Mohon tunggu...
Martua Intan
Martua Intan Mohon Tunggu... Konsultan - Pemerhati Lingkungan Hidup

Dilahirkan di Pontianak. Pernah tinggal di Australia hampir 9 (sembilan) tahun. tertarik dengan lingkungan hidup, khususnya tentang pelestarian sumber air dan peduli dengan dampak penambangan di tanah borneo.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Korupsi Ibarat Kanker Stadium 4, Bisakah Diobati?

22 September 2021   10:34 Diperbarui: 22 September 2021   10:37 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebih dari 300 Kepala Daerah (Gubernur, Walikota dan Bupati termasuk wakil kepala daerah) yang terjerat kasus korupsi sejak diberlakukannya pemilihan kepala daerah langsung tahun 2005. Sebenarnya akan lebih banyak lagi namun ada beberapa hal yang menjadi penyebab tidak tertangkapnya mereka yang bernasib mujur. 

Pertama, daerah yang diduga terjadinya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) tersebut tidak terlalu menarik diungkap, bisa jadi terpencil, tidak populer. Kedua, keterbatasan aparat untuk memprioritaskan daerah tertentu sebagai sasaran OTK. Ketiga, rapinya birokrasi setempat, unsur lembaga kemasyarakatan, dan kebiasaan yang menghalalkan memberikan komisi atau fee (Tahu Sama Tahu) untuk melegalkan praktik-praktik KKN tersebut.

Uniknya kita selama ini hanya pintar berwacana, dari semua pihak yang sepertinya peduli dengan pemberantasan praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme di segala lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada yang bilang, tindakan pencegahan menjadi ujung tombak mengurangi praktik korupsi baik dengan aturan, sosialisasi bahkan seminar-seminar yang seakan memberikan angin segar. 

Lucunya kita mendengar beberapa kepala daerah bahkan mendapat penghargaan atas usaha-usahanya mendorong pemerintahan daerah yang bersih, tidak beberapa lama kemudian terkena OTK oleh penegak hukum. Menjadi pertanyaan kita bersama, dimana letak kesalahannya. Apakah sistemnya yang salah, tidak juga. 

Perundang-undangan untuk pencegahan korupsi sudah dibuat sedemikian rupa. Atau pelaksana dalam hal kepala daerah beserta jajarannya yang tidak memililiki integritas. 

Hal ini bisa diperdebatkan. Namun umumnya kepala daerah yang terpilih adalah tokoh-tokoh yang populer di pemilihnya, walau tidak sedikit yang memang diset untuk mengamankan beberapa kepentingan misalnya kepentingan bisnis, oligarki kekuasaan berharap sang kepala daerah ini sebagai jalan masuk menguasai segala sumber daya daerah tersebut.

Kalau berkaca, anggaplah setelah orde baru berkuasa hingga kini (55 tahun) dan melihatnya sampai hari ini banyak kepala daerah tertangkap akibat KKN yang mereka lakukan, sebaiknya dilakukan rombakan besar-besaran terhadap sistem pemerintahan daerah. 

Tidak cukup DPR saja yang mengodok sistem tersebut, namun semua pemangku kepentingan harus duduk bersama dalam merombak secara besar-besaran sistem pemerintahan daerah. Tujuannya adalah untuk memangkas terlalu besar kekuasaan kepala daerah dalam mengelola daerahnya. 

Demikian juga dewan legislatif daerah harus juga diawasi oleh masyarakat dalam fungsinya sebagai wakil rakyat pasca pemilihan legislatif. Bilamana tidak berfungsi, bisa saja oleh saran masyarakat ditandai sebagai tidak layak ikut dalam pemilihan legislatif periode berikutnya.

Slogan mewujudkan pemerintahan daerah yang bersih (good governmance) jangan hanya menjadi pajangan, namun kenyataannya uang yang seharusnya digunakan untuk mensejahterakan rakyat dipakai untuk kepentingan pribadi dan konco-konconya dari kepala daerah yang bersangkutan. Bahkan istilah rampok lebih cocok disemat kepada mereka daripada kata maling.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun