Mohon tunggu...
Makruf Amari Lc MSi
Makruf Amari Lc MSi Mohon Tunggu... Guru - Pengasuh Sekolah Fiqih (SELFI) Yogyakarta

Alumni Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta, melanjutkan S1 di LIPIA Jakarta dan S2 di UII Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Panduan Shalat Idul Fitri (1): Tempat Shalat Id

21 Mei 2020   14:58 Diperbarui: 21 Mei 2020   15:14 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto : www.muslimmoderat.net

Oleh : Ma'ruf Amari, Lc., M.Si.

Berdasarkan perhitungan hisab, insyaallah hari Ahad 24 Mei 2020, umat Islam di Indonesia akan melaksanakan shalat Id di tengah pandemi Covid-19. Mari kita pelajari kembali berbagai panduan dalam pelaksanaan shalat Idul Fitri.

Secara bahasa, Id artinya kembali. Dinamakan Id karena Allah swt memiliki berbagai macam kebaikan yang kembali kepada hambaNYa pada setiap tahun. Misalnya boleh makan di siang hari setelah pada bulan Ramadhan dilarang, pemberian zakat fitrah pada mereka yang tidak mampu, dan lain sebagainya.

Sedang pada Idul Adha, kebaikan itu antara lain menyempurnakan haji dengan thawaf ziyarah, pembagian daging qurban, dan lain sebagainya. Alasan lain karena secara umum biasanya di saat itu merasakan kebahagian kesenangan, semangat dan kesukaan disebabkan hal itu (dibolehkannya makan-makan).  (Al-Fiqh Al-Islami juz 2 hal 1386)

Shalat Idul Fitri dilaksanakan pada tanggal 1 Syawwal. Adapun waktu pelaksanaannya, setelah tinggi matahari sekitar dua tombak atau setengah jam dari terbit, sampai sebelum tergelincir yaitu sebelum waktu Dhuhur, dan itu adalah waktu Dhuha (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami juz 2 hal 1391). Sedangkan shalat Idul Adha dikerjakan pada tanggal 10 Dzulhujjah, dan waktunya sama dengan shalat idul Fitri.

Hukum Shalat Id

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat dua Hari Raya. Kalangan Hanafiyyah mengatakan, hukumnya wajib. Dalam Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (juz 27 hal 240), hukumnya antara sunnah dan fardhu. 

Kalangan Hanabilah mengatakan fardhu kifayah, dan pendapat yang kuat adalah sunnah mu'akkad seperti yang dikatakan oleh Malikiyyah dan Syafi'iyyah berdasakan hadits shahih[i].

Shalat dua hari raya ini sangat ditekankan (Muakkadah) karena Nabi saw senantiasa melaksanakannya dan tidak pernah meninggalkannya walau sekali. (Al-Musu'ah Al-Kuwaitiyyah juz 27 hal 240).

Tempat Shalat Id

Apabila masjid sempit dan tanah lapang luas maka para ulama sepakat shalat Id lebih utama dilaksanakan di tanah lapang. Akan tetapi bila masjid luas para ulama berbeda pendapat. 

Kalangan Syafi'iyyah mengatakan, "Apabila masjid luas maka masjid lebih afdhal dibandingkan mushalla (tanah lapang). Karena ummat Islam di Makkah senantiasa melaksanakan shalat Id di masjid, dan masjid lebih mulia dan lebih bersih. (Al-Muhadzdzab juz 1 hal 223).

Jumhur ulama mengatakan: tempat shalat Id --selain di Makkah-- adalah mushalla, bukan masjid kecuali karena terpaksa atau ada udzur dan shalat di masjid adalah makruh. (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh juz 2 hal 1394).

Alasan jumhur ulama adalah karena Nabi saw shalat Id di tanah lapang. Dari Abu Sa'id Al-Khudri ra, dia berkata: "Rasulullah saw keluar pada Hari Raya idul Fitri dan idul Adha ke mushalla, maka pertama kali beliau mulai dengan shalat kemudian berpaling dan berdiri menghadap orang-orang sementara mereka duduk di shafnya,kemudian Nabi saw memberi nasihat dan wasiat serta memerintahkan mereka". (HR. Al-Bukhari no 956)

Jumhur mengatakan: Apabila ada udzur maka shalat Id di masjid berdasrkan riwayat dha'if dari Abu Hurairah ra, bahwa hujan turun pada Hari Raya, sehingga Nabi saw shalat Id bersama mereka di masjid". (HR. Al-Hakim no 1094, Abu Dawud no 1160 dan Ibnu Majah no 1313).

Al-Hakim mengatakan: ini hadits sanadnya shahih dan keduanya (Al-Bukhari dan Muslim) tidak meriwayatkannya. Adz-Dzahabi mengatakan: sesuai dengan syarat keduanya (Talkhis terhadap Al-Mustadrak no 1094)

Ibnu Hajar dalam Talkhis no 683, Syu'aib Al-Arnauth dalam tahqiqi Abu Dawud no 1160  dan Al-Albani dalam Al-Dha'ifah dha'if dan ini yang benar. Adapun pernyataan Adz-Dzahabi dalam Talkhis Mustadrak "sesuai dengan syarat keduanya" kata Al-Albani: "Saya kira kesalahan dari percetakan atau yang menukil, dan ini kesalahan yang parah". (Lihat Dha'if Abu Dawud no 257).

Disebutkan bahwa sahabat  Ali ra berkata: "termasuk sunnah seseorang berjalan menuju mushalla, dan keluar pada Hari Raya merupakan sunnah. Dan tidak keluar ke masjid kecuali orang lemah atau sakit". Mu'awiyah -- salah seorang perawi -- menambahkan: "Akan tetapi keluarlah ke mushalla dan jangan tahan para wanita". (HR. Al-Baihaqi dalam Al-Kubra no 6261). Ali bin Abdullah Az-Zain mengatakan dha'if karena terdapat perawi Al-Harist Al-A'war (Tahqiqi Badrut Tamam no 378  juz 4 hal 47)

Ibnu Quddamah menjelaskan panjang lebar alasan shalat Id di lapangan lebih utama: "Bahwa Nabi saw keluar (melaksanakan shalat Id) ke mushalla dan meninggalkan masjidnya, begitu pula para khalifah sesudahnya. 

Nabi tidak akan meninggalkan yang utama terlebih tempatnya dekat dan mengerjakan yang kurang sempurna (di tanah lapang) dengan lokasi yang jauh. 

Nabi juga tidak akan memerintahkan ummatnya untuk meninggalkan yang utama. Kita juga diperintahkan untuk mengikuti Nabi saw dan tidak boleh perkara yang diperintahkan mengandung kekurangan dan yang dilarang justru yang sempurna".

Ibnu Qudamah melanjutkan, "Tidak terdapat riwayat dari Nabi saw bahwa Beliau shalat Id di masjid kecuali karena udzur, dan karena ini merupakan berkumpulnya ummat Islam, dan mereka di setiap waktu dan tempat keluar ke mushalla kemudian melaksanakan shalat di situ baik masjid (yang ada) luas atau sempit. Nabi saw tetap melaksanakan shalat di mushalla dengan segala kemuliaan masjid. dan shalat sunnah di rumah lebih utama dibandingkan dengan di masjid dengan segala kemuliannya. (Al-Mughni Juz 2 hal 176).

 

Wallahu a'lam bish shawab.

Bersambung, insyaallah.

 

---------------

Catatan kaki

(i) Seseorang datang kepada Rasulullah saw dan bertanya tentang Islam, Beliau bersabda: "Shalat lima waktu sehari semalam". Lalu dia bertanya: "Apakah ada kewajiban lain bagi saya?" Beliau menjawab: "Tidak, kecuali kamu melaksanakan yang sunnah". (HR. Al-Bukhari no 2678 dan Muslim no 11).

Adapun perintah untuk shalat pada surat Al-Kautsar ayat 2, "Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah".(QS. Al-Kautsar: 2). Dipalingkan dari makna wajib kepada makna sunnah dengan hadits shahih di atas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun