Mohon tunggu...
Ma'ruf M Noor
Ma'ruf M Noor Mohon Tunggu... -

Patriot Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral | Nunukan - Kalimantan Utara | Kaimana - Papua Barat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bertanyalah Sebelum Didenda!

3 Juni 2016   00:11 Diperbarui: 3 Juni 2016   08:26 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berada di kampung rantau adalah sebuah pertarungan keterampilan bertahan hidup. Salah kaki melangkah, maka akan masuk ke lubang neraka. Salah mulut bicara, maka akan disalah makna. Salah tangan bertingkah, maka akan terkena denda.

Lima bulan saya terselip di desa perbatasan Indonesia – Malaysia. Tepatnya di desa Sumentobol, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Menjadi minoritas di antara masyarakat suku Dayak, suku asli penghuni pulau Kalimantan.

Saya adalah satu dari 80 relawan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia dalam sebuah program pendampingan masyarakat bernama Patriot Energi dengan jargon “Penggerak Energi Tanah Air”.

Saya ditugaskan untuk mengidentifikasi dan mengaktivasi potensi energi baru terbarukan yang lebih bersih dan ramah lingkungan di desa yang masih tertutup oleh segala akses modernitas. Di desa tempat saya bertugas itu tidak ada listrik, sinyal, dan transportasi selain transportasi sungai. Bisa dibilang dunia di desa itu adalah dunia gelap Indonesia.

Dalam keseharian sebagai warga minoritas di segala hal. Adalah kemestian untuk selalu menjaga sikap dan tingkah laku. Desa tempat saya bertugas adalah termasuk salah satu desa adat di Kalimantan. Aturan hidup nomor satu adalah mematuhi hukum adat yang berlaku di desa. Desa ini tetap memiliki kepala desa, namun tata kehidupan di luar perihal administrasi desa dikendalikan oleh seseorang dengan jabatan Ketua Adat Kampung.

Roda kehidupan diatur oleh norma adat. Baik dan buruk ditimbang dengan takaran adat yang berlaku. Begitu pula dengan kaidah benar dan salah yang masyarakat anut.

Dalam lingkungan masyarakat yang masih memegang erat norma adat ini, tentu juga masih begitu kental keyakinan terhadap kekuatan-kekuatan mistis yang kadang jadi bahan untuk menumbuhkan ketakutan dan kepatuhan terhadap aturan adat.

Seorang pendatang semacam saya tidak terlepas dengan norma adat yang berlaku. Pendatang atau tamu tidak berarti bebas nilai terhadap aturan. Justru pendatanglah yang musti tunduk dan patuh pada segala adat istiadat di desa.

Di balik adat istiadat itu, maka tentu ada ganjaran atau denda yang akan dikenakan kepada siapa saja yang melanggar hukum adat. Sebuah tindakan kecil yang bisa saja tidak menjadi masalah di daerah lain, di desa ini akan menjadi hal yang rumit untuk dipahami. Banyak sekali kebiasaan di desa ini yang bagi orang pendatang adalah hal yang sangat tidak biasa di daerah lain.

Seorang perempuan yang berjalan di depan seorang lelaki adalah pantangan yang bermakna hina. Seorang tamu yang tidak mencicipi jamuan dari tuan rumah, berarti sang tamu tidak menghargai atau setara dengan menganggap remeh martabat sang tuan rumah. Seorang pemuda yang bertamu sendiri tidak boleh masuk ke rumah seseorang yang di dalamnya hanya ada seorang perempuan, meskipun masih dalam garis keluarga dekat. Dan masih banyak sekali poin aturan dan pantangan adat yang berlaku di desa.

Sebagai orang yang setiap hari berstatus tamu di desa adat ini, tentu saja banyak kerepotan yang saya hadapi. Oleh karena itu, kemampuan yang paling musti dikembangkan setiap hari adalah kemampuan untuk bertanya. Mempertanyakan banyak perkara dengan cara yang pelan dan halus. Sebab satu kendala utama dalam percakapan di desa ini, adalah kemampuan berbahasa Indonesia masyarakat yang masih sangat rendah.

Tetapi saya tidak boleh berhenti bertanya untuk terus menemukan kebaruan-kebaruan informasi yang ada di desa. Dalam kapasitas saya sebagai relawan untuk mengaktivasi energi bersih di desa terisolir seperti ini, saya memang harus pandai-pandai berkomunikasi. Menggali pehamaman masyarakat terhadap energi. Mengagitasi para local champion untuk menumbuhkan sikap skeptis terhadap dunia luar. Mendiseminasikan pengetahuan teknologi secara praktis. Dan kesemua itu saya harus teliti memilih kata dalam percakapan, sebab bisa saja orang di desa akan salah menangkap makna dari ucapan kita, lalu akan diperhadapkan dengan perkara adat.

Sehingga selalu tidak ada salahnya untuk rajin bertanya. Seandainya saya malu bertanya di awal-awal kedatangan saya di desa, maka saya pasti sudah beberapa kali mengalami sidang pelanggaran norma adat. Jadi, mari membiasakan diri untuk selalu mau bertanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun