SETETES TAPI BENING
Oleh : Ma'ruf
Â
Namaku Abdul Jaman. Biasa dipanggil Dul. Terlahir sebagai putra kedua dari enam bersaudara dari sebuah keluarga  sederhana yang bisa dikatakan miskin. Ayahku, dulu,  kernet bus antar jemput sekolah di sebuah sekolah swasta elit di kotaku. Sekolah besar yang terkenal dengan marching band nya yang memukau setiap pawai tujuhbelasan melintas di jalan jalan utama di kota. Sekolah yang bangkunya diisi anak-anak bergizi cukup , berbaju pantas, berkulit bersih, dan klimis. Murid muridnya  terlihat manis , cerdas , anggun dan elegan dengan seragamnya yang berbeda dengan sekolah inpres seperti sekolahku dulu. Sebagian besar muridnya yang merupakan anak-anak pejabat dan pengusaha lokal itu dibekali dengan uang jajan yang berlebih, dan sebagian juga diantar dengan mobil mengkilap, motor dan juga becak, selain dengan bus yang dikerneti ayahku.. Sekolah itulah sebenarnya  yang juga kuinginkan sewaktu kecil dulu untuk ikut menimba ilmu disana. Tapi aku tahu, ayah takkan sanggup memasukkan aku di sana karena mahalnya biaya pendidikan disana, hingga akhirnya aku didaftarkan di sebuah sekolah inpres tak jauh dari sekolah swasta itu.  Ketika suatu saat kubertanya pada ayah, " yah, kenapa aku tidak disekolahkan di tempat ayah bekerja?". Gak cukup uangnya untuk daftar disitu nak, sudahlah,  di inpres juga bagus", jawabnya singkat. Akupun tak lagi menginginkan  sekolah disana setelah itu.
Â
Ayah selalu berangkat kerja menggunakan sepeda kayuhnya yang tua dan berkarat di bagian peleknya. Dengan pakaian baju kaus seadanya dan dilengkapi pet pramuka, jauh dari kesan perlente seperti yang kuinginkan.  Beliau selalu tersenyum dan menyapa siapa saja yang dikenalnya dan berpapasan di jalan. Ya.... ayah memang seorang yang ramah dan murah senyum kepada siapa saja. "Hati-hati Kang Ici", tegur ramah tetangga ketika ayah tersenyum menyapa. Ya, "Kang Ici", begitu ayah biasa dipanggil tetangga.  Jujur, saat itu kadang aku dihinggapi rasa malu, mengapa ayah tidak mampu terlihat wah seperti orangtua lain yang bekerja membawa kendaraan bermotor roda dua atau bahkan mobil. Aku terlalu naif, picik, dan berhati sempit , sehingga tidak mampu melihat betapa ayah sesungguhnya adalah  seorang pejuang kehidupan yang membanggakan. Beliau telah memberi contoh, bahwa hidup sederhana bahkan miskin sekalipun, adalah pilihan hidup yang sangat terhormat. Karena setiap rizki yang didapatnya benar benar adalah dari jerih payah keringatnya sendiri. Tak pernah ia mengambil yang bukan haknya.  Ayah selalu jujur. Karena itu lah, masjid besar tempat kami beribadah, selalu mempercayakan ayah sebagai amil zakat.  Yaitu petugas zakat yang berkeliling mengumpulkan zakat fitrah dan zakat harta dari masyarakat setempat tetangga kami. Secara tanpa sadar , sebenarnya ayah telah menjadi contoh hidup beriman lagi sederhana bagi kami adik beradik sekeluarga. Tauladan bagi kami dari ayah, bahkan tanpa kata-kata memorable seperti yang didengungkan para motivator kelas wahid di televisi nasional.
Â
Ibu. Ia hanya seorang ibu rumah tangga. Meski sesekali ibu pernah juga membantu mencari uang untuk menambah biaya sekolah kami berenam adik beradik. Pernah kuingat dulu, ibu ikut memecah batu di pinggir jalan pada waktu padat karya di kampung kami. Sesak dadaku yang masih kanak-kanak melihat tangan kurusnya harus mengangkat bodem, memecah batu menjadi serpihan untuk pengerasan jalan. Meski begitu, Ibuku adalah kekuatan terbesar di keluarga kami.  Bahkan ayah pun cuma bisa terkekeh jika ibu marah dan tak pernah melawan kemarahannya. Tak pernah sekalipun ayah bersikap kasar terhadap ibu. Dan ... berbeda dengan ayah yang mengajarkan pada kami melalui tauladan perilaku tanpa statement apapun, ibu mengajarkan kami melalui pesan dan hukuman. Salah satu hukuman yang paling kuingat adalah ketika puluhan tahun yang lalu, ibu dengan dengan ganas mencubit sekujur tubuhku dengan kemarahannya yang suci, setelah memergoki aku mencuri dari tabungan celengan berbentuk ayam, milik tetanggaku. Seluruh tubuhku meradang dan perih karena cubitannya yang tidak kenal ampun, namun... di saat itu pula, sesungguhnya jiwaku dibersihkan dari mental pencuri. Sejak saat itu aku tak pernah lagi punya keinginan mencuri, mengambil apapun yang bukan hak ku. Melalui pesan- pesan yang tegas pula  di saat aku telah menjadi abdi negara, setiap lebaran tiba, selalu ada yang dibisikkan ibu di telingaku dengan penuh kesungguhan, "jangan pernah korupsi ya, nak. Sayangi ibu, dan seluruh keluargamu". Jangan hidupi keluargamu dengan harta yang tidak halal". Biarlah sederhana atau miskin, tapi rizkimu halal dan barokah" . Begitulah beberapa pesan yang jelas dan rutin disampaikannya.
Â
Suatu ketika, ketika aku dipromosikan  sebagai pejabat level bawah disebuah kota besar di Sumatera. Aku pun berperilaku seperti ayah. Aku bersepeda ke kantor, juga dengan pakaian sesederhana ayah dulu. Bedanya, sepeda kayuhku lebih bagus dan menarik dibanding sepeda tua yang dipakai ayah dulu. Tapi kesederhanaan ayah, tetap kutiru. Aku mencoba selalu tersenyum kepada semua yang kukenal. Persis seperti ayah. Dan sebagaimana pesan ibu, aku pun selalu berusaha menjaga agar terhindar dari segala bentuk penyalahgunaan dan menjauhi rizki yang meragukan kehalalannya. Dan pernah  pada waktu bersepeda ke kantor, kulihat sebuah tulisan di bak belakang sebuah truck pengangkut barang . Sebuah tulisan sederhana yang mengingatkanku akan pesan ibu yang berulang tiap lebaran tiba,. Jelas terpampang di bak belakang truk itu sederet aksara berwarna putih betuliskan, "SETETES TAPI BENING".  Sebuah tulisan yang sama semangatnya seperti pesan ibuku, rizki yang sedikit tapi halal dan barokah.
Â