Mohon tunggu...
Marto
Marto Mohon Tunggu... -

Manusia sederhana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Fiksi Kuliner] Lampet Mulana

6 Juni 2016   12:39 Diperbarui: 7 Juni 2016   20:46 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam sebelum pesta menjadi malam yang menyibukkan bagi warga kampung. Mereka harus mempersiapkan makanan apa saja yang hendak dibawa untuk pesta esok. Dan tak jarang pula pada kesempatan ini, sebahagian anak muda berkumpul bersama, lalu memasak berbagai macam makanan seperti kue-kuean. Pada malam itulah aku mengenal sosok yang saat ini berada di sampingku. Tiurma. Seorang gadis desa yang cantik mempesona. Dialah yang memberiku sedikit pengetahuan mengenai adat-istiadat orang Batak, terlebih mengenai Lampet dan tentunya kisah kami. Karena dia pulalah mengapa malam itu aku sangat bersemangat untuk membantu memasak kue-kuean di rumahnya. 

Semua bermula dari ajakan seorang sahabat untuk martandang ke rumahnya. Tak dipungkiri memang, kalau ia adalah sosok rebutan para pemuda di kampung itu. Beruntung, malam itu aku dan sahabatku yang tercepat tiba di rumahnya. “Boru, bikin kuenya di rumah ajalah ya. Mama mau ke tempat namborumu dulu sebentar” kata mamaknya waktu itu yang membuat ia bertahan di rumah. 

Berselang, sembari sibuk mempersiapkan bahan dan alat yang dibutuhkan, kami saling bertukar cakap untuk mencairkan suasana. Dan sahabat saya Gopas menjadi pahlawanku malam itu setelah menjembatani perkenalanku dengan Tiur. Ia memiliki selera humor tinggi yang membuat kami kadang tertawa kekeh dengan guyonanya. Kecanggungan di antara kami pun tak bersisa. Dan semuanya mengalir lancar bagai air.

“Eh, kalian tahu kenapa Lampet sering dihidangkan saat acara-acara penting?” tanya Tiur sembari fokus dengan kelihaian tanganya membentuk wujud Lampet. Memasukkan gula merah campuran kelapa parut di bagian tengah Lampet lalu diakhiri finishing touch dengan bungkusan daun pisang yang telah diolesi minyak goreng. Pekerjaan Tiur memang rapi, serapi raut air mukanya yang tanpa cacat dan membentuk omamen wajah sedikit nampak tirus. --Tirus ya! Bukan trapesium seperti yang selama ini diklaim banyak orang.-- Tapi sial, pertanyaan Tiur tersebut membuat aku tampak bodoh. Karena jujur, saat itu aku tidak tahu apa-apa tentang Lampet. Bagiku ia hanyalah sekedar makanan ringan khas orang kampung.

“Karena enak!” jawab Gopas sekenanya. Dan kami pun tertawa bahak mendengar jawaban itu, karena ada betulnya juga. Tak mungkin melegenda apabila tak enak. Disebut melegenda karena keeksisannya bersaing dengan kue-kue yang kekinian.

“Sesungguhnya aku juga bingung, karena sejauh yang kutahu belum ada orang yang mampu menjelaskan dengan rinci asal-muasal Lampet ini. Ikhwalnya dari mana, dan filosofinya apa hingga menjadi melegenda juga belum terkuak hingga kini.” lanjut Gopas historis diikuti anggukan dari kami. Selanjutnya, aku pun menyibukkan diri dengan bersusah payah meniru apa yang dilakukan Tiur di tangannya. 

Tak terasa, satu ember Lampet sudah selesai kami bentuk dan siap untuk dikukus. Ada satu biji dari Lampet tersebut yang sengaja kuikat dengan sisa-sisa daun pisang. Mungkin sebagai pertanda, bahwa ini adalah olahan terbaikku malam ini. Ada dua patah-tiga patah kata yang kubisikkan saat membentuk Lampet tersebut. Dan aku penasaran akan seperti apa nanti rasanya hasil olahan itu.

Mungkin bagi sebagian orang yang tidak mengetahui, Lampet hanyalah sebuah jenis makanan ringan yang berasal dari pelosok tanah Batak. Namun lebih dari itu, jajanan ringan ini sesungguhnya telah memiliki tempat yang tinggi di kalangan masyarakatnya. Sejarah asal mula lahirnya Lampet memang belum diketahui. Namun dalam keseharianya, orang Batak pada umumnya sering menggunakan Lampet sebagai wujud ungkapan dalam berbagai hal. Kita akan jarang menemukan keberadaan jajanan ini di suatu rumah perkampungan, yang apabila tidak ada sesuatu hal 'istimewa' terjadi di rumah tersebut. 

Contoh sederhana: Dahulu, kata ayah atau mungkin sekarang masih ada beberapa, apabila seorang ibu membuat/memasak Lampet di rumahnya, besar kemungkinan akan ada suatu acara/peristiwa yang di luar kebiasaan terjadi di rumah tersebut. Di pedesaan, hal ini sering ditemukan saat acara-acara adat seperti acara martumpol, kedatangan tamu istimewa, tondong malungun, mendirikan rumah, pesta Gotilon maupun acara adat Batak lainya. Meskipun hanya sebagai menu pendamping, kehadiran Lampet sangat vital untuk mengisi acara-acara tersebut. Mengapa sangat vital? Tidak ada jawaban yang pasti untuk pertanyaan ini. Tapi begitulah realitanya. 

Hal ini tentu berbanding terbalik dengan yang terjadi di daerah perkotaan. --Sekedar info, bahwa ibu kota kecamatan saja, bagi orang pelosok seperti aku sudah merupakan sebuah kota.-- Mungkin bagi kelompok orang yang mainstream, keberadaan Lampet adalahsesuatu hal yang konservatif, sudah kuno dan ketinggalan zaman. Mereka kini beralih ke jajanan lain yang lebih kekinian dan lebih lezat. Mereka mungkin lupa dengan 'sesuatu' nilai adat yang terkandung dalam Lampet tersebut. Dan aku pun hanya dapat mengangguk-angguk kagum mendengar penjelasan dari Tiur. Dengan gaya bahasa dan kosa kata yang ia miliki, sudah cukup bagiku untuk memberikan rasa salut pada sosok gadis desa ini. Belum lagi kecantikan fisik yang menempel di raganya. --Sudah kayak Dian Sastrowardoyo saja gebetanku ini bah. Sudah cantik, berwawasan tinggi pulak. Makjangg!--

Tak butuh waktu lama, Lampet yang kami masak sudah matang dan siap untuk disantap. Begitu dipindahkan dari kukusan, segera aku mencari Lampet spesial yang aku buat sebelumnya. Dan gelagatku itu ternyata mencuri perhatian seorang Tiur. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun