Beberapa waktu lalu, tepatnya 19 September 2024, diadakan pemberkatan Patung Yesus Penebus Sibea-beda, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Seremoninya berlangsung sangat meriah di puncak Bukit Sibea-bea yang terletak di Kecamatan Harian. Posisinya menghadap Danau Toba dari ketinggian kurang lebih 100 meter di atas permukaan danau vulkanik terbesar di dunia itu. Begitu indah!
Gereja Katolik. Hal ini masuk akal karena hanya Katolik yang memiliki tradisi membekati benda rohani, termasuk patung. Denominasi Kristen mana pun tidak memberi ruang akan kehadiran sarana-sarana rohani dalam kehidupan religius.
Ketua panitianya adalah RP Moses Elias Situmorang OFM Cap, seorang imam Katolik. Upacara pemberkatan patung menggunakan tata cara liturgiSejumlah pastor dari kawasan Danau Toba menjadi konselebran pada misa kudus. Ada empat uskup yang menjadi selebran utama, yaitu Uskup Keuskupan Agung Medan Mgr. Kornelius Sipayung, OFM Cap, Uskup Keuskupan Agung Palembang Mgr. Yohanes Harun Yuwono, Uskup Keuskupan Sibolga Mrg. Fransiskus Tuahman Sasfo Sinaga, dan Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) sekaligus Uskup Keuskupan Bandung Mgr. Antonius Bunjamin Subianto, OSC.
Bukan hanya itu. Paus Fransiskus, pemimpin Gereja Katolik Sedunia, juga ikut andil dalam memberi berkat bagi patung rohani tertinggi di dunia itu. Panitia dan pengurus wisata religi tersebut membawa replika Patung Yesus Penebus Sibea-bea ke hadapan Paus Fransiskus saat berkunjung ke Jakarta awal September 2024 dan memberkatinya di Kedutaan Besar Vatikan, Jakarta. Replika tersebut kini berada di Bukit Sibea-bea. Luar biasa!
Manusia Homo Symbolicum
Berita upacara pemberkatan Patung Yesus Penebus Sibea-bea menyebar luas di masyarakat. Hampir semua media nasional menyiarkan kabar tersebut. Belum lagi media sosial yang daya sebarnya begitu masif. Melihat berita yang santer itu, seorang umat di lingkungan saya kemudian bertanya tentang perlunya memberkati patung. "Tolong berikan pencerahan atau bahan renungan kepada saya mengapa kita memberkati benda-benda (mati)?", katanya.
Ia kurang sependapat adanya pemberkatan patung karena memberkati benda-benda (mati) dapat menyebabkan orang mengkultuskannya. Benda tersebut bisa saja dijadikan sebagai jimat yang memiliki kekuatan supranatural karena dengan diberkati patung akan sekolah memiliki jiwa atau roh. Hal itu rentan jatuh kepada penyembahan berhala. Sebab, ada saja orang yang memberi kesaksian telah mendapat pengalaman rohani lewat benda-benda yang diberkati itu. Apakah kesaksian mereka boleh diyakini?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, pertama-tama perlu dipahami bahwa manusia adalah homo symbolicum. Hal ini mengacu pada kapasitas manusia untuk menciptakan atau memberi makna kepada tanda atau sesuatu yang dapat menyatakan sesuatu yang lain. Karena menyandang ciptaan paling cerdas sekaligus terbatas, manusia memerlukan tanda dan sarana agar lebih mudah memahami berbagai hal dalam hidupnya. Malah harus dikatakan tanpa simbol, manusia akan kesulitan dalam hidup sebab ada banyak hal yang dapat dipikirkan dan dirasakan manusia tetapi tidak ada wujudnya.
Pentingnya simbol bagi manusia dapat dilihat dari berbagai aspek yang melekat dalam diri manusia. Secara psikologis, misalnya, simbol menolong manusia memahami dirinya. Carl Gustav Jung (1875-1961) mengatakan bahwa simbol-simbol dalam mimpi dan seni mencerminkan arketipe universal yang ada dalam jiwa manusia. Menurut Jung, simbol-simbol dapat membantu individu memahami diri mereka sendiri dan pengalaman hidup mereka, serta menghubungkan mereka dengan budaya dan sejarah manusia yang lebih luas.
Dari sudut antropologi, manusia juga bergaul dengan simbol-simbol. Antropolog Victor Witter Turner (1920-1983), yang terkenal dengan penelitiannya tentang ritual dan simbol dalam masyarakat, mengatakan simbol dalam konteks ritual membantu membangun identitas sosial dan menciptakan makna dalam kehidupan komunitas. Simbol-simbol ini berfungsi untuk menyampaikan nilai-nilai dan norma-norma yang penting dalam suatu budaya.Â
Bagaimana dari sudut semiotika? Pakar semiotika Roland Gerard Barthes (1915-1980) mengembangkan teori tentang tanda dan simbol dalam bahasa dan budaya. Dalam Mythologies, ia menganalisis bagaimana simbol-simbol dalam masyarakat modern menciptakan makna dan mitos. Barthes berargumen bahwa simbol tidak hanya merepresentasikan realitas, tetapi juga membentuk cara kita memahami dan berinteraksi dengan dunia.
Filsuf dari kalangan Kristen Protestan, Paul Ricoeur (1913-2005), justru mengembangkan teori hermeneutika yang menekankan pentingnya simbol dalam pemahaman teks dan makna. Ia berpendapat bahwa simbol-simbol tidak hanya sekadar representasi, tetapi juga memiliki kekuatan untuk menciptakan makna baru dalam konteks yang berbeda. Dalam karya-karyanya, Ricoeur menjelaskan bagaimana simbol dapat membantu manusia dalam merefleksikan pengalaman hidup dan mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang diri mereka dengan Sang Ada (baca: Tuhan).
Jelaslah tanda atau simbol sangat penting bagi manusia. Simbol-simbol tersebut diungkapkan dalam kehidupan personal melalui bahasa dan benda, termasuk Patung Yesus Penebus Sibea-bea. Melalui patung yang berkapasitas manusiawi terkandung makna ilahi. Kehadiran patung itu tentunya bukan hanya bermakna estetis, tetapi juga tanda dan sarana yang mengandung makna rohani atau spiritual. Lewat Patung Yesus Penebus Sibea-bea, setiap orang yang berkunjung dan memandangnya tentu dapat merasakan pengalaman dengan yang Ilahi. Apalagi berada di atas bukit dengan suasana alam yang indah. Siapa pun pasti takjub akan kebesaran Tuhan.Â
Mengapa Harus Diberkati?
Realitas manusia sebagai makhluk simbol menjadi landasan mengapa patung dan benda-benda rohani lain perlu dalam kehidupan beriman umat. Gereja Katolik menyadari sepenuhnya sisi psikologis  dan antropologis manusia sehingga tanda dan sarana memang dibutuhkan untuk menjamin kualitas beriman. Gereja tidak mencabut dan menjauhkan manusia dari akar budaya dan adat kebiasaannya, melainkan mengadopsinya dalam semangat inkulturasi demi kemajuan rohani umat.Â
Dokumen Konsili Vatikan II Nostra Aetate mengatakan bahwa Gereja tidak menolak apa pun yang serba benar dan suci dalam kebiasaan, adat, dan keyakinan manusiawi sejauh dapat memancarkan sinar Kebenaran Ilahi (bdk. NA 1). Gereja justru memurnikan tradisi manusiawi dan suasana batin yang menyertai dengan nilai-nilai iman kristiani yang sejati agar motif dan tujuannya menjadi terang serta terhindar dari kecenderungan kultisme.Â
Perlu diingat, kehadiran benda-benda dalam hidup beriman bukan hal baru, apalagi hal aneh. Dalam Perjanjian Lama, Musa diperintahkan Tuhan untuk membuat ular tedung dan menaruhnya pada sebuah tiang sehingga siapa pun yang memandangnya akan tetap hidup (Bil 21:8-9). Demikian juga kerubim ditempatkan di atas Tabut Perjanjian sebagai simbol kehadiran Allah. Tabut ini disimpan di Tempat Mahakudus, dan orang Israel menghormati kehadiran Allah yang tidak terlihat di antara mereka melalui simbol ini (bdk. Kel 25:18-22).
Yesus sendiri juga menggunakan benda-benda lahiriah untuk mengungkapkan kasih Allah kepada manusia. Dalam peristiwa Perjamuan Terakhir bersama pada murid, misalnya, Yesus menggunakan roti dan anggur sebagai simbol dari tubuh dan darah-Nya sendiri (Lih. Mat 26:26-29, Mrk 14:22-25, Luk 22:19-20). Roti dan anggur yang merupakan santapan tradisional Yahudi mengalami transubstansiasi menjadi tubuh dan darah-Nya sendiri. Gereja pun meneruskan teladan Yesus ini setiap kali merayakan Sakramen Ekaristi.Â
Dalam Sacrosanctum Concilium dikatakan, "Gereja bersifat sekaligus manusiawi dan ilahi, kelihatan namun penuh kenyataan yang tak kelihatan.... Dalam Gereja, apa yang insani diarahkan dan diabdikan kepada yang ilahi, apa yang kelihatan kepada yang tidak nampak...(SC 2). Ini menunjukkan makna penting sakramen yang 'mengungkapkan misteri Kristus serta hakikat asli Gereja yang sejati, serta memperlihatkan itu kepada orang-orang lain' (SC 2). Gereja Katolik mengarahkan diri kepada yang Ilahi melalui sakramen-sakramen yang seluruhnya memiliki benda-benda sebagai simbol dan sarana.Â
Melalui kekayaan ilahi yang tak terbatas, Gereja juga memberi ruang kepada sakramentali, yaitu 'tanda-tanda suci, yang memiliki kemiripan dengan sakramen-sakramen' (SC 60). Sakramentali ada dalam semua ritual memberkati benda-benda rohani, seperti salib, patung, rosario, medali, daun, dan sebagainya, termasuk sakramentali. Apakah hal ini tidak rentan jatuh ke dalam penyembahan berhala? "Bila manusia menggunakan benda-benda (tersebut) dengan pantas, boleh dikatakan tidak ada satu pun yang tak dapat dimanfaatkan untuk menguduskan manusia dan memuliakan Allah" (SC 61).
Mengapa harus diberkati? Benda-benda tersebut merupakan barang-barang yang bersifat duniawi yang dari dirinya sendiri terbatas dan lemah. Berkat yang diberikan atas nama Allah untuk benda-benda itu akan menjadikannya 'berdaya ilahi'. Setelah diberkati, secara substansi benda-benda rohani tidak pernah lagi sama seperti benda-benda serupa yang belum diberkati, sekalipun secara eksistensi sama atau malah lebih menarik. Benda-benda itu menjadi sarana rohani yang menolong siapa pun untuk lebih mengenal Allah dan belas kasih-Nya.
Jelaslah bahwa Patung Yesus Penebus Sibea-beda di Kabupaten Samosir sangat perlu diberikati. Pemberkatan patung itu kini menjadikannya sebagai sarana rohani bagi para pengunjung. Pemberkatan itu sama sekali tidak akan memberinya kekuatan supranatural dari dirinya sendiri. Juga tidak akan mengubahnya menjadi benda ajaib atau jimat. Oleh karena itu, setiap orang yang melihatnya hendaklah benar-benar berhati-hati, penuh kesadaran, dan jujur sehingga semata-mata memandang Allah dan merasakan kebaikan-Nya yang tiada tara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H