Mohon tunggu...
Muh Ma'rufin Sudibyo
Muh Ma'rufin Sudibyo Mohon Tunggu... wiraswasta -

Langit dan Bumi sahabat kami. http://ekliptika.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gempa di Bawah Kota

1 Maret 2011   04:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:10 643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Para pendatang itu membangun sebuah pemukiman di tempat yang berlanskap indah. Tanpa mereka sadari, tepat di bawahnya merentang garis retakan kerak Bumi, tempat massa kerak yang saling berseberangan bergerak berlawanan arah dengan kecepatan yang jauh lebih pelan dibanding larinya siput. Masa berganti masa, pemukiman itu pun kian tumbuh berkembang menjadi kota besar yang dipadati ratusan ribu manusia, yang tak menyadari kalau lapisan batuan dibawahnya sedang mencoba bertahan habis-habisan terhadap tekanan gerak massa kerak yang pelan namun pasti. Ketika pertahanan batuan itu akhirnya bobol, apa yang terjadi? [caption id="attachment_93786" align="aligncenter" width="422" caption="Mobil bergelimang lumpur setelah jalan berubah menjadi kubangan akibat proses likuifaksi gempa Christchurch 2011.Sumber : GNS, 2011"][/caption] Selamat datang di Christchurch, kota terbesar kedua di Selandia Baru sedang diharubirukan guncangan bumi selama lima bulan terakhir. Yang paling mutakhir, kota ini kembali diguncang getaran kuat pada Selasa 22 Februari 2011 pukul 12:51 waktu setempat. USGS National Earthquake Information Center mencatat gempa kuat dengan magnitude Mw 6,3 meletup sangat dekat dengan Christchurch, dimana episentrumnya terletak di kawasan suburban Lyttellton yang hanya berjarak 25 km di sebelah tenggara pusat kota dengan hiposentrum hanya sedalam 5 km. Guncangan yang dirasakan Christchurch sangat keras, mencapai intensitas 8 MMI yang secara teoritis mampu meruntuhkan bangunan berkualitas jelek dan membuat bangunan berkualitas baik rusak berat atau malah runtuh. Tercatat 65 orang tewas namun 200-an orang masih tertimbun di bawah bangunan runtuh tanpa kejelasan nasibnya. Dalam skenario terburuk, korban jiwa diperkirakan melejit hingga angka 400 orang alias melebihi estimasi USGS PAGER yang hanya menyodorkan angka maksimum 10 orang (pada probabilitas 84 %). Sementara estimasi kerugian material menurut USGS PAGER ada dalam rentang US $ 10 - 100 juta yang dalam skenario terburuknya akan setara 60 % Produk Domestik Regional Bruto Selandia Baru. Korban jiwa yang besar dalam gempa ini merupakan konsekuensi dari "badai" gempa bumi yang terus menerus melanda kawasan Canterbury (tempat Christchurch berada) sejak 4 September 2010, kala gempa dengan magnitude Mw 7,1 menggetarkan daerah ini dengan episentrum 40 km sebelah barat Christchurch. Gempa ini kompleks karena ternyata merupakan kombinasi gerakan empat retakan kerak Bumi (patahan) yang berbeda namun saling berdekatan. Pemodelan geofisikawan Dr. John Beavan menyebutkan gempa utama ini terdiri dari lentingan patahan Charring Cross yang menghasilkan guncangan bermagnitude Mw 6,5 diikuti lentingan patahan Greendale dengan magnitude Mw 7,0 lantas disusul guncangan bermagnitude Mw 6, dari patahan Hororota dan dipungkasi getaran bermagnitude Mw 6,5 dari sebuah patahan tak dikenal yang melintas di West Melton-Sandy Knolls-Burnham. Keseluruhan gempa utama terjadi dalam satu rentetan selama 40 detik. Seluruh getaran tersebut didului sebuah gempa pendahulu (pre-quake) bermagnitude Mw 5,8 dalam 5 detik sebelumnya. Mujur bahwa baik gempa pendahulu maupun gempa utama ini tidak merenggut korban jiwa. [caption id="attachment_93787" align="aligncenter" width="410" caption="Jejak patahan sumber gempa Christchurch 2011, panjangnya 22 km alias hampir sama dengan patahan gempa Yogya 2006. Sumber: GNS, 2011"]

1298952991204699030
1298952991204699030
[/caption] Kompleksitas gempa ini kian nyata dengan tercatatnya lebih dari 4.400 gempa susulan (aftershocks) dengan magnitude > 2 skala Richter hingga 20 Januari 2011, dengan 3 diantaranya memiliki magnitude Mw 5,4. Pada 20 Januari itu, sebuah gempa susulan dengan magnitude Mw 5,1 kembali mengguncang. Pola gempa-gempa susulan ini berbeda dibanding pola normalnya yang magnitudenya memiliki kecenderungan terus mengecil pasca gempa utama sebagai hasil stabilisasi fase ko-seismik dan after-seismik. Ini menguatkan dugaan bahwa tidak hanya satu patahan yang terlibat dalam gempa. Namun yang jelas, dengan banyaknya gempa-gempa susulan dengan magnitude tergolong kuat, membuat bangunan di Christchurch terlemahkan oleh getaran kuat yang susul menyusul, meski bangunan itu pada awalnya sudah dirancang tahan gempa sesuai dengan rekomendasi komisi kegempaan Selandia Baru (NZ EQC) yang menyimpulkan tiap 55 tahun sekali kawasan Selandia Baru berpotensi diguncang gempa kuat. [caption id="attachment_93789" align="aligncenter" width="464" caption="Peta daerah yang mengalami guncangan (dalam skala MMI) saat terjadi gempa Christchurch 2011. Sumber: USGS, 2011"]
12989527101707847777
12989527101707847777
[/caption] Gempa Mw 6,3 22 Februari 2011 ini dipandang berbeda oleh para seismolog dan geofisikawan. Sebagian menganggap gempa ini hanyalah gempa susulan dari gempa September lalu karena episentrumnya hanya berjarak 72 km dan masih berada dalam zona rupture gempa September. Namun sebagian lagi berpendapat ini adalah gempa yang berbeda. Apapun asal usulnya, yang jelas gempa ini merupakan produk lentingan patahan seluas 20 x 10 km persegi yang melejit sejauh (total slip) 60 cm dan menyebabkan pengangkatan vertikal sebesar 50 cm. Dangkalnya sumber gempa menyebabkan pengangkatan vertikal patahan ini berpotensi terlihat di permukaan Bumi sebagai surface rupture. Pelentingan ini melepaskan energi sebesar 42 kiloton TNT atau setara dengan ledakan 2 butir bom nuklir Hiroshima. Energinya dilepaskan sebagai getaran dengan durasi tipikal 11 detik yang terasakan manusia hingga 330 km dari episentrum. Christchurch, sebagai kota terdekat, jelas mengalami guncangan terkuat. 60 % bangunan di suburban Lyttelton dilaporkan runtuh. Di beberapa lokasi dilaporkan terjadi likuifaksi, yakni peluluhan sedimen dimana air yang tersimpan di antara pori-pori sedimen tertekan hebat dan tersembur keluar permukaan tanah, dengan akibat hancurnya dayatopang sedimen terhadap bangunan. Bahkan katedral yang menjadi simbol kota ini (dari darinya kota ini dinamakan) mengalami kerusakan berat. Sementara di Danau Tasman, 200 km dari episentrum, lapisan gletser Tasman yang rapuh terguncang kuat dengan intensitas 4 MMI yang berakibat 30 juta ton es runtuh ke dalam danau, menghasilkan tsunami lokal yang menerbitkan gelombang setinggi 3,5 meter (mirip peristiwa di danau Singkarak Sumatra Barat, Maret 2007). [caption id="attachment_93790" align="aligncenter" width="579" caption="Jejak patahan sumber gempa Canterbury 2010 (gempa besar yang mendahului gempa Chritchurch 2011) pada jalur KA Midland Line. Nampak relmelengkung berbentuk S di lokasi dimana patahan melenting sejauh +/- 2,5 meter. Sumber : KiwiRail Newsletter, 2010"]
1298952816125697440
1298952816125697440
[/caption] Kehancuran Christchurch adalah tipikal serangan "gempa kota", sebagai konsekuensi berdirinya kota ini di atas jalur patahan aktif yang merupakan bagian dari sistem patahan transform Alpine, jalur pertemuan antara lempeng Australia dan lempeng Pasifik. Sistem patahan transform ini sangat panjang, yang seakan 'membelah' pulau Selatan (tempat Christchurch berada) menjadi dua bagian yang asimetrik. Di kawasan Canterbury telah terdeteksi 100-an patahan aktif yang masing-masing berpotensi meletupkan gempa kuat dengan periode perulangan 1.500 tahun. Namun begitu kesiapsiagaan Christchurch patut dipuji sehingga korban jiwa yang jatuh dalam gempa ini tidak mencapai angka yang astronomik. 16 tahun silam dunia pernah terbelalak tatkala Kobe (Jepang), diserang "gempa kota" Hanshin Agung-Awaji (Mw 6,9) sebagai akibat melentingnya patahan Nojima yang tepat melintasi kota ini. Akibatnya > 5.000 orang tewas. Lima tahun silam dunia pun penah terkesiap ketika gempa dengan magnitude sama dengan gempa Canterbury (yakni Mw 6,3) menggempur Yogyakarta bagian selatan dan merenggut nyawa > 6.000 orang. Dan tepat setahun silam kita tertegun dengan kehancuran Port-au-Prince dan kota-kota disekitarnya di Haiti akibat gempa Mw 7,0 yang membunuh 300.000 jiwa. Baik gempa Kobe, Yogyakarta maupun Haiti memiliki mekanisme pembunuh serupa, yakni akibat konstruksi bangunan yang tak familiar terhadap getaran gempa sehingga runtuh menimbun penghuninya. Gempa Christchurch, sekali lagi, semoga kian menyadarkan kita akan dinamika Bumi ini. Apalagi di Indonesia, lebih dari 60 % kota berdiri di atas jalur patahan yang sebagian besar diantaranya belum ketahuan apakah tergolong aktif atau tidak. Sudahkah kita siap menghadapi skenario terburuk ketika "gempa kota" menyerang, ketika guncangan itu bersumber tepat di bawah kaki kita?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun