paradigma "Clash of Civilizations". Paradigma "Clash of Civilizations" sudah menjadi salah satu kerangka pemikiran dominan dalam memahami atau menganalisis konflik global setelah Perang Dingin selesai pada tahun 1991. Dalam pandangan Huntington, konflik utama di dunia pasca Perang Dingin akan terjadi diantara peradaban-peradaban besar, terutama antara dunia Barat dan dunia Timur Tengah (Islam). Paradigma ini telah memengaruhi banyak kebijakan luar negeri dan keamanan, termasuk dalam upaya memerangi terorisme.
Pada tahun 1993, Samuel P. Huntington memperkenalkanDalam konteks terorisme modern, paradigma ini perlu didekonstruksi karena cenderung menyederhanakan kompleksitas dari terorisme dan dapat memperburuk ketegangan antar komunitas. Terorisme merupakan fenomena yang kompleks dan tidak cukup dijelaskan hanya dengan perbedaan peradaban. Tentunya ada banyak faktor yang mendorong seseorang atau kelompok untuk melakukan aksi teror, termasuk faktor politik, ekonomi, sosial, dan psikologis (Krueger & Maleckova, 2003).[1]
Paradigma 'Clash of Civilizations' sering kali digunakan untuk menjelaskan terorisme dengan asumsi bahwa serangan teroris yang dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal yang mengatasnamakan Islam adalah manifestasi dari benturan peradaban antara Barat dan Timur Tengah (Islam). Akan tetapi, pandangan ini terlalu menyederhanakan kompleksitas terorisme dan mengabaikan keberagaman dalam dunia Islam itu sendiri (Roy, 2004).[2] Islam itu bukanlah monolit, dan ada banyak aliran pemikiran, sekte, dan praktik dalam penganut agama Islam itu sendiri. Menganggap semua umat Islam sebagai ancaman homogen merupakan hal yang salah, karena mengabaikan kenyataan bahwa mayoritas umat Islam tidak mendukung terorisme dan banyak yang menjadi korban terorisme itu sendiri (Esposito & Mogahed, 2007).[3]
Dalam sisi lain, paradigma 'Clash of Civilizations' sering kali berdampak negatif pada kebijakan luar negeri dan keamanan. Kebijakan yang didasarkan pada paradigma ini sering kali memperparah ketegangan antar komunitas dan memicu radikalisasi lebih lanjut. Contoh nyata adalah kebijakan luar negeri Amerika Serikat setelah serangan 11 September 2001. Invasi ke Afghanistan dan Irak, serta kebijakan yang keras terhadap negara-negara Muslim lainnya, hal ini justru memicu peningkatan radikalisasi dan rekrutmen kelompok teroris seperti Al-Qaeda dan ISIS (Bergen, 2016).[4]
Karena itu pendekatan alternatif yang lebih holistik dan multidimensional diperlukan untuk memahami dan menangani terorisme secara efektif. Salah satunya adalah pendekatan sosial-ekonomi, yang mengatasi akar penyebab sosial dan ekonomi yang sering kali mendorong radikalisasi. Program-program pembangunan ekonomi dan inklusi sosial dapat membantu mengurangi ketidakpuasan yang sering dimanfaatkan oleh kelompok teroris (Byman, 2015).[5]
Alternatif Paradigma: Pendekatan Multidimensional
Untuk memahami dan menangani terorisme secara efektif, diperlukan pendekatan yang lebih holistik dan multidimensional. Salah satunya adalah pendekatan sosial-ekonomi, yang mengatasi akar penyebab sosial dan ekonomi yang sering kali mendorong radikalisasi. Program-program pembangunan ekonomi dan inklusi sosial dapat membantu mengurangi ketidakpuasan yang sering dimanfaatkan oleh kelompok teroris (Krueger & Maleckova, 2003).
Dialog antar-budaya dan antar-agama juga penting untuk membangun pemahaman dan toleransi yang lebih baik. Banyak konflik yang dianggap sebagai benturan peradaban, hal itu sebenarnya berakar pada kesalahpahaman dan ketidakpercayaan yang bisa diatasi melalui komunikasi dan kolaborasi (Abu-Nimer, 2003).[6] Menurut Wilkinson (2006), memastikan penegakan hukum yang adil dan tidak diskriminatif juga menjadi hal yang penting dalam menangani terorisme. Tindakan yang adil dan transparan dalam menangani atau mengatasi terorisme dapat membantu membangun kepercayaan masyarakat dan mencegah radikalisasi lebih lanjut.[7]
Pendidikan yang mengajarkan toleransi, keberagaman, dan keterampilan untuk berpikir kritis juga dapat cukup membantu mencegah terjadinya radikalisasi di kalangan muda. Kurikulum yang mencakup studi tentang berbagai agama dan budaya dapat membangun pemahaman yang lebih mendalam dan menghargai perbedaan (Stern, 2003).[8]
Dengan mengatasi akar penyebab sosial-ekonomi, mendorong dialog antar-budaya dan antar-agama, menegakkan hukum yang adil, dan memperbaiki sistem pendidikan, kita dapat membangun masyarakat yang lebih damai dan inklusif. Hanya dengan pendekatan yang lebih komprehensif dan berkelanjutan, kita dapat mengatasi tantangan terorisme secara efektif dan mencegah terjadinya lebih banyak kekerasan dan penderitaan.
Footnote:
[1] Krueger, A.B., & Maleckova, J. (2003). Education, Poverty, and Terrorism: Is There a Causal Connection? Journal of Economic Perspectives, 17(4), 119-144.
[2] Roy, O. (2004). Globalized Islam: The Search for a New Ummah. Columbia University Press.
[3] Esposito, J.L., & Mogahed, D. (2007). Who Speaks for Islam? What a Billion Muslims Really Think. Gallup Press.
[4] Bergen, P.L. (2016). The United States of Jihad: Investigating America’s Homegrown Terrorists. Crown.
[5] Byman, D. (2015). Al Qaeda, the Islamic State, and the Global Jihadist Movement: What Everyone Needs to Know. Oxford University Press.
[6] Abu-Nimer, M. (2003). Nonviolence and Peace Building in Islam: Theory and Practice. University Press of Florida.
[7] Wilkinson, P. (2006). Terrorism Versus Democracy: The Liberal State Response. Routledge.
[8] Stern, J. (2003). Terror in the Name of God: Why Religious Militants Kill. HarperCollins.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H