Yesus mengkritik dua kelompok itu karena menerapkan aturan agama Yahudi secara membabi-buta tanpa melihat konteks ruang dan waktu. Bukan itu saja, kaum Farisi dan ahli Taurat membuat dan menegakkan hukum bagi orang lain saja, sementara mereka sendiri tidak melakukannya (bdk. Mat 23:1-36). Mereka orang munafik yang mengklaim diri suci, padahal membelokkan nilai agama demi kepentingan ego pribadi.
Berbeda dengan cara pikir orang Farisi dan ahli Taurat yang membalas kesalahan dengan kesalahan, Yesus sebaliknya justru menawarkan sikap antikekerasan. Bagi-Nya, tidak ada keistimewaan orang yang hanya membalas kebaikan sesamanya. Itu sama sekali bukan tipe orang beragama. Yesus mengajar pengikut-Nya untuk mengasihi musuh dan berdoa bagi orang yang menganiaya (bdk. Mat 5: 43-48). Sungguh radikal!
Apakah Yesus ramah terhadap budaya dan kebiasaan masyarakat, baik lokal maupun tradisi orang lain? Kalau kita mengulik kebiasaan Yesus, misalnya pergi ke Bait Allah di Yerusalem pada hari raya (Yoh 5:1; 10:22; Yoh 11:55), kita dapat memastikan bahwa Yesus hidup dalam tradisi bangsa-Nya. Serentak dengan itu, Ia juga terbuka dan mendorong pengikut-Nya menerima orang yang tidak seiman (bdk. Mrk 9:38).
Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat simpulkan bahwa Yesus adalah pribadi yang moderat dan mengajarkan sikap moderat kapada para pengikut-Nya. Yesus dapat menerima perbedaan sebagai elemen untuk saling memperkaya. Oleh karena itu, para pengikut Kristus, diharapkan agar memiliki sikap dan tindakan moderat dalam kehidupan sehari-hari. Menjadi pengikut Kristus berarti menjadi pribadi yang moderat.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H