Ruang Baca Suara Sungai adalah sebutir garam di lautan literasi Indonesia. Mengkristal bersama semangat literasi yang kian hari kian membentuk gelombang besar yang bergemuruh mengajak para nahkoda pejuang literasi Indonesia. Di tengah rendahnya minat baca orang Indonesia, tidak sedikit orang juga sedang berkoalisi melawan kenyataan pahit itu. Pahit, karena kenyataan itu bisa jadi adalah pangkal dari segala kemerosotan yang tercipta di segala sendi kehidupan.
Keyakinan bahwa masih banyak juga orang-orang yang memiliki semangat kebangkitan, bangkit dengan mengusung tema yang sama, bangkit yang dimulai dari penguatan akarnya, yakni dari pendidikannya. Di dalam pendidikan itu, ada sebuah kunci yang digunakan untuk membuka cakrawala dan wawasan yang tak lain yaitu gairah membaca.
Di segala penjuru Indonesia, muncul banyak program, gerakan, dan inisiatif untuk mendobrak kenyataan itu. Ada banyak sekali inisiatif, mulai yang berada di jantung kota, hingga ke pinggiran pantai. Mulai dari dalam lorong hingga ke puncak gunung. Penggeraknya juga tidak selalu orang yang bergelar dan menguasai dunia pendidikan. Ada yang seorang dokter, ada juga adalah seorang freelancer tidak jelas. Ada yang bergerak sendiri adapula yang meluncur bersama-sama. Pada hakikatnya, semua menuju hulu, melawan arus realitas.
Begitu pula dengan Ruang Baca Suara Sungai, sebuah produk dari keprihatinan akan minimnya akses pada buku di daerah pedalaman Kalimantan Utara, sebuah daerah perbatasan negara, di utara nusantara. Ruang Baca Suara Sungai terletak di garis batas negara Indonesia dan Malaysa, tepatnya di kampung dayak bernama Sumentobol, Kecamatan Lumbis Ogong, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.
Ruang Baca Suara Sungai mulai mengembrio sejak awal mula kedatangan saya di kampung tersebut sebagai fasilitator masyarakat penerima manfaat pembangunan infrasutruktur Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS terpadu 30 kwp) dari Kementerian ESDM, dengan nama besar program
pengabdian, Patriot Energi Angkatan I. Hasil observasi dan analisis kebutuhan itu seperti mengharuskan saya mengambil satu tindakan nyata membenahi benang kusut keadaan bangsa ini.
Maka, dengan semangat berbagi, akhirnya ikhtiar tersebut mewujud dalam sebuah bentuk yang utuh, berdirinya sebuah ruang baca yang meskipun hingga saat ini buku-buku disana belum seberapa. Namun, setidaknya keberadaan Ruang Baca Suara Sungai tersebut sedikit banyak menjadi pengobat rindu pada buku. Sebab, di kampung hulu batas negeri tersebut tidak ada akses keluar masuk desa selain dengan menggunakan perahu. Pun dengan keadaan disana, yang masih belum terjamah sinyal telefon. Sehingga, rumus ketertinggalan pada pendidikan menjadi sempurna. Akses keluar desa yang super susah, minat baca dan bersekolah yang amat rendah, dan tenaga pengajar dan sumber daya manusia yang masih awam pada buku dan membaca.
Lalu akhirnya, Ruang Baca Suara Sungai berhasil berdiri dengan buku ala kadarnya dari sumbangan teman-teman dari berbagai daerah lain, terutama dari teman-teman fasilitator Patriot Energi di Jakarta dan Bandung yang berjuang keras mengumpulkan buku bacaan yang layak bagi anak-anak perbatasan. Adapula jasa dari situs penggalang dana, Kitabisa.com  yang turut mengampayekan ikhtiar mendirikan dan meramaikan ruang baca di batas negeri itu. Dan yang tak kalah begitu berharganya adalah usaha dari adik-adik saya di Lembaga Penelitian Mahasiswa (LPM) Penalaran Universitas Negeri Makassar yang berlelah mengumpulkan buku, alat peraga edukasi pengisi ruang baca, juga bekerja total mengumpulkan dana untuk membiayai pengiriman paket buku tersebut dari Makassar hingga ke Utara Nusantara, pedalaman Kalimantan.
Adapula sumbangan dana dari teman-teman Badan Semi Otonom Beasiswa (BPOP) Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Jepang Komisariat Fukuoka yang berniat tulus mengembangkan pendidikan di daerah perbatasan. Sungguh, bantuan dan niatan itu akan selalu menjadi motivasi untuk merawat Ruang Baca Suara Sungai di pedalaman Kalimantan.
Kini, Ruang Baca Suara Sungai dikelola oleh warga desa yang punya kepedulian pada keadaan anakanak di desanya. Ada tiga perempuan relawan yang bergantian mengisi ruang baca memgajarkan anak-anak membaca, menggambar, menyanyi dan bermain. Ada Ibu Rosmina sebagai penanggung jawab penuh Ruang Baca Suara Sungai, terus ada Kakak Yudit yang menjadi relawan pengajar membaca dan menggambar, dan terakhir ada Kakak Margalena yang juga menjadi relawan pengajar, bermain dan bernyanyi. Â
Jumlah anak-anak yang terlibat memang belum seberapa, mungkin baru sekitar 20 siswa yang aktif mengisi ruang baca. Anak-anak yang lain secara perlahan akan tertarik mengikuti pola belajar yang diterapkan di Ruang Baca Suara Sungai. Di Ruang Baca Suara Sungai tidak diterapkan aturan baku untuk patuh mempelajari satu bahan yang sama dengan siswa yang lain. Kebebasan untuk memilih adalah prioritas. Akan tetapi, satu poin besar yang terus digiring menjadi bola salju adalah semangat belajar membaca, walaupun saat ini banyak hanya sekadar melihat dan membuka buku yang ada di sana. Â
Kedepannya, tetap sangat diharapkan uluran tangan dari para dermawan dan pejuang literasi untuk bergerak bersama membenahi sektor pendidikan ini. Bahwa di Utara Nusantara itu masih ada optimisme untuk tumbuh dan berjalan sejajar dengan daerah lain, tidak lain akan dimulai dengan aktifitas literasi dan semangat membacanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H