Peristiwa banjir yang sering terjadi di Jakarta umumnya selalu dihubungkan dengan persoalan serapan yang terjadi di hulu, yang salah satunya adalah kawasan puncak Bogor, di Jawa Barat. Hujan yang terjadi dibogor dan ditambah dengan pembangunan yang terus berlangsung disekitar wilayah Puncak, Â mengakibatkan air langsung mengalir ke daerah-daerah yang rendah karena minimnya area serapan, bahkan banjir masuk ke jalan-jalan termasuk ke jalan tol. Jelas disini bahwa keadaan daerah hulu akan berakibat banjir ke daerah hilir.
Namun fenomena banjir di beberapa daerah hulu di Kalimantan Barat beberapa tahun belakangan ini bisa dikatakan berbeda. Karena pada umumnya banjir di daerah hulu, seperti di Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sintang, Kabupaten Melawi,dan Kabupaten Sekadau, yang merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas, hampir bisa dikatakan tidak berpengaruh terhadap Kotamadya Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya, yang berada pada bagian hilir Sungai Kapuas tersebut. Biasanya bila terjadi banjir di daerah hulu suatu daerah, maka dampak banjir akan lebih besar terjadi di bagian hilir. Namun yang terjadi adalah beberapa kali banjir yang terjadi di hulu Kalimantan Barat, membuat daerah yang berada di hulu daerah aliran sungai Kapuas paling merasakan dampaknya.
Banjir terkini, terjadi di sekitar Oktober hingga awal bulan Nopember ini, Beberapa kabupaten seperti Kapuas Hulu, Kabupaten Sintang, Kabupaten Melawi, Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Sekadau yang dilintasi oleh Daerah Aliran Sungai Kapuas mengalami banjir yang cukup besar. Diawali dengan 10 kecamatan di Kabupaten Kapuas Hulu terjadi banjir besar sejak 2-3 Oktober yang mengakibatkan kegiatan sehari-hari warga lumpuh, putusnya akses transportasi, pemukiman penduduk serta fasilitas umum terendam banjir diikuti dengan pemadaman listrik. Sementara itu 12 dari 14 kecamatan yang berada di Kabupaten Sintang juga mengalami banjir hingga mencapai ketinggian 2 meter. Disinyalir akibat hujan yang melanda daerah tersebut dengan intensitas yang tinggi mengakibatkan debit air sungai Kapuas dan sungai Melawi meluap. Hal yang sama juga dialami oleh kabupaten didekatnya, yaitu kabupaten Melawi. Bahkan jalan Melawi -- Sintang yang panjangnya sekitar 1,5 km hingga kini lumpuh karena kedalaman air yang mengenangi jalan tersebut sekitar 1 meter. Satu-satunya penghubung yang bisa digunakan hanya dengan speedboat melewai jalur sungai Melawi atau memakai rakit untuk penyebarangan di sekitarnya.
Selama ini peristiwa banjir dianggap hanya sebagai fenomena alam, alasannya seperti intensitas hujan yang tinggi atau dianggap suatu siklus alam yang tidak bisa dihindari. Memang benar adanya bahwa banjir dapat digolongkan sebagai bencana alam, namun sesungguhnya kegiatan atau  aktivitas yang merusak alam itu sendiri yang menjadi sumber terjadinya banjir beberapa tahun belakangan ini.
Dalam suatu kesempatan Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji menyatakan bahwa salah satu faktor yang mengakibatkan sering terjadinya banjir di daerah hulu propinsi ini adalah kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas yang diduga mencapai 70 persen. Rusaknya Daerah Aliran Sungai tersebut akan berakibat terhadap pendangkalan sungai sehingga daya tampung sungai akibat curah hujan yang tinggi akan melebihi kapasitasnya.
Hampir sebagian besar daerah yang berada di sekitar sungai Kapuas saat ini, didominasi oleh perkebunan kelapa sawit baik yang diusahakan oleh negara, pihak swasta atau secara perseorangan.Berdasarkan data tahun 2018 luas areal perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat secara keseluruhan mencapai 2.167.023 hektar yang penyebarannya dapat ditunjukkan grafik di bawah ini.
Ke lima kabupaten seperti Kapuas Hulu, Sintang, Melawi, Sanggau dan Tayan secara geografis terletak di wilayah aliran DAS Â Kapuas. Kabupaten Sanggau yang menurut data tahun 2018 memiliki luas perkebunan sawit sebesar 366.074 hektar (lebih dari 28% luas wilayah kabupaten Sanggau). Hal ini sebenarnya sudah melewati daya dukung lingkungan dalam menghadapi perubahan cuaca ekstrim saat ini. Walaupun manfaat dari perkebunan sawit secara ekonomi dapat mempengaruhi perekonomian baik terhadap masyarakat maupun pemasukan kepada kas daerah, namun secara ekologis perlu dipahami bahwa kelapa sawit sangat berbeda dengan pohon-pohon hutan yang selama ini sangat berfungsi sebagai penyangga (buffer) dari terjadinya erosi, longsor serta menghambat terjadinya sedimentasi langsung daerah aliran sungai Kapuas. Ditambah pembukaan jalan di area perkebunan sawit diduga menjadi salah satu dari ketidakmampuan tanah untuk menyerap air.
Untuk itu para pemangku kepentingan harus sudah memikirkan bagaimana caranya bersatu dalammerestorasi wilayah yang berada di sekitar DAS Kapuas. Pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah sudah selayaknya membuat peraturan untuk melarang aktivitas di sekitar sempadan sungai, pembuatan konstruksi jalan perkebunan kelapa sawit yang tidak menutup jalan air, dan mewajibkan pihak perkebunan kelapa sawit bahkan pemilik kebun plasma untuk menanam tanaman yang dapat menahan erosi tanah. Pemerintah daerah yang mewakili pemerintah pusat hanya sebagai salah satu pemangku kepentingan, tidak kalah pentingnya juga peran masyarakat setempat, pemilik perkebunan sawit, industri yang menerima hasil kebun sawit, lembaga swadaya masyarakat dalam merestorasi DAS Kapuas.
Selama ini dirasakan pemerintah daerah kurang maksimal dalam memitigasi banjir di daerahnya. Sering kita mendengar adanya tindakan preventif namun ketika terjadinya banjir menyalahkan para pemangku kepentingan lainnya, khususnya pihak perkebunan sawit dan masyarakat di lokasi terjadinya banjir tersebut. Tanpa peran pemangku kepentingan lainnya, maka beban restorasi DAS Kapuas akan tidak dapat ditanggung oleh pemerintah daerah. Selain biaya yang tidak sedikit untuk melakukan restorasi seperti penanaman pohon disekitar sempadan sungai, pengerukan sungai yang memiliki endapan yang akan menghambat aliran air sungai, pengalih fungsian lokasi yang sangat kritikal terhadap banjir, dan usaha-usaha restorasi lainnya, maka kejadian banjir di beberapa kabupaten di hulu Kalimantan Barat akan menjadi episode yang terus berlanjut.
Sungguh ironis dimana Kalimantan Barat yang dijuluki "Propinsi Seribu Sungai" tidak mengimplementasikan pernyataan Bapak Sutarmidji, selaku Gubernur Kalimantan Barat yang menyatakan 70% DAS Kapuas telah mengalami kerusakan. Pernyataan ini bukan saja ditujukan kepada daerah yang terkena banjir saat ini, seperti Sanggau, Kapuas Hulu, Melawi, Sintang dan Sekadau, namun juga kepada seluruh daerah yang baik langsung atau tidak berada di jalur DAS Kapuas. Pelibatan berbagai pihak sangat dibutuhkan, termasuk dalam mengenyampingkan ego sektoral dalam penangganannya.
Kedatangan Menteri Sosial, Tri Rismaharini ke wilayah terdampak banjir di Kalimantan Barat, Â membuat warga masyarakat pulih kembali dalam menghadapi bencana banjir ini. Bantuan sangat dibutuhkan oleh warga yang mengalami musibah banjir, baik makanan, obat-obatan, tenda-tenda darurat dan bantuan pasca banjir, seperti perbaikan bangunan yang rusak serta penyediaan sarana dan prasarana lainnya. Namun kedepannya pemulihan daerah seperti restorasi DAS, kebijakan pembangunan yang tidak hanya berfokus kepada kepentingan ekonomis tapi juga kepentingan secara ekologis, menjadi tanggung jawab semua pemangku kepentingan. Memulihkan keadaan pasca terjadinya banjir patutlah dihargai, tapi melakukan usaha-usaha yang maksimal dalam mencegah banjir kembali itu lebih terpuji.
"Memadamkan api memang sangat terpuji, namun tidak memicu terjadinya api itu lebih mulia"- Â (Donald Manalu -2021)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H