Mohon tunggu...
Muh Ma'rufin Sudibyo
Muh Ma'rufin Sudibyo Mohon Tunggu... wiraswasta -

Langit dan Bumi sahabat kami. http://ekliptika.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pagai 2010, Sebuah Perulangan Pangandaran 2006

29 Oktober 2010   07:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:00 809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika mengikuti tatanama baku, seharusnya gempa yang terjadi pada Senin 25 Oktober 2010 pukul 21:42 WIB itu diberi nama Gempa Pagai mengingat episentrumnya paling dekat dengan pulau Pagai khususnya Pagai Selatan. Tetapi dalam konteks administrasi wilayah, pulau ini merupakan bagian Kabupaten Kepulauan Mentawai, yang mencakup gugusan pulau-pulau Siberut, Sipora, Pagai Utara, Pagai Selatan dan pulau-pulau kecil disekitarnya. Sehingga tidak menjadi persoalan bila gempa tersebut kemudian disebut gempa Mentawai. Untuk membedakannya dengan peristiwa gempa 2007 yang lokasinya hampir berdekatan, maka gempa kali ini dinamakan gempa Pagai 2010.

1. Magnitude

Hampir dalam setiap peristiwa gempa kuat dan besar yang pernah terjadi di Indonesia selalu muncul pertanyaan: sebenarnya berapa besar magnitude-nya? Ini terutama disebabkan oleh perbedaan angka magnitude yang disajikan badan-badan yang berwenang. Angka yang disajikan badan dari Indonesia (dalam hal ini Pusat Gempa Nasional Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika alias BMKG) berbeda dan sering lebih rendah dibandingkan angka dari badan pemantau global (dalam hal ini National Earthquake Information Center United States Geological Survey alias USGS).

Pun dalam gempa Pagai 2010 ini. BMKG mencatat magnitudenya 7,2 skala Richter sementara USGS melansir angka 7,7. Mana yang benar?

Dalam perspektif ilmu kegempaan, kedua-duanya benar karena kedua-duanya menggunakan jenis magnitude yang berbeda. Rilis BMKG didasarkan pada jenis body-wave magnitude (Mb) dan atau surface magnitude (Ms). Mengingat karakteristik Indonesia yang persis berada di jalur sumber gempa, rilis magnitude dalam waktu yang cepat pasca guncangan gempa utama (mainshock) menjadi kebutuhan tak terelakkan apalagi jika gempa tersebut berpotensi memproduksi tsunami. Hal ini dipenuhi oleh Mb yang didasarkan pada analisis gelombang primer di seismogram dan Ms yang didasari analisis gelombang permukaan di seismogram. Meski kelemahannya pun ada. Gempa Aceh 2004, Nias 2005 dan Pangandaran 2006 memberi pelajaran sangat berharga tentang sifat Mb yang tersaturasi ketika digunakan untuk mendeskripsikan gempa-gempa besar, sehingga harga Mb mentok di sekitar 6,0 sampai 6,5.

Kelemahan Mb itulah yang ditutupi oleh moment-magnitude (Mw), jenis magnitude yang biasa digunakan dalam rilis USGS. Jika Mb dan Mw murni berdasar analisis seismogram, Mw sedikit berbeda karena mendasarkan pada dinamika fisis patahan sumber gempa. Bedanya lagi, jika Mb dan Ms sama-sama menggunakan satuan skala Richter (SR), Mw sebenarnya tidak memiliki satuan sama sekali. Meski guna membedakannya dengan jenis magnitude yang lain, biasanya digunakan "satuan" skala Magnitudo (SM) untuk Mw. Kelemahannya, Mw membutuhkan waktu analisis yang jauh lebih lama sehingga bisa terjadi Mw belum selesai dianalisis, tsunami sudah datang menerjang tanpa sempat menyalakan sistem peringatan dini.

Rilis USGS sebenarnya tidak hanya menyajikan magnitude Mw, namun juga jenis magnitude yang lain seperti Mb, MbLg, Ms dan kadang-kadang Me (energy-magnitude). Untuk gempa Pagai 2010 ini, USGS menyebutkan magnitude Mb = 6,5 SR; magnitude MbLg = 5,2 SR dan Ms = 7,3 SR. Kita bisa melihat angka Ms dari USGS tidak berbeda secara statistik dengan angka Ms dari BMKG. Mengapa BMKG tidak menyajikan rilis selengkap USGS? Rasanya hal ini khas Indonesia, tanah subur makmur yang seluas benua Eropa namun punya keterbatasan dalam sumber daya, baik manusia, pendanaan maupun peralatan serta cilakanya tak punya kebijakan yang lebih memerhatikan negeri sendiri. Sampai saat ini BMKG hanya fokus memantau wilayah Indonesia, berbeda dengan USGS yang memerankan diri menjadi pemantau gempa secara global.

Jadi kalo mau dibaca lebih teliti, gempa Pagai 2010 memiliki magnitude Ms 7,2 SR dan Mw 7,7 SM.

Magnitude gempa merupakan ekspresi dari energi yang dilepaskan gempa. Kalkulasi menunjukkan gempa Pagai 2010 ini melepaskan energi 5,335 megaton TNT. Jika dibandingkan dengan letusan bom nuklir di Hiroshima pada 6 Agustus 1945 silam, energi gempa Pagai 2010 ini 267 kali lipat lebih besar. Namun tak perlu khawatir, tak ada pihak manapun yang meledakkan nuklirnya di dasar laut dekat Kepulauan Mentawai, mengingat mekanisme transfer energi ledakan nuklir dengan energi gempa sangat jauh berbeda. Sebab jika estimasi linear dari data empirik yang terkumpul selama periode 1946-1963 ketika USGS bekerja sama dengan AEC (Atomic Energy Commission) memantau hubungan gempa bumi yang dipicu ledakan nuklir di permukaan, bawah tanah dangkal dan bawah tanah dalam menunjukkan, jika ada yang meledakkan bom nuklir 5,335 megaton TNT di Mentawai, gempa yang terjadi unik karena memiliki Mb tinggi (yakni pada rentang 6,7-7,2 skala Richter) alias sama dengan ciri khas gempa besar, namun pola getarannya justru menunjukkan ciri-ciri gempa kecil. Itu semua tidak nampak dalam gempa Pagai 2010.

2. Patahan

Setiap gempa tektonik pada dasarnya disebabkan oleh pergerakan segmen kerak Bumi dalam luasan tertentu secara menurun (normal) atau menaik (thrust) atau mendatar (strike) dalam jarak tertentu pula. Segmen tersebut lebih dikenal sebagai patahan. Sehingga sumber gempa tektonik adalah bidang, bukan titik. Jika dalam rilis-rilis badan-badan pemantau disebutkan adanya episentrum gempa, pengertian episentrum disini salah satunya adalah sebagai titik dimana patahan mulai bergerak.

Momen magnitude (Mw) merupakan ekspresi dari luas patahan sumber gempa. Pada Mw 6 SM, patahan sumber gempa memiliki panjang 20 - 50 km. Pada Mw 7 SM, panjangnya 100 - 200 km. Pada Mw 8 SM, panjangnya 200 - 400 km. Dan pada Mw 9 SM, panjangnya lebih dari 400 km (sebagai contoh, gempa Aceh 2004 dengan Mw 9,15 SM memiliki panjang patahan sumber gempa 1.600 km).

Menggunakan model hubungan magnitude gempa dengan panjang patahan dari Ambrasey dan Zatopak serta perbandingan lebar terhadap panjang patahan dari Rivera, maka bisa dideduksi sumber gempa Pagai 2010 adalah patahan sepanjang 200 km dengan lebar 60 km. Rilis USGS Finite Fault Model yang dikerjakan Prof. Chen Ji (seismolog Caltech) menunjukkan patahan ini terbentuk dari tenggara ke barat daya menuju azimuth 319 (atau sejajar dengan palung laut didekatnya) dengan sifat pematahan naik miring (oblique thrust) pada sudut dip 7 derajat. Sehingga pada luasan patahan tersebut pergeseran yang terjadi mencapai 130 cm. Namun pergeseran vertikalnya, yakni dislokasi dasar laut, sebenarnya relatif kecil karena hanya 20 cm. Kecepatan pematahan rata-rata sebesar 2 km/detik, sehingga Pulau Pagai bergetar selama setidaknya 100 detik akibat gempa utama Pagai 2010 ini.

Menggunakan data guncangan yang dirasakan di Padang, Bengkulu, Bukit Tinggi dan Singapura, gempa Pagai 2010 ini memiliki koefisien atenuasi empirik 0,00344 +/- 0,00068. Dengan menggunakan model pelemahan getaran gempa seperti yang diperkenalkan pertama kali oleh Charles F Richter dan Beno Gutenberg, pada koefisien atenuasi tersebut didapatkan bahwa getaran gempa terjauh yang masih bisa dirasakan sebagian besar manusia mencapai 692 km dari episentrum. Pekan Baru yang berjarak 470 km dari episentrum merasakan guncangan 2 MMI sementara Jakarta yang lebih jauh (yakni 805 km dari episentrum) tidak merasakan apa-apa karena getarannya hanya 1 MMI. Getaran yang berpotensi merusak, yakni yang lebih kuat dari 6 MMI, hanya terjadi di Pulau Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan serta pantai barat daratan Sumatra di sekitar Sungai Penuh.

Rilis USGS PAGER dengan menggunakan data distribusi penduduk dari Landscan 2005 menyebutkan ada setidaknya 53 ribu orang yang tinggal di daerah yang mengalami guncangan lebih kuat dari 6 MMI tadi. Dengan demikian terdapat potensi adanya korban jiwa terkait getaran, terutama akibat runtuhnya struktur bangunan atau tanah longsor. USGS memperkirakan terdapat potensi 66 % untuk korban antara 1-10 jiwa dan 30 % untuk korban 10-100 jiwa. Sementara dampak ekonominya, terdapat potensi 67 % untuk kerugian hingga US $ 1 juta dan 30 % untuk kerugian antara US $ 10-100 juta. Dengan demikian, jika melihat dampak guncangannya saja, sebenarnya korban jiwa dan kerugian yang ditimbulkan gempa Pagai 2010 ini tergolong kecil, meski bukan minimal.

3. Tsunami

Tsunami merupakan sebuah konsekuensi dari gempa tektonik ketika patahan sumber gempanya berada di dasar laut dan relatif dangkal sehingga menimbulkan dislokasi (perubahan) pada dasar laut setempat. Dislokasi inilah yang memicu olakan kolom air laut diatasnya dan sebagai respons-nya muncullah rangkaian gelombang panjang, yakni gelombang laut yang panjang gelombangnya jauh lebih besar ketimbang kedalaman dasar laut sehingga periode-nya bisa mencapai 10-15 menit (berbeda dengan gelombang biasa yang hanya 10-20 detik). Rangkaian gelombang panjang ini lebih populer sebagai tsunami. Dinamika tsunami, dalam hal ini tinggi gelombangnya (run-up), dikontrol oleh luasan patahan sumber gempa dan dislokasi akibat pergeseran vertikalnya.

Seperti telah disebutkan di atas, pergeseran vertikal akibat gempa Pagai 2010 sebenarnya tergolong kecil karena hanya 20 cm (bandingkan dengan gempa Aceh 2004 yang mencapai 5 m). Dengan menggunakan persamaan yang diperkenalkan George Pararas Carayannis, diketahui bahwa energi tsunami akibat gempa Pagai 2010 tergolong kecil, yakni 0,118 kiloton TNT atau hanya 0,6 % energi bom Hiroshima. Tsunami merusak memiliki tingkat energi jauh lebih besar, umumnya di atas 10 kiloton TNT. Bahkan dalam gempa Aceh 004, energinya mencapai 2 megaton TNT.

Jika tsunami dalam gempa Pagai 2010 benar-benar hanya disebabkan oleh gempanya (dalam hal ini dislokasinya), maka model matematis yang diperkenalkan Katsuyuki Abe memperlihatkan bahwa pada daratan terdekat (yakni Pulau Pagai Selatan), tinggi tsunami maksimum 2,65 meter sementara di Padang hanya akan setinggi 28 cm. Secara teoritis maka tingkat kerusakan yang ditimbulkannya tergolong lokal dan minimal, seperti yang terjadi pada gempa 2007.

Namun laporan-laporan mengindikasikan ketinggian tsunami yang lebih besar. Mengutip JPNN.com (28/10/2010), ketinggian tsunami di Pagai Utara mencapai 5 m. Sementara di Pagai Selatan bahkan mencapai 30 m. Catatan pasang-surut di Padang menunjukkan bahwa gelombang disana mencapai ketinggian 50 cm. Mengapa begitu berbeda?

Katsuyuki Abe telah memperkenalkan besaran yang disebut tsunami-magnitude (Mt), yakni estimasi magnitude sumber tsunami berdasarkan distribusi ketinggian gelombang di berbagai tempat dalam hubungannya dengan sumber gempa tektonik. Sebuah tsunami tergolong normal jika nilai Mt sama dengan nilai Mw, dalam batas kesalahan statistik. Namun jika nilai Mt sangat berbeda dengan Mw, tsunami tersebut tergolong tidak normal karena sumbernya tidak hanya berkaitan dengan gempa-nya saja, namun ada mekanisme lain yang turut mendominasi. Costas Synolakis dan Jose T Borrero menyebut tsunami tak normal ini sebagai tsunami earthquake (TsE), yang dicirikan oleh tinggi gelombang melebihi normal dan kecepatan penjalarannya yang rendah. Dalam banyak kasus tsunami earthquake dihasilkan oleh longsoran besar di dasar laut akibat gempa, meski ada juga yang disebabkan oleh letusan gunung api laut (seperti kasus Krakatau 1883 maupun Santorini 1600 SM). Ciri khas tsunami akibat longsoran ini, di dekat sumbernya ketinggiannya memang bukan main, namun menjauh sedikit darinya ketinggiannya langsung merosot drastis.

Menggunakan data tinggi gelombang di Padang, Pagai Utara dan Pagai Selatan (termasuk memperhitungkan ketinggian 30 m), maka nilai Mt tsunami Pagai mencapai 8,2 alias berbeda dengan nilai Mw-nya yang 7,7 SM. Jelas sudah bahwa tsunami Pagai 2010 adalah TsE.

Apa penyebabnya? Jika kita melihat kontur dasar laut di sumber gempa, mungkin longsoran besar di area tersebut yang menjadi biang keladinya. Gempa Pagai 2010 ini terjadi di dekat palung laut yang menjadi tempat subduksinya lempeng Australia ke bawah lempeng Sunda (Eurasia), pada daerah yang disebut prisma akresi. Daerah ini merupakan akumulasi sedimen yang ditekan hebat dari satu sisi secara terus menerus, sehingga membentuk punggungan bawah laut memanjang dengan lereng yang cenderung curam. Gugusan Kepulauan Mentawai adalah puncak dari punggungan tersebut, yang dikenal juga sebagai busur luar. Dengan kecuramannya, maka stabilitas lereng disini rawan terganggu oleh usikan, khususnya gempa. Dan dengan intensitas sumber gempa mencapai 10 MMI (alias terjadi guncangan yang sangat hebat), sangat boleh jadi ada bagian dari lereng ini yang menjadi takstabil untuk kemudian merosot sebagai longsoran besar dan memicu tsunami demikian merusak.

Indikasi lain nampak dari kecepatan penjalarannya. Kompas (27/10/2010) melaporkan tsunami datang menerjang sekitar pukul 22:00 WIB, atau sekitar 15 menit pasca gempa utama. Dengan jarak antara Pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan terhadap episentrum yang mencapai 30-50 km, maka kecepatan tsunami itu berkisar 120-200 km/jam. Menggunakan persamaan Huygens, jika tsunami ini benar-benar diproduksi gempa, maka kedalaman dasar laut yang menjadi sumber tsunami berkisar antara 110-310 m. Padahal dengan posisinya di dekat palung, kedalaman laut di tempat tersebut jauh lebih besar.

4. Perulangan Pangandaran 2006

Sebagai tsunami produk TsE, gelombang tsunami Pagai 2010 hanya berdampak besar pada jarak yang relatif dekat. Ini juga yang menyebabkan tidak dijumpainya kerusakan di pesisir Bengkulu dan Lampung Barat, meski kedua daerah itu langsung berhadapan dengan sumber tsunami tanpa penghalang alami apapun seperti halnya kepulauan. Perilaku tsunami Pagai 2010 sangat berbeda dibandingkan tsunami Aceh 2004, yang selain murni dihasilkan oleh gempa, juga merupakan gelombang koheren sehingga mengalami kehilangan (susut) energi sangat kecil meski telah menjalar jauh. Akibatnya tsunami Aceh 2004 masih sanggup merenggut korban-korbannya di pesisir timur Afrika, meski telah menempuh seperempat lingkaran bola Bumi.

Tsunami Pagai 2010 bisa diperbandingkan dengan kejadian tsunami Pangandaran 17 Juli 2006. Dasarnya, magnitude sumber gempanya sama (yakni Mw 7,7 SM) dengan mekanisme fokus pun sama dan karakteristik sumber tsunami yang hampir sama (Mt Pagai 8,2 sementara Mt Pangandaran 8,7). Penjalaran gelombang tsunaminya pun hampir sama, pada Pangandaran 2006 secepat 240 km/jam. Yang membedakan hanyalah waktu kedatangannya, dimana di Pangandaran tsunami datang 1 jam setelah gempa utama meletup. Maka tidak berlebihan bila dikatakan bahwa tsunami Pagai 2010 merupakan fotokopi (perulangan) dari kejadian sejenis di Pangandaran 4 tahun sebelumnya. Tsunami Pangandaran pun diyakini merupakan produk longsoran dasar laut, yakni akibat runtuhnya tebing curam di sepanjang perpanjangan patahan besar Sumatra yang menjulur di sebelah selatan Pulau Jawa saat bertemu dengan palung laut di Samudera Hindia. Tebing curam ini pernah dilihat langsung oleh para ilmuwan Indonesia ketika berlangsung ekspedisi Deep Java Trench 2002. Akibat longsoran besar itu, gelombang setinggi hingga 21 m menerjang pantai Permisan di Nusakambangan (Jawa Tengah) yang kebetulan tepat berada pada sumbu tegaklurus sumber gempa.

Secara global tsunami earthquake sebenarnya menempati porsi yang kecil, sekitar 1 % dari kasus-kasus tsunami yang terdokumentasi. Namun khusus untuk Indonesia, TsE tergolong cukup kerap terjadi. Tsunami Flores 1992, demikian juga tsunami Papua Nugini 1998, tsunami Pangandaran 2006 dan tsunami Pagai 2010 menjadi buktinya. Ini menunjukkan sebuah karakteristik dalam Indonesia yang spesifik sehingga mitigasi bencana tsunami ke depan seyogyanya memperhitungkan kekhasan ini.

Khusus untuk Kepulauan Mentawai, semoga gempa dan tsunami Pagai 2010 juga menjadi bahan pembelajaran untuk mempersiapkan diri menghadapi monster (gempa utama) yang belum terjadi di kawasan ini. Seperti diungkapkan pak Irwan Meilano dari ITB, segmen sumber gempa Pagai 2010 bukanlah segmen utama yang telah menimbun energi sepanjang 2 abad terakhir ini, yang letupannya telah diprediksi bakal sebesar gempa Aceh 2004 dan bakal terjadi kapan saja di antara saat ini hingga 2030 mendatang. Sehingga potensi gempa besar yang bersumber di Kepulauan Mentawai masih sangat terbuka.

Lebih dari itu, tentu bagaimana mengedukasi diri sendiri dan lingkungan sekitar agar lebih bersiap dalam menghadapi bencana sejenis. Semoga pengalaman tsunami Pagai 2010 bisa menjadi kaca benggala, bahwa kita hidup di Bumi yang dinamik, dengan kekhasan topografi lokal sehingga tsunami bisa datang menerjang dalam waktu cepat ketika sebuah gempa meletup dan bisa sangat besar meski dampaknya lokal. Disinilah loci-genius ala masyarakat Simeulue bisa diaplikasikan secara lebih luas mengingat kesederhanaannya : jika gempa terjadi, larilah ke bukit secepat mungkin ! Jangan pedulikan yang lain (kecuali anak istri dan sodara, tentunya) !

Duka kita untuk Pagai....

Referensi :

USGS. 2010. Magnitude 7.7 Kepulauan Mentawai Region, Indonesia (USGS PAGER, USGS Finite Fault Model, USGS WPhase & Harvard Centroid Focal Mechanism).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun