusus bagi kesetaraan gender di Indonesia, ruang aman yang kondusif bagi perempuan belum terwujud secara holistik. Oleh sebab itu, mari kita bergandeng tangan untuk senantiasa berjuang dalam mewujudkan ruang aman bagi seluruh perempuan di Indonesia yang bebas dari kekerasan berbasis gender.

Referensi:

Fayez, Abdelsalam. (December 6, 2023). Gaza's death toll from Israeli attacks mounts to 16,248, including 7,112 children. https://www.aa.com.tr/en/middle-east/gaza-s-death-toll-from-israeli-attacks-mounts-to-16-248-including-7-112-children/3074094#:~:text=The%20Palestinian%20death%20toll%20from,office%20said%20in%20a%20statement 

Holland, Joseph (2007). "Military Objective and Collateral Damage: Their Relationship and Dynamics". Yearbook of International Humanitarian Law. 7: 35--78. doi:10.1017/S1389135904000352. ISSN 1389-1359.

Purwanti, Ani. (2020). Kekerasan Berbasis Gender. BILDUNG: Yogyakarta

Putri, Y.A. & Rahmawati, I. (2021). "Mengungkap Beban Ganda pada Ibu di Masa Pandemi  Covid-19". Prosiding Konferensi Nasional Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Vol. 01, No. 01. http://journal.unusia.ac.id/index.php/Conferenceunusia/article/view/195/145 

Rachmawati, T., & et.al. (2022). Keterlibatan Perempuan dalam Perang, Politik dan Non-Politik Menurut Perspektif Islam (Studi Kasus: Perlawanan Perempuan Palestina terhadap Okupasi Israel Tahun 2000-2019). Politea: Vol. 5, No. 2. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun