Mohon tunggu...
Kencang Lantang
Kencang Lantang Mohon Tunggu... Lainnya - Rakyat Kecil

Orang Biasa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru, Kurikulum yang Hidup

24 November 2024   17:27 Diperbarui: 25 November 2024   08:20 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ganti menteri, ganti kurikulum. Adagium ini selalu muncul setiap kali pergantian menteri di bidang pendidikan. Seolah-olah ini menjadi credo pendidikan kita. Kadang yang diganti hanya istilah saja, tanpa perubahan esensi. Guru sebagai elemen penting pendidikan justru kurang menjadi fokus perhatian. Apakah kalau tidak mengganti kurikulum, menteri terkait merasa tidak berkarya?

Tidak ada yang dapat membantah betapa penting kurikulum dalam keseluruhan visi pendidikan. Kurikulum, dari akar katanya dalam Bahasa Latin -currere artinya berlari atau lintasan lari- merupakan 'seperangkat rencana pembelajaran yang dirancang secara sistematis untuk membimbing peserta didik dalam mencapai tujuan pendidikan' (Hilda Taba, 1902-1967).

Tanpa kurikulum, seluruh proses proses pembelajaran yang dibuat guru akan kacau dan kehilangan arah. Guru tidak tahu apa yang akan dilakukan dan ke mana arah pendidikan jika tidak ada pegangan yang jelas. Kurikulum merupakan kompas yang menuntun dan mengarahkan guru dalam merancang serta memberikan pengalaman belajar yang tepat bagi murid-murid.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Indonesia menyatakan kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Jelaslah bahwa kurikulum adalah faktor inti pendidikan.

Sebagai aras pendidikan, kurikulum perlu dirancang sedemikian rupa sehingga sungguh-sungguh berdaya untuk membangun peradaban bangsa. Sungguh disayangkan apabila kurikulum dibuat hanya untuk memenuhi ambisi seseorang meninggalkan monumen. Perlu disadari, seluruh perangkat pendidikan ada untuk menyiapkan generasi mampu hidup di zaman yang belum diketahui.

Karena menerangi masa depan, kurikulum memang harus berubah. Kita tidak bisa stagnan. Tidak tepat apabila kita menggunakan lampu teplok di era yang serba elektrik dan digital. Kurikulum pendidikan harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman agar efektif dan efisien. Orang Latin mengatakan, Tempus mutantur et nos mutamur in illis. Zaman berubah dan kita pun berubah di dalamnya. 

Namun, dalam seluruh perubahan kurikulum untuk memenuhi kebutuhan zaman, seharusnya ada hal yang tidak berubah, yakni nilai (value). Milton Rokeach dalam bukunya The Nature of Human Values (1973) mengatakan nilai adalah keyakinan yang bertahan lama terkait cara bertindak atau keadaan akhir tertentu yang lebih diinginkan secara pribadi atau sosial. Apa values pendidikan Indonesia?

Pertanyaan di atas harus menjadi bahan refleksi awal para penggubah kurikulum pendidikan. Tanpa menemukan dan merumuskan nilai-nilai inti, kurikulum hanya akan menjadi setumpuk dokumen yang tidak memiliki jiwa (core). Kurikulum tanpa jiwa dipastikan tidak akan mampu menggerakkan insan-insan pendidikan. Buahnya sudah dapat dibayangkan akan berujung pada kegagalan. 

Jadi, sah-sah saja Kurikulum Merdeka diubah menjadi Kurikulum Deep Learning atau apa pun namanya. Namun, apa core values dari kurikulum yang baru itu? Mau ke mana seluruh proses peradaban bangsa ini akan diarahkan melalui kurikulum? Akan seperti apa  bangsa ini satu abad atau satu milenium mendatang? Hal ini harusnya pertama-tama yang ada dalam benak pembuat kurikulum.

Sekadar tahu, nilai inti Kurikulum Merdeka ada dalam Profil Pelajar Pancasila, yaitu beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia; berkebinekaan global; bergotong royong; mandiri; bernalar kritis; dan kreatif. Jiwa kurikulum ini, menurut saya, sudah visioner. Nilai-nilai kebangsaan otentik yang menjadi visi adiluhung para pendiri bangsa coba dibawa ke dunia masa kini.

Guru: Hidden Curriculum

Akan tetapi, betapa pun pentingnya faktor kurikulum dalam seluruh pendidikan, peran guru tetap menjadi bagian sentral. Bahkan keberadaan guru jauh lebih penting daripada kurikulum yang dirancang sebaik apa pun. Guru langsung terlibat dalam proses belajar-mengajar, sementara kurikulum hanya seperangkat dokumen sistematis. Guru adalah penggerak utama dalam proses pendidikan. 

Sebagai individu, guru memiliki kemampuan untuk menyesuaikan materi pembelajaran sesuai kebutuhan siswa. Dalam Democracy and Education (1916), John Dewey menyebutkan guru lebih dari sekadar pengajar. Pendidik membimbing siswa mengembangkan pemikiran kritis. Bagi Dewey, guru berperan sebagai fasilitator dalam proses pertumbuhan dan pengalaman yang berpusat pada murid.

Howard Gardner, dengan teorinya tentang Multiple Intelligences (1983), menekankan peran penting guru dalam memahami keragaman kecerdasan siswa. Guru yang kompeten mampu mengidentifikasi potensi siswa dan menyesuaikan metode pengajaran untuk membantu setiap individu berkembang. Guru bukan hanya penyampai informasi, tetapi juga pembimbing emosional, motivator, dan teladan.

Kurikulum memang dirancang untuk memberikan arah dalam sistem pendidikan. Namun, seperti yang dinyatakan Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1968), kurikulum tanpa guru yang kompeten hanya akan menjadi alat yang pasif. Freire mengkritik proses belajar yang terlalu fokus pada kurikulum dan mendorong pendekatan dialogis, di mana guru dan siswa bekerja sama membangun pemahaman.

Meskipun kurikulum memberikan panduan, keberhasilan pendidikan bergantung pada kualitas guru yang mengimplementasikannya. Haim Ginott, dalam bukunya Teacher and Child (1972 ), menyatakan bahwa sikap guru dapat menciptakan suasana belajar yang kondusif atau sebaliknya. Guru yang kompeten dapat mengatasi kelemahan kurikulum dengan kreativitas dan pemahaman mendalam tentang kebutuhan siswa.

Kurikulum terbaik adalah guru itu sendiri, yang kerap disebut hidden curriculum. Penelitian menunjukkan bahwa guru yang baik memiliki dampak signifikan terhadap hasil belajar siswa, bahkan lebih besar daripada kurikulum yang dirancang dengan baik. Sebaliknya, kurikulum yang ideal pun tidak akan memberikan hasil maksimal jika tidak didukung oleh guru yang berkualitas.

Guru yang kompeten memahami nilai-nilai inti yang hendak ditanamkan kepada murid-muridnya dan menyiapkan sejumlah perangkat yang diperlukan untuk menanamkan nilai tersebut. Guru harus memiliki banyak perbendaharaan pembelajaran sehingga dengan mudah dapat menyesuaikan diri dengan situasi ketika rancangan yang satu tidak cocok dengan situasi riil di dalam kelas.

Sebagai ilustrasi, seorang guru di daerah terpencil dengan sumber daya yang minim harus mampu beradaptasi dan mencari cara tepat agar tetap menyampaikan pembelajaran yang berkualitas. Kreativitas dan dedikasi guru menjadi faktor utama yang memastikan murid-murid tetap mendapatkan pendidikan yang layak, meskipun kurikulumnya terbatas. Guru itu kurikulum dalam segala situasi.

Jelaslah bahwa peran guru terlalu mendasar dalam seluruh proses pendidikan. Bahkan seandainya kurikulum tidak ada, pembelajaran tetap bisa berjalan dan berhasil baik apabila guru memahami visi, misi, dan tujuan yang hendak dicapai serta merancang pengalaman belajar murid yang tepat untuk mencapai nilai-nilai tersebut. Guru dapat mengembangkan kurikulum operasional sendiri.

Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya lebih fokus memberdayakan guru daripada sekadar menyibukkan diri mengurusi hal-hal teknis terkait kurikulum, termasuk masalah Ujian Nasional dan sistem penerimaan siswa baru. Selain memerhatikan kesejahteraan ekonomi dan mental, pemerintah diharapkan memberikan pendidikan dan pelatihan yang terukur dan berkelanjutan kepada para guru.

Momentum Hari Guru Nasional 2024 hendaknya menjadi titik awal pemerintah mengarusutamakan guru dalam seluruh sistem pendidikan kita. Jangan lagi bersembunyi di balik sebutan'guru pahlawan tanpa tanda jasa'. Sebutan itu mengelabui kesadaran kolektif kita untuk mendukung guru sebagai garda terdepan menghela peradaban bangsa ke level dunia. Hanya guru hebat yang dapat membuat Indonesia jaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun