Mohon tunggu...
Marto
Marto Mohon Tunggu... -

Manusia sederhana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Fiksi Kuliner] Lampet Mulana

6 Juni 2016   12:39 Diperbarui: 7 Juni 2016   20:46 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Cari apa?” tanyanya menyelidik.

“Ohh, ini..aku tadi bikin sebiji yang spesial. Penasaran rasanya seperti apa,” jawabku sembari terus mencari.

“Spesial? Perasaan ini bahan dan cara buatnya sama semualah. Spesial di mananya?” sergah Tiur dengan tertawa mengejek.

Dan aku tak begitu serius menanggapi ledekan ia itu. Ketika Lampetnya sudah kutemukan, aku pun tak sabar untuk mencicipi. Dan..hmm, rasa Lampetnya memang sama saja seperti yang lainya. Lantas? Tapi kan esensi bukan pada rasa Lampetnya. Lebih jauh, pada saat itu ada semacam perasaan yang sulit untuk digambarkan dengan kata-kata. 

Mungkin rahasianya ada pada saat proses pengolahan. Sembari mengolah tadi, aku sebenarnya lebih banyak fokus pada raut wajah Tiur. Mulai dari helai rambut, kening, mata, hidung, pipi yang ada lesungnya dan dagu yang sedikit lancip itu. Semua yang ada padanya adalah keindahan. Ia lebih dari seorang gadis desa, ia adalah bidadari. Sekonyol asa tetiba saja menyeruak  'mungkin aku akan menjadi manusia paling beruntung di muka bumi ini seandainya dapat memiliki ia seutuhnya. Aku berjanji akan lebih sering lagi datang berkunjung ke kampung ini, tepatnya ke rumah ini.' Dan betapa malunya diriku saat Gopas menegur aku yang mematung menatap Tiur, “Gulanya kebanyakan tuh lae, mata ke mana?” Aku bahkan tak ingat telah berapa kali memasukkan gula ke dalam olahan Lampet yang berada di tanganku sendiri.  Kepercayaan diriku pun runtuh saat itu juga melihat reaksi dan senyuman Tiur. Di sanalah letak 'kespesialan' itu berada. Antara senyum Tiur, Lampet di tanganku yang belepotan dan sebersit rasa aneh yang menyembul saat itu.

***

Beberapa bulan setelah malam pembuatan Lampet itu, kami pun kembali melakukan hal yang sama. Membuat kue Lampet. Seiring perputaran bumi pada porosnya, kami semakin akrab dan bahkan menjalin hubungan yang lebih dari sekedar sahabat. Lalu pada akhirnya aku mempersunting ia. Finally, dreams come true. Saat ini kami sedang berada di bus perjalanan pulang dari kampung menuju kota Medan. Kupandangi lagi wajahnya yang lelap menyandar di lenganku, dan aku membatin. Kalau bukan karena Lampet di malam itu, mungkin kita tidak akan pernah berada di dalam bus ini bersamaan. Tiur istriku, Lampet mulana.

Medan, Juni 2016

Martandang: berkunjung

Boru: putri/anak perempuan

Namboru: panggilan kepada adik/kakak perempuan dari ayah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun